Ilustrasi seseorang sedang menikmati makanan. (Sumber gambar: Louis Hansel/Unsplash)

Dear Content Creator & Food Vlogger, Kritik Makanan Itu Ada Metodologinya

23 October 2023   |   18:07 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Media sosial belum lama ini diramaikan dengan seorang selebtok -akronim selebriti TikTok- yang memberikan penilaian jujur (honest review) terhadap satu warung makan khas Betawi. Dalam unggahannya, dia merekam dan memberikan komentar spontan tentang warung makan itu yang kotor, bau, plus makanannya yang dinilai mahal.

Videonya itu pun menuai ragam respons dari warganet. Banyak yang mendukung selebtok itu lantaran memberikan ulasan dengan jujur, tapi tak sedikit juga yang beranggapan bahwa komentarnya itu bisa saja membuat reputasi warung makan yang diulasnya menjadi buruk, hingga terancam kehilangan pelanggan setianya. 

Dari persoalan tersebut, diskusi dan perdebatan tentang kritikus atau pengulas makanan pun mencuat. Kehadiran para influencer atau food vlogger yang kian masif bermunculan di Indonesia mulai dipandang secara kritis.

Baca juga: Bisa Makan Gratis dan Raih Cuan, Intip Jurus Jitu Jadi Food Vlogger

Banyak yang akhirnya berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kapasitas untuk menjadi seorang food review, lantaran tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang panjang di bidang kuliner. 

Di sisi lain, tak sedikit yang beranggapan bahwa kehadiran mereka bisa memberikan eksposur terhadap resto dan warung-warung makan kaki lima. Konten yang mereka unggah di media sosial, bisa membuka pintu hadirnya konsumen baru dari kalangan masyarakat.  

Menanggapi hal tersebut, Kritikus kuliner Kevindra Prianto Soemantri menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas untuk menjadi pengkritik atau pengulas makanan. Menurutnya, makanan perlu dipandang sebagai seni sama seperti film dan musik, sehingga orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengkritik harus mengerti seluk-beluknya secara komprehensif.

Bukan hanya karena seseorang memiliki platform media sosial dengan jumlah pengikut yang banyak dan bisa menyuarakan pendapat, lantas bisa mengkritisi makanan sebebas-bebasnya tanpa ada metodologi yang jelas.

"Itu ada metodologinya, ada pemikiran yang dalam yang keluar dari sebuah kritik," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Jakarta, Minggu (22/10/2023).
 

Ilustrasi seseorang sedang menikmati makanan. (Sumber gambar: Louis Hansel/Unsplash)

Ilustrasi seseorang sedang menikmati makanan. (Sumber gambar: Priscilla du Preez/Unsplash)

Pria lulusan Jakarta Culinary Center itu mencontohkan, untuk mengkritik satu restoran, dia harus bolak-balik ke tempat itu sebanyak 4 kali dengan waktu yang berbeda-beda. Hal itu dilakukan untuk mengobservasi apakah rasa lezat dan pelayanan yang baik dari restoran itu dilakukan secara konsisten. Tidak ada inkonsistensi dari segi rasa maupun pelayanan.

"Jadi keluar duitnya banyak sekali, sampai akhirnya kami bisa mendapatkan satu ulasan yang komprehensif. Itu pun harus melalui proses editing oleh editor. Itu kalau dari segi tulisan [kritik makanan]," katanya.

Kevin menuturkan mengkritik sebuah makanan bisa memberikan efek yang baik sekaligus buruk terhadap tempat makan tersebut. Menurutnya, itu merupakan poin utama yang harus disadari oleh para kreator konten makanan atau food vlogger. Selain itu, dia jmenambahkan sebaiknya mereka memberikan ulasan yang baik-baik saja, tidak perlu memberikan kritik.

"Saya rasa mereka harus belajar dengan almarhum Bondan Winarno," imbuhnya.

Menurut penulis buku The Art of Restaurant Review itu, banyaknya kreator konten makanan atau food vlogger yang mudah memberikan penilaian atau komentar spontan enak terhadap suatu makanan, lantaran tidak memiliki tingkat literasi khususnya tentang kuliner yang baik.

Dia mengungkapkan bahwa kebanyakan dari kreator konten makanan atau food vlogger tidak memiliki benchmark dari luar negeri dalam menilai makanan. Hal itu dilakukan mereka hanya karena memiliki platform yang bebas untuk berpendapat, dengan jumlah pengikut yang banyak.

"Saya akhirnya bertanya, bagaimana mereka bisa membuat konten baik kalau tidak pernah membandingkan dengan apa yang ada di luar negeri. Contohnya sutradara, untuk membuat film yang baik biasanya dia akan menonton banyak film dulu," imbuhnya. 

Kevin menuturkan tren semacam ini hanya ada di Indonesia. Di negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Filipina, katanya, konten makanan yang masih dipercaya oleh masyarakat dari berbagai kalangan adalah media massa. Mereka masih percaya dengan rekomendasi atau ulasan kuliner dari media massa.

"Makanya majalah kuliner, media kuliner luar negeri, itu masih laku. Di toko buku itu masih berjejer majalah-majalah kuliner, di digital pun begitu," imbuhnya.

Meski demikian, dia tidak memungkiri bahwa kehadiran platform media sosial bisa memberikan kesempatan atau ruang bagi orang-orang untuk berbagi cerita tentang kuliner. Hanya, kreator konten makanan atau food vlogger harus memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki power yang besar untuk memberikan dampak ke tempat makan yang diulasnya.

"Karena mau itu konten kreator ataupun kritikus, ekosistemnya itu kuliner. Jadi harus punya pemikiran bahwa kita sama-sama ingin membangun ekosistem kuliner jadi lebih baik. Kalau orang punya kesadaran itu, pasti dia akan membuat konten yang bertanggung jawab," kata Kevin. 

Baca juga: Viralkan, YouTube Bawa Kabar Gembira Buat Para Kreator Konten

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Tertarik Bangun Greenhouse Sederhana di Rumah, Ikuti Yuk Panduannya

BERIKUTNYA

Indonesian Coffee Summit 2023: Saat Jamu Mencoba Mengikuti Jejak Kepopuleran Kopi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: