Ilustrasi lansia yang menderita penyakit kardiovaskular. (Sumber gambar : Freepik/Jcomp)

Penanganan Penyakit Degeneratif di Indonesia Masih Sulit, Ini Sebabnya

07 November 2023   |   18:30 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Penyakit degeneratif masih jadi tantangan utama kesehatan di Indonesia. Kasusnya cenderung meningkat dan membebani negara karena biaya penanganannya yang cukup besar. Sejumlah ahli pun berupaya mencari solusi, dengan tidak melupakan edukasi sebagai garda utama guna mereduksi risiko penyakit ini.

Salah satu penyakit degeneratif yang kasusnya tinggi di Indonesia yakni penyakit kardiovaskular. Kementerian Kesehatan mencatat, kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah ini mencapai 651.481 penduduk per tahun, terdiri dari stroke 331.349 kematian, penyakit jantung koroner 245.343 kematian, dan penyakit jantung akibat hipertensi 50.620 kematian.

Sementara itu, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada November tahun lalu menunjukkan biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit jantung dan pembuluh darah menghabiskan Rp 10,9 triliun dengan jumlah kasus 13.972.050. Bisa dikatakan jumlah ini hampir separuh dari total pembiayaan BPJS.

Baca juga: Duh, Penyakit Degeneratif Malah Jadi Benang Kusut yang Mengintai Usia Muda

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyampaikan penanganan penyakit degeneratif menjadi tantangan besar negara. Paling utama karena penyakit ini tidak lepas dengan usia tua. Orang lanjut usia (lansia) di Indonesia pun jumlahnya terus meningkat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, selama sepuluh tahun terakhir, persentase penduduk lansia di Indonesia meningkat dari 7,57 persen pada 2012 menjadi 10,48 persen pada 2022. Angka tersebut diproyeksi terus mengalami peningkatan hingga mencapai 19,9 persen pada 2045.

Adib menuturkan ketika seseorang memasuki usia tua, terjadi penurunan fungsi organ vital di dalam tubuhnya sehingga bisa mempengaruhi sel di saraf otak, sel pembuluh darah, hingga sel tulang rawan dan sendi. Sebagai contoh, ketika fungsi organ ginjal mulai menurun, akhirnya muncul risiko gagal ginjal kronik. Begitu pula para wanita yang memasuki masa menopause. Fungsi hormon estrogennya turun dan meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes, maupun gagal ginjal.  

Oleh karena itu, penting melakukan modifikasi gaya hidup sejak dini demi menabung sehat di masa tua. Menurutnya menjadi tidak efektif ketika hal tersebut dilakukan ketika sudah terkena penyakit degeneratif. 

“Pada saat menopause baru minum susu kalsium yang banyak (untuk mengatasi osteoporosis), sudah tidak efektif. Deposit tulang dilakukan sejak umur 30an,” tegas Adib.
 

Ilustrasi (Sumber: Freepik/Jcomp)

Ilustrasi (Sumber: Freepik/Jcomp)


Edukasi Kesehatan Masyarakat

Tidak dapat dimungkiri, mayoritas masyarakat Indonesia menunggu kebakaran jenggot ketimbang mencegah masalah yang akan menghampirinya sejak awal. Untuk meningkatkan kesadaran risiko penyakit degeneratif, Adib memandang perlunya edukasi sejak dini sebagai tindakan preventif. Edukasi bisa dilakukan mulai dari sekolah dasar. 

Dia menerangkan dalam dunia pengobatan kini memang ada istilah predictive medicine yang merujuk pada pengembangan genomic sequencing untuk mendapatkan prediksi risiko penyakit yang akan dialami pasien. Namun, dalam penanganan penyakit degeneratif ini, senjata utamanya adalah tindakan pencegahan melalui gaya hidup sehat sejak dini hingga pengobatan sejak dini ketika gejala awal muncul.

“Kalau fokus predictive medicine, kemudian hanya bicara terapi saja, beban tetap meningkat, kembalikan kepada prevention,” tegasnya. 

IDI, katanya, akan menjadi penyeimbang. Para dokter tentu menjadi garda terdepan untuk menangani pasien dengan penyakit degeneratif. Namun Adib menyebut pihaknya juga berupaya mengedukasi masyarakat untuk mencegah bertambahnya kasus penyakit ini.

Tidak sedikit dokter dan ahli kesehatan yang melakukan penelitian untuk menemukan terapi, baik melalui obat maupun alat dalam penanganan penyakit degeneratif. Salah satunya mengenai pemanfaatan tanaman Indonesia seperti daun kelor untuk mencegah penyakit jantung dan meningkatkan kepadatan tulang.

Kendati demikian, banyak pula penelitian yang mandek hanya pada kelompok ilmiah saja dan tidak terdistribusi ke masyarakat. Hal ini karena riset membutuhkan biaya yang besar dan sejumlah tahapan yang panjang. “Untuk proses uji klinis saja butuh effort, termasuk sumber daya manusia maupun sumber daya pembiayaan. Ini kadang belum menjadi concern,” jelas Adib.

Ketika sudah keluar hasil uji klinis pun, riset tersebut tidak serta merta bisa mencapai pasar, selain karena mayoritas perusahan farmasi dari pemodal asing. Alhasil bahan baku obat maupun peralatan terapi untuk penyakit degeneratif pun 90 persen masih impor. 

Menurut Adib, perlu fasilitator yang menghubungkan akademisi dengan sektor bisnis agar Indonesia memiliki produk alat kesehatan lokal. “Peran kolaborasi ini ada di pemerintah. Perlu ada regulasi. Kalau ada Undang-Undang ketahanan farmasi dorong industri lokal, seperti apa yang mau didorong kalau masih ambil dari luar, sama saja,” tuturnya.

Baca juga: Harapan dari Terapi Stem Cell untuk Atasi Penyakit Degeneratif

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Gokil, Album Golden Jungkook Capai 2,32 Miliar Streaming di Spotify saat Perilisan

BERIKUTNYA

Rekomendasi Water Purifier untuk Kualitas Air yang Lebih Jernih & Sehat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: