Taman Literasi Martha Tiahahu, Blok M, Jakarta. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis/Himawan L Nugraha)

Hypereport: Kata Mereka untuk Jakarta Kala Tak Lagi Jadi Ibu Kota

27 November 2023   |   15:46 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Daerah Khusus Ibukota Jakarta segera akan berganti status, tidak lagi sebagai ibu kota. Status ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia akan beralih dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur. Pemindahan ini tentunya mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Jakarta.

Sebagian memandang Jakarta akan menjadi lebih baik, tapi ada pula yang skeptis dengan kemajuan kota metropolitan itu setelah tak lagi jadi ibu kota. Hal tersebut tercermin dalam survei cepat yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) pada Januari 2022 terhadap 500 warga Jabodetabek. Sepertiga responden berusia 40 tahun ke atas dan telah lebih dari 20 tahun tinggal di Jakarta.

Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Memantapkan Jakarta Sebagai Kiblat Kota Kreatif
2. Hypereport: Mengawal Transisi & Transformasi Jakarta Menuju Kota Global
3. Hypereport: Perjalanan Jakarta Menuju Smart City Meski Tak Lagi Ibu Kota Negara
4. Hypereport: Menata Jakarta Sebagai Kota Pariwisata Jelang Perpindahan IKN

 




Sebanyak 61,5 persen responden survei itu menilai akan ada perubahan pada Jakarta jika ibu kota negara (IKN) pindah ke Kalimantan Timur. Perubahan yang dimaksud adalah lalu lintas dan transportasi umum lebih nyaman, lalu apresiasi masyarakat Betawi dan tradisinya oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang tidak lagi mengesampingkan mereka karena mengurusi pemerintah pusat.

Pandangan lainnya ialah kerukunan sosial dan solidaritas masyarakat akan lebih baik, karena adanya perbaikan baku mutu lingkungan, khususnya air dan udara. Termasuk, anggapan bakal membaiknya persaingan bisnis dan usaha di Jakarta. Penilaian ini mengalahkan 25 persen responden yang menilai Jakarta tidak akan berubah ketika tidak lagi dikuasai pemerintah pusat.

Di sisi lain, sebanyak 58,8 persen responden menolak pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur. Sementara itu, hanya 29 persen warga Jabodetabek yang setuju dan sisanya yakni 11,8 persen tidak peduli dengan rencana pemindahan IKN.

Alasan ketidaksetujuan itu antara lain karena Jakarta memiliki nilai historis sebagai IKN. Lalu, adanya kekhawatiran kerusakan lingkungan di Kalimantan sebagai paru-paru dunia, membebani APBN, hingga anggapan hanya merupakan keputusan politis yang gegabah.

Sebagian responden juga tidak setuju pindah karena merasa bukan aparatur sipil negara (ASN), sehingga tidak memiliki keharusan untuk pindah. Disusul dengan penilaian ketiadaan modal untuk pindah, serta merasa sudah nyaman dan mapan di Jakarta.


Ruang Publik

Arsitek Cosmas Damianus Gozali menilai setelah tidak lagi menjadi ibu kota, Jakarta bakal menjadi lebih baik. Menurutnya, selama ini banyak program dan kebijakan publik yang diputuskan untuk Jakarta erat kaitannya dengan kepentingan politik. Hal itu tak terlepas dari statusnya sebagai ibu kota, tempat pemerintah pusat dan aktivitas politik nasional bermuara.

"Kalau nanti bukan ibu kota lagi, berarti kan sebenarnya Jakarta bisa lebih bebas untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa ada tujuan-tujuan politik tertentu," katanya saat dihubungi Hypeabis.id lewat sambungan telepon, Minggu (26/11/2023).

Perbaikan itu bisa didapatkan oleh Jakarta dari segi kualitas perkotaannya. Menurutnya, ketika sudah tidak lagi menjadi ibu kota, Jakarta leluasa untuk berbenah dalam penataan kota menjadi wilayah yang lebih hijau dan banyak ruang publik bagi warganya. Termasuk, sejumlah gedung cagar budaya yang bisa menjadi salah satu nilai jual bagi Jakarta.

Cosmas berpendapat untuk sampai ke wujud ideal tersebut, Pemprov DKI Jakarta bisa mulai membuat ruang-ruang publik yang inklusif bagi masyarakat, salah satunya dengan mengalihfungsikan gedung-gedung bekas pemerintahan. Tak harus dimanfaatkan sebagai gedung lagi, tetapi justru dibuat sebagai ruang-ruang publik terbuka.

"Gedung-gedung itu juga bisa saja jadi rusun, jadi orang-orang yang tinggal di daerah kumuh Jakarta bisa dipindahkan. Lalu daerah-daerah kumuhnya bisa diubah menjadi taman-taman atau ruang-ruang publik," kata pria yang juga dikenal sebagai kolektor seni itu.


Kota Kreatif

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir menilai usai tak lagi menjadi ibu kota, Jakarta sangat berpotensi untuk tumbuh menjadi kota kreatif. Hal itu lantaran banyaknya pekerja kreatif yang ada di Jakarta, dan terbukti telah memberikan kontribusi besar bagi PDRB kota metropolitan itu.

Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta sudah seharusnya segera menyusun gagasan, kebijakan-kebijakan sekaligus strategi-strategi apa saja yang bisa mendorong Jakarta sebagai kota kreatif. Misalnya kebijakan pengembalian sebagian pajak hiburan yang dibayarkan, dan diolah kembali sebagai modal atau stimulus bagi para pekerja kreatif untuk terus produktif berkarya

"Termasuk pengelolaan pajak untuk pengembangan bioskop dan kemudahan perizinan. Kebijakan-kebijakan semacam itu yang perlu dibuat," katanya.

Edwin juga berpendapat sebagai sebuah kota dengan historis yang panjang, sudah seharusnya Jakarta memiliki karakter yang di kuat di masing-masing wilayah administrasinya. Hal itu menurutnya bisa menjadi nilai jual bagi Jakarta untuk semakin mengembangkan potensi industri kreatifnya. Hal itu bisa diwujudkan misalnya dengan membangun wilayah khusus kuliner ataupun tempat lokasi syuting untuk kebutuhan perfilman.

"Memang perlu benar-benar strategi yang level nasional dan level daerah, dan tertulis sebagai kebijakan. Karena selama ini beberapa program terbentuk cenderung untuk situasional dan itu harus dihindari. Jadi yang disiapkan itu [hal] fundamentalnya," ujarnya.


Masalah Lingkungan

Meski Jakarta memiliki banyak potensi yang bisa digarap, kota metropolitan ini juga masih dirongrong dengan persoalan sampah dan polusi udara yang mempengaruhi perubahan iklim. Pasalnya, kegiatan pemerintahan beserta aparatur sipil negara (ASN) hanya membebani Jakarta sekitar 10 persen, sementara sisanya berkutat pada kegiatan bisnis. Data tersebut merujuk pada jumlah ASN yang jumlahnya sekitar 1,5 juta dari total warga Jabodetabek yang mencapai 20 juta jiwa.

Muhammad Aminullah atau Anca, selaku Ketua Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Jakarta berpendapat bahwa sampai saat ini mereka belum melihat akan ada perbaikan lingkungan hidup setelah IKN pindah. Adanya RUU kekhususan Jakarta yang dirumuskan untuk menyiapkan Jakarta sebagai pusat perekonomian, bisnis, dan kota global, artinya aktivitas di sana tidak akan berkurang secara signifikan.

"Padahal, salah satu faktor utama kerusakan lingkungan hidup karena pembangunan untuk bisnis yang tidak terkendali," ujar Anca.

Kawasan-kawasan dengan fungsi ekologi seperti RTH (Ruang terbuka hijau), hutan lindung, dan sungai, banyak digusur untuk memenuhi kebutuhan komersil. Sebetulnya daya dukung dan daya tampung jakarta sudah tidak memadai untuk terus mengakomodir berbagai aktivitas di dalamnya. Tanda-tandanya terlihat dari masalah polusi udara, polusi perairan, sampah, dan lainnya yang tak kunjung habis.

"Polusi udara berasal dari kendaraan dan dan listrik yang masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara," katanya.

Selain itu permasalahan sampah yang menjadi perhatian Anca, sampai saat ini belum menemukan titik temu. Dia menilai pengelolaan sampah di Jakarta tidak efektif, karena belum dilakukan secara menyeluruh.

"Semua pengolahan sampah tersentralisasi di Bantargebang, karena TPS3R [Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle] masih belum memadai, padahal sampah organik dan lainnya bisa didaur ulang," paparnya.

Selain itu emisi dari industri yang tidak berkurang membuat masalah perubahan iklim jadi tak terkendali. Menurutnya, Jakarta harus bisa merancang peta pemulihan dan menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah lingkungan di dalamnya.

Sayangnya, itu mustahil terjadi apabila jakarta masih diproyeksikan sebagai pusat bisnis, ekonomi, dan kota global yang pembangunannya tidak menimbang daya dukung dan daya tampung lingkungan.


Reporter: Luke Andaresta & Kintan Nabila
Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Membuka Lembaran Sejarah Jakarta lewat Pameran Jejak Memori Evolusi Museum Prasasti

BERIKUTNYA

Huawei Watch Fit Se Bawa 4 Fitur Unggulan, Bisa Pantau Kesehatan Mental

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: