Eksplorasi Baru Koreografi Lewat Festival Tari Kontemporer Jicon
18 November 2023 |
13:22 WIB
Empat perempuan bergerak ritmis di bawah remang cahaya, meliuk mengikuti alunan electronic dance music (EDM). Mereka bergerak memencar, menyilang, menguncup, memburai, dan melurus, sehingga menjadi kesatuan yang rancak. Arkian, musik beralih menjadi disko, lalu mereka membuka baju luar dengan koreografi yang trengginas.
Berlatar stoples-stoples kaca, dalam sepersekian detik, kostum telah berubah menjadi busana terusan, yang akhirnya membebaskan eksplorasi gerak.
Baca juga: Lucu, Ada Patung Mona Lisa Gemoy di Art Jakarta 2023
Lintasan adegan tersebut merupakan potongan dari pertunjukan tari berjudul In Cycle karya Siti Alisa di Studio PFN Jakarta. Sesuai tajuknya, karya ini berbicara tentang siklus hidup perempuan dalam bayang-bayang nilai moral di era modernitas.
"Ini bukan tentang emansipasi wanita, tapi tentang apa yang harus dijalani oleh perempuan di mana mereka terus mengeksplorasi makna kelembutan, koneksi dengan siklus alam dan tubuh, serta penekanan pada kekuatan yang unik pada dirinya," kata Siti Alisa.
Pertunjukan In Cycle hanyalah satu dari sekian pertunjukan dalam rangkaian festival tari kontemporer Jicon. Mengusung tema Sphere, Jicon tahun ini mencoba mencari sudut pandang sekaligus kemungkinan baru dari dunia tari dan koreografi yang ada di Tanah Air.
Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Josh Marcy mengatakan, Jicon merupakan upaya eksperimentasi dalam koreografi dengan menghubungkan berbagai bentuk karya artistik. Terutama untuk menangkap realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat urban.
Josh mengungkap bahwa mereka berupaya melebarkan kerangka berpikir dalam praktik koreografi dengan konsep Meruang. Artinya, tari bukan hanya bisa dinikmati sebagai suatu tontonan, tetapi juga ada keterlibatan ruang dan masyarakat yang mengalami kebersamaan dalam berekspresi.
"Meruang itu juga tentang segala sesuatu yang terkait dengan spasialitas. Di situ ada tubuh, ada warga, dan narasi sosial yang berkembang yang lalu dipertemukan menjadi ekspresi baru dalam koreografi," katanya.
Tahun ini Jicon juga menghadirkan Telisik Tari, yakni program berbasis riset dan arsip lewat berbagai tari tradisi yang tersebar di berbagai daerah. Menurutnya, pembacaan ulang terhadap tari tradisi penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana tradisi tersebut dapat terus tumbuh.
Selain itu, ada pula program Imajitari, festival film tari internasional berbasis kompetisi yang tahun ini diikuti oleh 849 karya film dari 94 negara. Semua kelindan tersebut diteroka melalui sederet pertunjukan dan diskusi dengan mengundang pakar, pengamat, dan seniman di bidangnya.
Spiritualisme Urban
Sementara itu, Komite Tari DKJ yang menggandeng Rebecca Kezia sebagai kurator festival memilih tema Sphere yang digambarkan seperti ruang lingkup yang besar. Jicon menawarkan berbagai program di sepanjang festival untuk melihat bagaimana spiritualitas urban itu berada dalam suatu karya yang luas.
Menurut Rebecca, sejak pertama kali dihelat pada 2021 Jicon sebenarnya dilangsungkan untuk merespon pandemi Covid-19. Adapun, tema Sphere merupakan bayangan sebuah dunia atau cakupan mengenai kerja koreografi yang tidak hanya melulu estetika tari yang hanya bisa berlangsung di atas panggung semata.
”Dalam banyak pandangan kita, menurut saya, saat berkarya, berbicara, ataupun menikmati kesenian, terutama tari, seringkali sebuah karya dimaknai secara sempit. Karena itu, Jicon tahun ini ingin melihat keluasan praktik-praktik koreografi,” terangnya.
Hal itu misalnya, terepresentasi dalam karya pertunjukan bertajuk Sambang Setangga: Kalipasir karya Taufik Darwis dan Agung Eko Sutrisno. Dalam pementasan tari yang berlangsung di Kali Pasir, Menteng, Jakarta Pusat itu juga melibatkan warga, kritikus, koreografer, dan penulis untuk saling mengalami pertunjukan.
Selain pemaknaan tari yang tidak hanya selalu berorientasi pada panggung juga hadir lewat pertunjukan Tarekat Kopi #2 Ruang Pembebasan karya M. Safrizal. Pementasan ini menurut Rebecca akan memaknai spiritualitas lewat gerakan praktik ketubuhan dalam sebuah tarekat yang ada di Aceh.
"Saya membayangkan praktik-praktik yang meluas itu seperti puzzle yang saling melengkapi. Di edisi pertama Jicon mengenai spiritualisme ini kita juga akan sama-sama diajak melihat lanskapnya seperti apa," katanya.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Ahmad Mahendra mengatakan, Jicon menjadi jawaban atas kebutuhan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat perilaku dan peristiwa agar masyarakat tidak hanya memiliki satu pandangan sempit.
Baca juga: Art Jakarta 2023 Resmi Dibuka, Ekosistem Seni Makin Bergairah
Menurutnya, pandemi Covid-19 yang baru saja dialami juga telah mengajarkan masyarakat global untuk beradaptasi dengan situasi-situasi baru. Artinya, kiwari telah ada banyak hal baru yang mengajarkan manusia agar kian mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perubahan situasi.
"Saat ini dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru untuk melihat segala perilaku dan peristiwa yang terjadi agar masyarakat tidak terjebak subyektivitas,” katanya.
Editor: Fajar Sidik
Berlatar stoples-stoples kaca, dalam sepersekian detik, kostum telah berubah menjadi busana terusan, yang akhirnya membebaskan eksplorasi gerak.
Baca juga: Lucu, Ada Patung Mona Lisa Gemoy di Art Jakarta 2023
Lintasan adegan tersebut merupakan potongan dari pertunjukan tari berjudul In Cycle karya Siti Alisa di Studio PFN Jakarta. Sesuai tajuknya, karya ini berbicara tentang siklus hidup perempuan dalam bayang-bayang nilai moral di era modernitas.
"Ini bukan tentang emansipasi wanita, tapi tentang apa yang harus dijalani oleh perempuan di mana mereka terus mengeksplorasi makna kelembutan, koneksi dengan siklus alam dan tubuh, serta penekanan pada kekuatan yang unik pada dirinya," kata Siti Alisa.
Pertunjukan In Cycle dalam rangkaian Jakarta International Contemporary Dance Festival 2023 (sumber gambar Andi Maulana/ DKJ)
Pertunjukan In Cycle hanyalah satu dari sekian pertunjukan dalam rangkaian festival tari kontemporer Jicon. Mengusung tema Sphere, Jicon tahun ini mencoba mencari sudut pandang sekaligus kemungkinan baru dari dunia tari dan koreografi yang ada di Tanah Air.
Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Josh Marcy mengatakan, Jicon merupakan upaya eksperimentasi dalam koreografi dengan menghubungkan berbagai bentuk karya artistik. Terutama untuk menangkap realitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat urban.
Josh mengungkap bahwa mereka berupaya melebarkan kerangka berpikir dalam praktik koreografi dengan konsep Meruang. Artinya, tari bukan hanya bisa dinikmati sebagai suatu tontonan, tetapi juga ada keterlibatan ruang dan masyarakat yang mengalami kebersamaan dalam berekspresi.
"Meruang itu juga tentang segala sesuatu yang terkait dengan spasialitas. Di situ ada tubuh, ada warga, dan narasi sosial yang berkembang yang lalu dipertemukan menjadi ekspresi baru dalam koreografi," katanya.
Tahun ini Jicon juga menghadirkan Telisik Tari, yakni program berbasis riset dan arsip lewat berbagai tari tradisi yang tersebar di berbagai daerah. Menurutnya, pembacaan ulang terhadap tari tradisi penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana tradisi tersebut dapat terus tumbuh.
Selain itu, ada pula program Imajitari, festival film tari internasional berbasis kompetisi yang tahun ini diikuti oleh 849 karya film dari 94 negara. Semua kelindan tersebut diteroka melalui sederet pertunjukan dan diskusi dengan mengundang pakar, pengamat, dan seniman di bidangnya.
Spiritualisme Urban
Sementara itu, Komite Tari DKJ yang menggandeng Rebecca Kezia sebagai kurator festival memilih tema Sphere yang digambarkan seperti ruang lingkup yang besar. Jicon menawarkan berbagai program di sepanjang festival untuk melihat bagaimana spiritualitas urban itu berada dalam suatu karya yang luas.
Menurut Rebecca, sejak pertama kali dihelat pada 2021 Jicon sebenarnya dilangsungkan untuk merespon pandemi Covid-19. Adapun, tema Sphere merupakan bayangan sebuah dunia atau cakupan mengenai kerja koreografi yang tidak hanya melulu estetika tari yang hanya bisa berlangsung di atas panggung semata.
”Dalam banyak pandangan kita, menurut saya, saat berkarya, berbicara, ataupun menikmati kesenian, terutama tari, seringkali sebuah karya dimaknai secara sempit. Karena itu, Jicon tahun ini ingin melihat keluasan praktik-praktik koreografi,” terangnya.
Pertunjukan In Cycle dalam rangkaian Jakarta International Contemporary Dance Festival 2023 (sumber gambar Andi Maulana/ DKJ)
Selain pemaknaan tari yang tidak hanya selalu berorientasi pada panggung juga hadir lewat pertunjukan Tarekat Kopi #2 Ruang Pembebasan karya M. Safrizal. Pementasan ini menurut Rebecca akan memaknai spiritualitas lewat gerakan praktik ketubuhan dalam sebuah tarekat yang ada di Aceh.
"Saya membayangkan praktik-praktik yang meluas itu seperti puzzle yang saling melengkapi. Di edisi pertama Jicon mengenai spiritualisme ini kita juga akan sama-sama diajak melihat lanskapnya seperti apa," katanya.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Ahmad Mahendra mengatakan, Jicon menjadi jawaban atas kebutuhan berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat perilaku dan peristiwa agar masyarakat tidak hanya memiliki satu pandangan sempit.
Baca juga: Art Jakarta 2023 Resmi Dibuka, Ekosistem Seni Makin Bergairah
Menurutnya, pandemi Covid-19 yang baru saja dialami juga telah mengajarkan masyarakat global untuk beradaptasi dengan situasi-situasi baru. Artinya, kiwari telah ada banyak hal baru yang mengajarkan manusia agar kian mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perubahan situasi.
"Saat ini dibutuhkan berbagai medium dan cara pandang baru untuk melihat segala perilaku dan peristiwa yang terjadi agar masyarakat tidak terjebak subyektivitas,” katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.