Korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum, pelauanan kesehatan dan pendampingan khusus. (Sumber gambar: Pexels/SHVETS production)

Ramai Kasus Lesty-Billar, Psikolog Tekankan Korban dan Pelaku KDRT Butuh Terapi

01 October 2022   |   13:21 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa penyanyi dangdut Lesty Kejora cukup menyita perhatian publik, terutama para penggemarnya. Dia mengalami kondisi yang cukup serius akibat dicekik dan dibanting suaminya, Rizky Billar yang diduga ketahuan selingkuh. 

Kejadian ini membuat Lesty melaporkan Billar ke Polres Metro Jakarta Selatan. Sementara itu, dia harus dirawat di rumah sakit untuk mengobati luka fisik hingga psikis. KDRT menjadi isu serius yang masih terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari rakyat biasa hingga publik figur, siapapun bisa menjadi korbannya. 

Menurut data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, sepanjang 2022, terdapat 11.251 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sebanyak 12.125 orang menjadi korbannya. Dari jenisnya, sebanyak 7.766 orang mengalami kekerasan seksual, 6.014 orang mengalami kekerasan psikis, dan 6.319 orang mengalami kekerasan fisik. 

Baca juga: Genhype, Simak Langkah yang Harus ditempuh Saat Mengalami KDRT

Ya, dampak KDRT yang dirasakan korban cukup besar dan pastinya mempengaruhi kualitas hidupnya. Psikolog Klinis Ratih Ibrahim menerangkan dalam kasus ini, dampak KDRT akan dirasakan tidak hanya oleh pasangan sebagai korban tetapi juga anak. 

Pada pasangan akan ada dampak secara fisik dan psikologis, anak juga secara psikologis akan terdampak jika terpapar oleh konflik tersebut. “Misalnya stress, trauma, bahkan depresi hingga menurunnya fungsi kognitif atau kemampuan berpikir,” ujarnya kepada Hypeabis.id, Sabtu (1/10/2022).

Oleh karena itu, korban harus segera mendapatkan penanganan ketika mengalami KDRT. Adapun KDRT telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga. Di dalam beleid ini dijabarkan mengenai hak-hak korban termasuk untuk mendapatkan perlindungan hukum, pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, penanganan serta pendampingan khusus sesuai kebutuhan. 

Pada pasal 15 dan 16 regulasi tersebut juga sudah disebutkan bahwa masyarakat dan aparat terkait harus berperan aktif. Artinya, jika kerabat atau tetangga menyaksikan tindak KDRT segera dilaporkan ke pihak berwajib sesuai prosedur yang berlaku. Kemudian pihak berwajib akan memberikan perlindungan sementara pada korban, dan kasus yang dilaporkan harus segera ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 

Sementara itu, pendampingan sangat dibutuhkan bagi korban yang pastinya mengalami trauma atas kejadian yang dialaminya. Idealnya kata Ratih, pendampingan dilakukan secara komprehensif. Artinya, tidak hanya pendampingan psikologis, tetapi juga advokasi termasuk secara hukum.

Untuk pendampingan psikologis, bisa dilakukan terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. “Penting bahwa korban merasa aman, dipercaya, dibantu, dan dilindungi,” tegas Ketua II Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) ini.


Penyebab KDRT 

Di sisi lain, Ratih menyebut ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan di dalam rumah tangga. Beberapa diantaranya adalah faktor individu seperti kepribadian, kesulitan mengelola emosi, pengalaman, dan trauma masa lalu, dan lain lain.

Kemudian faktor ekonomi dalam keluarga. Lalu, ketimpangan power antara suami-istri dalam rumah tangga. Namun yang pasti, Ratih menegaskan tindakan abusive, baik itu fisik, verbal, seksual, maupun psikologis dengan alasan apapun itu tidak dibenarkan. Dia berpendapat sikap-sikap yang agresif dalam sebuah relasi merupakan respon yang salah dan berdampak negatif. 

“Dalam rumah tangga, ketidaktahuan seseorang tentang bagaimana cara mengkomunikasikan perasaan dan kebutuhan masing-masing biasanya menjadi awal dari permasalahan yang lebih dalam,” jelas Direktur Personal Growth ini.

Dia juga menilai KDRT bisa jadi bentuk pertahanan atas kesalahan yang dilakukan, seperti selingkuh, walaupun tidak bisa dipukul rata untuk semua kasus. Ketika seseorang melakukan kesalahan, maka bisa jadi ada kecenderungan untuk membela diri dengan berbagai cara. Namun, KDRT bukanlah cara yang benar untuk membela diri dengan alasan apapun.

Lebih lanjut Ratih menyebut bimbingan psikologis atau terapi bisa membantu untuk mengubah pemahaman dan perilaku dari individu yang melakukan KDRT tersebut. Adanya keinginan untuk berubah dan konsistensi dari pelaku untuk terlibat dan aktif dalam proses konseling maka akan menjadi faktor pendukung untuk proses ini.

“Proses ini juga akan membutuhkan waktu yang bervariasi tergantung dengan individu tersebut,” tambahnya.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Masa Berlaku Jadi 10 Tahun, Cek Syarat Pengajuan Paspor untuk Dewasa dan Anak-anak

BERIKUTNYA

Bisa Terjadi Pada Siapapun, Ini Ciri & Potensi KDRT yang Harus Menjadi Perhatian

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: