Ilustrasi penyakit degeneratif (Sumber gambar: Robina Weermejer/Unsplash)

Duh, Penyakit Degeneratif Malah Jadi Benang Kusut yang Mengintai Usia Muda

07 November 2023   |   06:47 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Dunia medis terus berkonsentrasi dengan pertambahan kasus penyakit degeneratif dari tahun ke tahun. Tidak hanya bagi Indonesia, bahkan dunia juga sangat fokus dengan langkah-langkah preventif hingga kuratif. Untuk menekan laju penyakit degeneratif, langkah preventif melalui perbaikan gaya hidup pun digalakkan.

Namun di luar itu, salah satu yang cukup menjadi fokus penting di tengah maraknya penyakit degeneratif saat ini juga menyasar ada persolan pembiayaan pengobatan penyakitnya yang membutuhkan dana yang besar. Secara prevalensi demografi, risiko besar penyakit degeneratif dalam kasus kardiovaskular misalnya, menunjukkan kasus yang kian tinggi untuk perempuan.

Baca juga: 5 Fakta Penting tentang Kanker Usus Besar yang Mulai Menyerang Usia Muda

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan sebanyak 2,85% perempuan memiliki prevalensi per mil untuk jenis penyakit kanker, lebih tinggi jika disandingkan dengan persentase pada pria dengan angka 0,74% saja. Lebih spesifik, kasus penyakit jantung koroner memiliki prevalensi per mil pada perempuan berada pada kisaran 1,06%, sementara pria hanya 1,03%.
 
Menurut Dokter Spesialis Obstetri & Ginekologi RS Pondok Indah Ni Komang Yeni Dhana Sari, wanita memiliki hormon estrogen yang sangat berpengaruh dan menentukan terjadinya penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, stroke, dan gangguan jantung. Faktor risikonya akan semakin besar saat wanita memasuki usia menopause.

“Estrogen itu sifatnya protektif terhadap jantung kita, makanya perempuan di bawah usia menopause jarang terkena stroke dan serangan jantung. Estrogen yang membuat perempuan bisa terhindar dari risiko penyakit kardiovaskular,” jelasnya.
 
Sayangnya, kini penyakit degeneratif bukan hanya harus diwaspadai kalangan lanjut usia saja. Meski data menunjukkan penyakit degeneratif masih didominasi usia 45 tahun ke atas, kini kelompok umur mulai usia 25 tahun pun mulai mencatat kenaikan kasus yang signifikan. Sebut saja mereka yang berusia 25-34 tahun memiliki prevalensi per mil untuk penyakit hipertensi mencapai 2,07% atau untuk penyakit jantung mencapai 0,08%.
 

Tantangan Biaya Penanganan

Ilustrasi alat kesehatan (Sumber gambar: Jair Lazaro/Unsplash)

Ilustrasi alat kesehatan (Sumber gambar: Jair Lazaro/Unsplash)


Angka yang terus merangkak naik ini mulai meresahkan baik dari segi gaya hidup hingga pembiayaan. Misalnya saja untuk kasus aritmia, Dewan Penasehat Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) Dicky Armein Hanafy menjelaskan pasien sangat membutuhkan tindakan cepat, tetapi kerap kali terhambat karena persoalan biaya. Penanganan aritmia biasanya dilakukan dengan tindakan kateter ablasi untuk menindak detak jantung yang tidak teratur atau terlalu cepat.

“Karena keberhasilan tindakan makin tinggi, tindakan ablasi sudah menjadi pilihan pertama. Karena obat-obatan hanya dapat meredam kemunculan aritmia tetapi tidak menyembuhkannya,” jelas Dicky.
 
Penanganan lainnya dilakukan dengan pemasangan alat Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) yang biasanya dilakukan untuk mencegah kematian jantung mendadak. ICD merupakan sebuah alat kecil yang ditanam di dalam dada untuk mengembalikan irama jantung yang tidak normal. “Perangkat ICD punya baterai yang bisa tahan sampai 8 tahun tergantung pada frekuensi kerja alatnya,” jelas Dicky.
 
Ketua InaHRS Sunu Budhi Raharjo menjelaskan, persoalannya adalah penanganan menggunakan ICD yang masih sedikit untuk pasien-pasien aritmia di Indonesia. “Kalau kita analogikan populasi kita mirip dengan India, insidensinya mencapai lebih dari 100.000 kematian per tahun. Sementara perbandingannya 1 ICD untuk 5 juta penduduk,” Jelas Sunu.

Padahal, aritmia yang tidak tertangani bisa menyebabkan risiko penyakit degeneratif lainnya. Sunu menyebut, 1 dari 3 pasien fibrilasi atrium yang merupakan kasus aritmia yang paling terjadi terjadi berisiko terkena stroke.
 
Salah satu faktor yang paling disoroti adalah cakupan biaya jaminan kesehatan nasional seperti BPJS dengan biaya implatansi alat ICD yang sangat timpang. “BPJS hanya membayar Rp33 juta dalam penanganan ini ke RS Jantung, bayangkan bagaimana dengan rumah sakit lainnya,” kata Sunu.

Sementara pemasangan ICD dan ablasi merupakan pilar penting dalam strategi perawatan paling krusial untuk penyelamatan nyawa dan peningkatan prognosis jangka panjang pasien.
 
Data InaHRS menunjukkan  biaya cakupkan BJS untuk pemasangan ICD berkisar pada Rp33 juta, sementara biaya penuh penangannya mencapai Rp146,8 juta. Untuk prosedur ablasi 3D, biaya yang dicakup hanya Rp30,5 juta, sementara biaya penangannya mencapai Rp186 juta.

Baca juga: Deteksi Dini Jadi Kunci Pencegahan Kematian Akibat Kanker Paru di Usia Muda

“Jadi terdapat kesenjangan besar antara cakupan BPD dengan biaya tatalaksana penyakit aritmia. Sebagian besar pasien aritmia juga belum mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang semestinya," imbuh Sunu.
 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Mengenal Teknik Mewing, Apa Benar Bisa Memperbaiki Struktur Rahang?

BERIKUTNYA

Cek Beberapa Penyebab Klaim Asuransi Kesehatan Bisa Gagal Klaim

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: