Pencegahan KDRT, Mulai dari Terapi hingga Pentingnya Perjanjian Pra Nikah
14 January 2023 |
19:48 WIB
Genhype, belakangan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tengah ramai, menyusul perkara yang menimpa model sekaligus aktris Venna Melinda. Dalam laporannya, Venna Melinda menuduhkan sang suami, Ferry Irawan sebagai tersangka di balik kekerasan tersebut.
Kabar mengenai kekerasan dalam rumah tangga beberapa selebritas belakangan ini pun sempat membuat generasi milenial cemas. Tidak sedikit yang takut melaju dalam komitmen dalam mahligai pernikahan. Beberapa juga menaruh curiga dengan pasangannya terkait kemungkinan perubahan sikap setelah menikah.
Baca juga: Mengenal Siklus KDRT & Alasan Korban Mempertahankan Hubungannya
Meski terlihat sebagai sikap spontan, ternyata ada alasan dan faktor pendorong mengapa seseorang kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Gillette dalam laporannya menyebut, tujuan pelaku KDRT hampir selalu berkaitan dengan keinginan untuk mengontrol. Pelaku akan memanipulasi pasangannya dengan mempertahankan rasa dominasi dalam hubungan.
Psikolog klinis forensik, A. Kasandra Putranto juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, ada beberapa faktor di balik terjadinya KDRT antara lain ketergantungan ekonomi, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, hingga penyelesaian konflik dengan kekerasan sebagai langkah yang dianggap paling mudah. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menyembuhkan kebiasaan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
“Tindak kekerasan sudah bertransformasi menjadi perilaku dari kepribadian pelaku. Jurnal dari Ellen Pence juga mengatakan akan sulit untuk menyembuhkan kebiasaan pelaku KDRT ini. Perilaku kekerasan tersebut bahkan sulit dihilangkan dengan metode psikoterapi atau konseling sekalipun,” kata Kasandra.
Meski demikian, Kasandra menyebut jurnal yang dibuat oleh Pence pernah mengatakan jika pelaku KDRT masih punya sedikit peluang untuk keluar dari kebiasaan buruknya. Hal itu dapat dilakukan dengan terapi Achieving Change Through Values-Based Behavior(ACTV) untuk menurunkan intensitas dan frekuensi kekerasan yang dilakukan secara bertahap.
Terapi ACTV ini berlangsung dengan pendekatan penyadaran mengenai perasaan tidak menyenangkan yang menghinggapi mereka. Tantangannya adalah bagaimana pelaku tidak membiarkan terhanyut dalam perasaan yang tidak mereka sukai tersebut, melainkan mereka harus mampu mengendalikannya dengan baik.
“Terapi ini dapat membantu mengelola emosi mereka sehingga pelakunya bisa menyalurkan emosi negatif dengan cara yang positif. Jadi meski peluang sembuhnya kecil, mereka tetap bsia diarahkan untuk mengikuti kelas terapi ini,” katanya.
Dari sisi korban, tak sedikit juga yang berani mengunggah bukti-bukti KDRT di media sosial. Perlakuan ini didorong oleh berbagai faktor mulai dari pengakuan, tanda permintaan pertolongan, dan lainnya.
“Semua hal tentu ada maksud dan tujuannya. Mengunggah bukti pelecehan sampai kekerasan ke media sosial bisa menjadi upaya penyelamatan diri, tetapi mengandung risiko berbalik arah atau bumerang jika tidak terbukti dan berpotensi resiko pencemaran nama baik jika tidak terbukti,” katanya.
Meski banyak yang menyebut perubahan sikap tempramen dalam rumah tangga terjadi secara mendadak, Kasandra menyebut ada beberapa sikap yang harus dikenali dan mulai diperhatikan sejak masa pendekatan atau sebelum menikah.
Misalnya, sikap posesif yang berlebihan, mudah marah dengan masalah kecil, manipulatif, terlalu mendominasi hubungan, abusif, atau sering minta maaf tapi mengulangi kesalahan yang sama.
Masyarakat juga diharapkan mulai melek dengan hukum yang mengatur tentang pernikahan. Misalnya perjanjian pra nikah yang dapat dijadikan sebuah insturmen hukum pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dimana pasalnya mengikat secara yudiris normatif dengan sifat preventif.
“Melihat dari banyaknya angka kasus perceraian yang diakibatkan karena kekerasan dalam rumah tangga diperlukan solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan tersebut seperti perjanjian perkawinan ini,” ungkap Kasandra.
Perjanjian perkawinan sebagai langkah preventif kekerasan rumah tangga juga memberi kepastian hukum melalui perumusan sebuah janji nikah bagi dua belah pihak agar mengetahui masing-masing hak dan kewajibannya.
Kasus KDRT terlihat seperti gunung es. Kebanyakan korban KDRT menutupi sikap kekerasan yang diterimanya dengan berbagai faktor seperti menutupi aib pasangan atau takut membuat masalah semakin buruk. “Untuk itu sebagai keluarga, sebaiknya kita harus peka dan siap memberi perlindungan dengan cara memastikan lingkungan yang aman,” tutup Kasandra.
Baca juga: Simak Kiat Mencegah KDRT Sejak Dini, Waspada Tandanya!
Editor: Dika Irawan
Kabar mengenai kekerasan dalam rumah tangga beberapa selebritas belakangan ini pun sempat membuat generasi milenial cemas. Tidak sedikit yang takut melaju dalam komitmen dalam mahligai pernikahan. Beberapa juga menaruh curiga dengan pasangannya terkait kemungkinan perubahan sikap setelah menikah.
Baca juga: Mengenal Siklus KDRT & Alasan Korban Mempertahankan Hubungannya
Meski terlihat sebagai sikap spontan, ternyata ada alasan dan faktor pendorong mengapa seseorang kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Gillette dalam laporannya menyebut, tujuan pelaku KDRT hampir selalu berkaitan dengan keinginan untuk mengontrol. Pelaku akan memanipulasi pasangannya dengan mempertahankan rasa dominasi dalam hubungan.
Psikolog klinis forensik, A. Kasandra Putranto juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, ada beberapa faktor di balik terjadinya KDRT antara lain ketergantungan ekonomi, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, hingga penyelesaian konflik dengan kekerasan sebagai langkah yang dianggap paling mudah. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menyembuhkan kebiasaan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
“Tindak kekerasan sudah bertransformasi menjadi perilaku dari kepribadian pelaku. Jurnal dari Ellen Pence juga mengatakan akan sulit untuk menyembuhkan kebiasaan pelaku KDRT ini. Perilaku kekerasan tersebut bahkan sulit dihilangkan dengan metode psikoterapi atau konseling sekalipun,” kata Kasandra.
Ilustrasi KDRT (Sumber gambar: Mart Production/Pexels)
Terapi ACTV ini berlangsung dengan pendekatan penyadaran mengenai perasaan tidak menyenangkan yang menghinggapi mereka. Tantangannya adalah bagaimana pelaku tidak membiarkan terhanyut dalam perasaan yang tidak mereka sukai tersebut, melainkan mereka harus mampu mengendalikannya dengan baik.
“Terapi ini dapat membantu mengelola emosi mereka sehingga pelakunya bisa menyalurkan emosi negatif dengan cara yang positif. Jadi meski peluang sembuhnya kecil, mereka tetap bsia diarahkan untuk mengikuti kelas terapi ini,” katanya.
Dari sisi korban, tak sedikit juga yang berani mengunggah bukti-bukti KDRT di media sosial. Perlakuan ini didorong oleh berbagai faktor mulai dari pengakuan, tanda permintaan pertolongan, dan lainnya.
“Semua hal tentu ada maksud dan tujuannya. Mengunggah bukti pelecehan sampai kekerasan ke media sosial bisa menjadi upaya penyelamatan diri, tetapi mengandung risiko berbalik arah atau bumerang jika tidak terbukti dan berpotensi resiko pencemaran nama baik jika tidak terbukti,” katanya.
Meski banyak yang menyebut perubahan sikap tempramen dalam rumah tangga terjadi secara mendadak, Kasandra menyebut ada beberapa sikap yang harus dikenali dan mulai diperhatikan sejak masa pendekatan atau sebelum menikah.
Misalnya, sikap posesif yang berlebihan, mudah marah dengan masalah kecil, manipulatif, terlalu mendominasi hubungan, abusif, atau sering minta maaf tapi mengulangi kesalahan yang sama.
Masyarakat juga diharapkan mulai melek dengan hukum yang mengatur tentang pernikahan. Misalnya perjanjian pra nikah yang dapat dijadikan sebuah insturmen hukum pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dimana pasalnya mengikat secara yudiris normatif dengan sifat preventif.
“Melihat dari banyaknya angka kasus perceraian yang diakibatkan karena kekerasan dalam rumah tangga diperlukan solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan tersebut seperti perjanjian perkawinan ini,” ungkap Kasandra.
Perjanjian perkawinan sebagai langkah preventif kekerasan rumah tangga juga memberi kepastian hukum melalui perumusan sebuah janji nikah bagi dua belah pihak agar mengetahui masing-masing hak dan kewajibannya.
Kasus KDRT terlihat seperti gunung es. Kebanyakan korban KDRT menutupi sikap kekerasan yang diterimanya dengan berbagai faktor seperti menutupi aib pasangan atau takut membuat masalah semakin buruk. “Untuk itu sebagai keluarga, sebaiknya kita harus peka dan siap memberi perlindungan dengan cara memastikan lingkungan yang aman,” tutup Kasandra.
Baca juga: Simak Kiat Mencegah KDRT Sejak Dini, Waspada Tandanya!
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.