Kemacetan di ibukota Jakarta. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Seribu Satu Cara Pemerintah Ajak Masyarakat Kurangi Emisi Karbon, Mengapa Begitu Sulit?

08 October 2023   |   13:41 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tidak ada awan mendung di atas kota Jakarta. Namun, langit terlihat muram dan gedung-gedung pencakar langit terbungkus kabut abu. Kondisi ini menjadi ironi bagi mereka mencari nafkah di ibukota, berjuang untuk keluarga di tengah paparan polusi.

Seribu satu cara dilakukan pemerintah kota hingga pusat untuk memperbaiki kualitas udara di kota Jakarta. Mulai dari menggerakkan masyarakat untuk ramai-ramai menggunakan kendaraan umum, menanam pohon yang dapat menyerap karbon, menggalakkan uji emisi, hingga menyiram jalan-jalan protokol dengan watercanon.

Baca juga: 34 Lokasi Parkir di Jakarta Terapkan Tarif Disinsentif, Berlaku untuk Kendaraan Tak Lolos Uji Emisi

Pemerintah provinsi DKI Jakarta bersama Polda Metro Jaya menggelar tilang uji emisi sejak 1 September 2023, tapi tidak berlangsung lama karena menuai pro dan kontra serta dianggap kurang efektif oleh sejumlah pihak. Awal Oktober 2023, pemerintah kembali memberlakukan tilang dengan menerapkan tarif parkir tertinggi untuk kendaraan yang tidak lolos uji emisi di sejumlah lokasi parkir di Jakarta.

Terbaru, Pemprov DKI Jakarta melalui Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Pencemaran Udara berencana kembali melaksanakan tilang bagi kendaraan yang tak lulus uji emisi pada awal November mendatang. Ada banyak waktu bagi pemilik kendaraan pribadi untuk memastikan mobil dan motor mereka ada dalam kondisi prima. Namun, menggerakkan mereka untuk melakukan uji emisi dan memenuhi standar yang berlaku ternyata tidak semudah teori.

Masih sedikitnya jumlah pengguna kendaraan yang melakukan uji emisi yang diklaim sebagai penyumbang polusi di langit ibu kota memang merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Bukan enggan untuk melakukannya, ketidaktahuan detail pasti terkait hal itu menjadi penyebab banyak orang belum menjalaninya. Komunikasi dan sosialisasi pun perlu digencarkan oleh pemerintah.
 
Indeks kualitas udara di DKI Jakarta kerap menunjukkan tanda tidak sehat dan beberapa kali menjadi yang paling berpolusi di dunia. Ada sejumlah faktor yang membuatnya bisa seperti itu. Selain industri, penggunaan bahan bakar minyak oleh kendaraan menjadi penyebab lainnya.
 
Data pemerintah provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa jumlah pengendara yang melakukan uji gas buang baru mencapai ratusan ribu kendaraan pada September 2023. Dari ratusan ribu itu, tidak semuanya lolos uji. Padahal, kendaraan yang harus melakukan pengujian seharusnya mencapai puluhan juta.
 

Warga mengambil foto gedung bertingkat yang diselimuti kabut tebal di Jakarta, Kamis (31/8/2023).  Arief Hermawan P

Warga mengambil foto gedung bertingkat yang diselimuti kabut tebal di Jakarta, Kamis (31/8/2023). (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Arief Hermawan P)

Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 atau kendaraan yang telah beroperasi di atas tiga tahun sejak 2023, kendaraan roda dua yang wajib uji gas buang sebanyak 15,87 juta. Sementara itu, kendaraan pribadi roda empat sebanyak 3,3 juta unit. 
 
Ada berbagai faktor yang membuat masyarakat enggan melakukan uji emisi dan setiap orang memiliki alasannya masing-masing.
 
Meskipun begitu, Pengamat transportasi Djoko Setijowarno yang juga anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai kemungkinan salah satu penyebabnya adalah sosialisasi yang kurang dari pemerintah.
 
Sosialisasi sepertinya menjadi salah satu penyebab masih belum maksimalnya pemilik kendaraan melakukan uji emisi terhadap kendaraannya. Bukan tidak mau, mereka tidak mengetahui sejumlah hal yang harus dilakukan untuk melakukan uji gas buang.

Gajah Kusumo, karyawan swasta di ibu kota negara salah satu contohnya. Pria yang kerap menggunakan sepeda motor untuk bekerja di Jakarta Selatan itu mengaku bahwa tunggangannya belum melalui uji emisi.
 
Dengan begitu, dia tidak tahu bagaimana kondisi emisi yang keluar dari kendaraan roda duanya itu. Dia menuturkan bahwa ingin melakukan pengujian jika diwajibkan. Namun, dia belum mendapatkan informasi dengan lengkap terkait dengan pengujian emisi terhadap kendaraan roda dua, seperti tempat dan sistem yang digunakan.
 
Berbeda dengan Gajah, M. Nurhadi Pratomo yang juga karyawan swasta di Jakarta sudah melakukan uji emisi. Namun, bukan karena dorongan pemerintah. Dia menjalani pengujian lantaran menjadi bagian ketika melakukan perawatan berkala terhadap kendaraan roda empatnya setiap enam bulan sekali.
 
Pemilik sport utility vehicle (SUV) itu mengungkapkan perawatan berkala dijalani agar kendaraan tetap awet dan nyaman ketika digunakan. Selain itu, kegiatan servis itu juga menghindari kerusakan yang berpotensi mengeluarkan biaya lebih besar.
 
Pria yang akrab disapa Adi itu mengaku hanya mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 juta ketika membawa kendaraannya ke bengkel resmi untuk melakukan perawatan. Adi dan Gajah adalah contoh dua orang yang belum terinformasi dengan baik, dan tidak menutup kemungkinan pemilik kendaraan lain juga mengalami hal serupa.
 
Pakar komunikasi Firman Kurniawan menilai medium perlu menjadi perhatian bagi para pengirim pesan agar para pemilik kendaraan yang ingin diajak untuk melakukan uji emisi menerima pesan tersebut.
 
“Kalau mereka senang menggunakan media sosial, pakai media sosial,” katanya.

Untuk mengetahui media yang digunakan oleh para pemilik kendaraan, pemerintah dapat turun ke lapangan. Mereka bisa melakukan riset atau uji coba dengan media tertentu guna mengetahui respons masyarakat seperti apa ketika sebuah saluran digunakan.
 
Menurutnya, tidak ada satu media yang paling cocok untuk masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pada saat ini terdapat asumsi bahwa ada sekian juta masyarakat Indonesia menggunakan media sosial dan aplikasi pesan yang paling banyak digunakan adalah WhatsApp, tidak menutup kemungkinan ada kelompok tertentu yang tidak memakai aplikasi itu untuk menerima informasi seperti uji emisi, dan sebagainya.
 
Ketidaksesuaian media yang digunakan dalam menyampaikan pesan bisa menjadi penyebab pengendara sepeda motor dan mobil tidak tersosialisasi atau terinformasi dengan baik tentang uji emisi.
 

Ilustrasi uji emisi. Eusebio Chrysnamurti

Ilustrasi uji emisi. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Kemungkinan lainnya seseorang tidak menerima informasi adalah pesan yang disampaikan tenggelam dengan pesan – pesan lainnya. Saat ini, ada banyak pesan yang muncul di publik dan berupaya menarik perhatian.
 
Kondisi itu mengharuskan pemilik pesan masuk pada waktu yang tepat, sehingga sosialisasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik. “Tunggu ketika trending reda baru masuk. Kalau tidak, pesan akan sia-sia,” ujarnya.
 
Sementara itu, pesan yang sebaiknya diberikan kepada para pemilik kendaraan agar tergerak adalah bahwa mereka akan memperoleh keuntungan jika melakukan pengujian emisi.
 
“Jadi, bukan seperti misalnya penting kalau enggak lulus denda Rp250.000 untuk motor dan mobil Rp500.000,” tegasnya.
 
Salah satu contoh penggerak itu seperti penggantian suku cadang gratis, parkir di tempat tertentu secara gratis dalam beberapa waktu, dan sebagainya. Tanpa itu, pengguna kendaraan sulit untuk bergerak sendiri melakukan pengujian emisi.
 
Sama seperti seseorang melakukan medical check up, uji emisi juga akan membuat disinsentif bagi pemilik kendaraan seperti penggantian suku cadang. Mereka akan lebih memilih tidak melakukan pengujian karena – sebagai contoh – kendaraan yang digunakan masih bisa jalan.
 
“Kalau saya uji, saya memastikan kendaraan saya lulus uji emisi, maka saya bisa parkir gratis atau mendapatkan layanan tertentu yang spesial. Itu akan memacu orang untuk merasa mendapatkan timbal balik dari pengorbananan [melakukan uji emisi],” tegasnya.
 
Sementara itu, pakar komunikasi Septia Winduwati menilai pemerintah sebaiknya membuat kampanye sosialisasi uji emisi yang terencana dan sistematis baik dari aspek pesan, pelaksana/ kolaborasi agen, hingga tersedianya layanan uji emisi resmi yang mudah diakses masyarakat.
 
Dari aspek pesan, pemerintah harus memastikan bahwa bahasa yang digunakan sederhana dan mudah dipahami sesuai dengan target audiens. Dengan begitu, pesan kian mudah dipahami dan masyarakat tergerak melakukan uji emisi.
 
“Pesan yang disampaikan harus jelas mengapa ují emisi tersebut diperlukan dan apa manfaat yang akan diperoleh oleh masyarakat dari adopsi kebijakan tersebut. Perlu untuk membuat pesan yang berada dari sudut pandang kebutuhan audiens,” katanya.
 
Pemerintah bisa menggunakan berbagai saluran komunikasi seperti televisi, radio, surat kabar, media sosial, dan situs web resmi pemerintah untuk menyebarkan informasi tentang pentingnya uji emisi.
 
Selain media digital, kampanye luring seperti seminar, dan kegiatan sosialisasi di komunitas atau daerah tertentu juga bisa menjadi pilihan. Melalui media sosial,  konten edukatif tentang uji emisi kendaraan dalam bentuk infografik, video pendek, dan posting yang menarik di platform media sosial juga bisa dilakukan.
 
“Akan lebih maksimal jika melibatkan influencer atau tokoh masyarakat untuk membantu menyebarkan informasi ini. Perlu dipastikan juga bahwa ada tersedia saluran khusus yang mudah diakses untuk mewadahi pertanyaan masyarakat terkait uji emisi tersebut dengan jelas dan tanggap,” katanya.

Baca juga: 4 Indikator yang Menentukan Lolos Tidaknya Uji Emisi Kendaraan

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Eksklusif Profil Alfredo & Isabel Aquilizan: Menciptakan Seni yang Dekat & Memberdayakan Masyarakat

BERIKUTNYA

Menikmati Ragam Varian Dessert Cantik di Sunday Folks

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: