Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga berupa ancaman akan tindakan fisik. (SUmber gambar: Mart Production/Pexels)

Serba-Serbi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Penyebab sampai Cara Melaporkan Pelaku

25 November 2023   |   21:44 WIB
Image
Yulita Theresia Maghi Mahasiswi Jurnalistik Universitas Nusa Nipa Indonesia, Maumere.

Beberapa waktu yang lalu, jagat maya dihebohkan dengan adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang dokter. Hal ini menunjukkan bahwa KDRT bisa dialami oleh siapa saja, dari kelompok atau golongan ekonomi dan profesi apa pun. 

Epifania M. Ladapase atau Fani, Psikolog di Layanan Psikologi Universitas Nusa Nipa menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan semua bentuk tindakan yang sifatnya menyakiti atau merugikan salah satu atau beberapa anggota keluarga.

"Bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuk tindakan negatif seperti kekerasan secara verbal, fisik, dan psikologis," katanya kepada Hypeabis.id

Baca juga: Mengenal Siklus KDRT & Alasan Korban Mempertahankan Hubungannya
 

Bentuk-bentuk KDRT 

Lebih lanjut, Fani menjelaskan kekerasan verbal dilakukan seseorang melalui kata-kata misalnya mengejek, memanipulasi, menghina hingga memengaruhi psikis korban. Ada juga kekerasan fisik yang merupakan suatu tindakan menggunakan kekuatan dan otot tubuh dalam mencelakai orang lain hingga menimbulkan luka bahkan korban nyawa. 

Yunita Victoria Natal, Psikolog di Layanan Psikologi Universitas Nusa Nipa, menambahkan jenis kekerasan psikologis atau emosional yang meliputi pelecehan secara verbal, mengancam, memaki, dan lainnya yang dapat mengakibatkan seseorang mengalami ketakutan, hingga hilangnya rasa percaya diri.

Pada kasus KDRT berupa kekerasan seksual, dapat meliputi pengabaian akan kebutuhan seksual pasangan, melakukan hubungan seksual dengan paksaan, pemaksaan hubungan seksual dengan merendahkan, mengancam, atau menyakitkan, hubungan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa alat bantuan, sehingga menimbulkan rasa sakit atau cedera.

Ada pula kekerasan ekonomi seperti penelantaran, tidak memberikan nafkah, memaksa korban untuk bekerja melalui cara eksploitatif, sampai melarang korban untuk tidak bekerja tetapi tidak diberikan nafkah. 
 

Ilustrasi KDRT (Sumber gambar: Freepik)

Ilustrasi KDRT (Sumber gambar: Freepik)

Penyebab KDRT 

Banyaknya kasus KDRT yang terjadi sampai sekarang, tentu punya penyebab yang jadi dasarnya. Fani menyebut ada beberapa faktor yang melandasi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ini termasuk fondasi iman dalam keluarga yang tidak kuat, miskomunikasi, dan hilangnya rasa empati atau saling menghargai. 

Tidak hanya itu, perekonomian yang tidak stabil, tidak adanya komitmen dalam sebuah hubungan, serta timbulnya kecurigaan, juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai tindakan fisik hingga psikis yang menyakiti anggota keluarga, terlebih pada perempuan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga juga biasanya diakibatkan oleh adanya kekuasaan dari salah satu pihak. Hal ini juga diamini oleh Yunita yang menekankan bahwa dalam banyak kasus, situasi ini terjadi dari suami terhadap istri. 

“Penyebab terjadinya KDRT yang umumnya dilakukan oleh suami terhadap istri karena beberapa hal. Misalnya ada relasi kuasa sehingga salah satu pihak merasa lebih berhak dan memiliki otoritas penuh. Dengan begitu, dia merasa bebas melakukan apa pun,” katanya. 

Selain faktor kekuasaan, adanya perselingkuhan turut menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.  Tidak sampai disitu, kurangnya kematangan secara emosional juga mengakibatkan pola komunikasi toxic, yang bisa berujung pada KDRT. 

Baca juga: Bisa Terjadi Pada Siapapun, Ini Ciri & Potensi KDRT yang Harus Menjadi Perhatian
 

Dampak KDRT 

Jadi sebuah permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, tentu kekerasan dalam keluarga tidak hanya menimbulkan luka fisik. Namun akan memberikan dampak buruk lainnya bagi seluruh orang yang ada di dalamnya.

Fani mengatakan kekerasan yang terjadi mengakibatkan korban mengalami kehilangan rasa percaya diri, sehingga menyebabkan korban tidak mudah untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Banyaknya kasus KDRT yang terjadi bahkan berakhir pada perpisahan dari kedua orang tua.

Jika ditelisik lebih jauh, dampak perpisahan yang terjadi akibat kekerasan bisa berimbas pada tumbuh kembang si kecil, sebagaimana disampaikan oleh Yunita. 

“KDRT memberikan dampak psikologis terhadap anak. Mereka [anak] yang sering terpapar dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya akan memberikan pengaruh pada perkembangan psikologis anak,” ujarnya. 

Lebih lanjut, KDRT yang disaksikan oleh seorang anak akan memengaruhi emosi dan perilaku. Hasilnya, anak akan cenderung merasa terancam, takut, cemas, krisis kepercayaan, perasaan tidak aman, dan dampak lebih buruk memungkinkan terjadinya gangguan psikologis. 
 

Ilustrasi korban kekerasan dalam rumah tangga (Sumber gambar: Freepik/Krakenimage)

Ilustrasi korban kekerasan dalam rumah tangga (Sumber gambar: Freepik/Krakenimage)

Peraturan & Cara Lapor KDRT 

Indonesia merupakan negara hukum. Ada peraturan perundang-undangan sampai regulasi turunannya yang mengatur segala kehidupan warganya. Hal ini juga berlaku dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang banyak terjadi. 

Kornelius Y. Paga Meka, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Nipa menjelaskan bahwa jenis tindak pidana KDRT telah dimuat dalam undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Namun, sebagian masyarakat masih kebingungan dalam melaporkan pelaku.

Dijelaskan oleh dosen yang akrab disapa Nelis itu, dalam kasus KDRT yang merupakan delik aduan yaitu tindak pidana, akan diproses jika korban atau keluarga melakukan pengaduan kepada pihak berwenang. Begini cara melaporkan pelaku KDRT. 
  1. Setelah dilaporkan, pihak keamanan akan melakukan penyelidikan. Ini akan ditangani oleh pihak yang disebut penyidik. Jika dalam penyelidikan ditemukan sebuah tindakan pidana, maka langkah berikutnya ialah kepolisian akan mengumpulkan alat bukti, seperti keterangan saksi, keterangan ahli, adanya bukti surat atau petunjuk, serta keterangan dari terdakwa.
  2. Setelah melakukan penyelidikan, kepolisian akan menentukan, kasus yang dialami merupakan tindakan pidana atau bukan. Jika terbukti sebagai tindakan pidana akan dilakukan  gelar perkara untuk  menentukan kecukupan alat bukti  serta tindakan pidana.
  3. Jika bukti dinyatakan sudah cukup, maka langkah berikutnya ialah akan dilakukan penyidikan. Di saat ini, biasanya  setelah memasuki proses penyidikan, maka telah ditemukan tersangkanya.
  4. Selanjutnya kepolisian akan melengkapinya dengan berita acara pemeriksaan (BAP).
  5. Langkah berikutnya ialah, segala berkat yang telah melalui tahap penyidikan akan dilimpahkan ke kejaksaan. Namun, jika berkas dinyatakan belum lengkap, maka jaksa akan mengembalikan berkas kepada pihak penyidik atau disebut dengan P18.
  6. Jika semua berkas dinyatakan lengkap atau P21, maka jaksa akan melimpahkan berkas tersebut kepada pengadilan untuk selanjutnya dilakukan persidangan.
  7. Dalam proses persidangan, terdapat beberapa langkah diantaranya, pembacaan surat dakwaan, eksepsi atau penolakan dari tersangka.
  8. Setelah adanya eksepsi, jaksa penuntut umum akan memberikan tanggapan terhadap eksepsi yang diajukan.
  9. Berikutnya, terdapat putusan sela, pembuktian menggunakan berbagai barang yang menjadi bukti adanya tindakan kekerasan.
  10. Setelah melalui berbagai proses, selanjutnya adalah pembacaan putusan oleh jaksa penuntut umum, pembacaan pembelaan dari penasihat hukum, replik, duplik, dan berakhir pada putusan majelis hakim.
Meski telah mengalami kekerasan hingga mengakibatkan berbagai dampak buruk. Pada beberapa kasus KDRT, sebagian korban bahkan enggan untuk melaporkan pelaku. Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan hal itu diakibatkan oleh perasaan terluka untuk kedua kalinya yang harus ditanggung oleh korban. 

“Karena melaporkan hal yang membuat kita trauma, sama dengan melukai kita untuk kedua kalinya. Selain itu, pada beberapa korban juga akan merasa takut jika dirinya yang akan terkena imbas, misalnya dianggap bawa dialah pelakunya,” katanya. 
 

Kasus KDRT di Indonesia 

Bicara soal kasus kekerasan yang dialami masyarakat di kehidupan rumah tangga, Mariana menyebut bahwa jumlah kasus KDRT secara keseluruhan relatif stabil. Menurutnya, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, angkanya cukup konsisten. 

Dia menambahkan, pihaknya banyak mendapatkan aduan kasus yang dialami oleh seorang istri dan anak perempuan. Hal ini didukung oleh data yang diperoleh melalui situs layanan Catatan Tahunan (Catahu). Dalam publikasi yang dirilis Maret 2023, terdapat 2.098 kasus yang terjadi dalam ranah personal. 

Rinciannya, kasus kekerasan terhadap istri sebanyak 622 aduan, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 140 kasus, kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya seperti menantu, saudara, atau kerabat lainnya sebanyak 111 aduan.

“Kami memiliki pola kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan kematian atau sering kami sebut sebagai femisida,” jelas Mariana Amiruddin.

Femisida merupakan kasus pembunuhan terhadap seorang perempuan yang diakibatkan oleh kebencian, dendam, dan faktor penguasaan terhadap seorang perempuan. Dengan pandangan tersebut, perempuan dianggap sebagai sebuah objek yang dapat diperlakukan semau pelaku.

Kendati begitu, kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak. Nyatanya, kasus KDRT juga alami oleh laki-laki. Hal ini misalnya tertuang dari data KPPA per November 2023, yang mencatat 4.986 kasus kekerasan yang menimpa kaum adam. 

Baca juga: Pencegahan KDRT, Mulai dari Terapi hingga Pentingnya Perjanjian Pra Nikah

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Ternyata Teknologi Ini yang Bikin Panggung Coldplay Megah di Jakarta

BERIKUTNYA

10 Produk Lokal yang Paling Dicari di Ecommerce Sepanjang 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: