Kendaraan melintas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta, Senin (12/6/2023). Menurut data IQAir tingkat polusi udara Jakarta pada Senin (12/6) pukul 10.00 WIB berada pada angka 159 dan masuk kategori tidak sehat. (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)

Melampaui Pandemi Menuju Tantangan Polusi

24 August 2023   |   10:29 WIB
Image
Gita Carla Hypeabis.id

Like
Pagi ini, 24 Agustus 2023, Jakarta masih terbelenggu oleh masalah polusi udara yang mengkhawatirkan. Sejak Mei 2023, Jakarta telah menempati posisi dalam sepuluh besar kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Walau sudah tiga bulan berlalu, situasinya masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan.

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada Jakarta, melainkan juga terhadap kota-kota di sekitarnya seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Berbagai aplikasi pemantau kualitas udara seperti Nafas dan IQAir dengan seragam menunjukkan hasil yang mengindikasikan kualitas udara yang buruk, ditandai oleh dominasi warna merah pada peta penilaian.

Bahkan pagi ini skor AQI untuk kota Depok sebesar 254 AQI US dan Tangerang Selatan sebesar 215 AQI US (per 08.00 WIB) dan dikategorikan sangat tidak sehat.

Baca juga: Cek Kualitas Udara 24 Agustus 2023 Pagi ini di Jakarta dan Kota Besar Lain Indonesia

Gambaran kualitas udara dari Nafas Indonesia menggambarkan zona-zona lingkaran merah yang membentang sepanjang jalan dari Bogor dan Depok hingga mencapai Jakarta. Bahkan kawasan Cikarang di Kabupaten Bekasi ditunjukkan dengan lingkaran ungu yang mengkhawatirkan, mengindikasikan tingkat polusi sangat tidak sehat yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.
 

Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Polusi udara di Jakarta kembali menduduki peringkat 1 di dunia pada Selasa (22/8/2023). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)

Jajaran gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Polusi udara di Jakarta kembali menduduki peringkat 1 di dunia pada Selasa (22/8/2023). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)

Dampak dari situasi ini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat secara luas. Kasus penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) kembali mengalami peningkatan signifikan. Terutama, pengidap asma merasakan penderitaan lebih karena sulitnya bernapas di tengah lingkungan yang penuh dengan polusi ini.

Asma merupakan salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang memiliki tingkat prevalensi tertinggi di Indonesia. Berdasarkan Data Studi Global Burden of Disease (GBD), pada 2019 diperkirakan ada sekitar 262 juta orang di seluruh dunia yang menderita asma. Faktor yang signifikan dalam pengelolaan penyakit ini adalah persepsi pasien terhadap inhaler pelega sebagai alat pengendali penyakit.

Di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 18 juta orang yang menderita asma. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa sekitar 57,5 persen pasien asma di Indonesia masih memiliki risiko mengalami serangan asma. Data ini berasal dari hasil Riskesdas 2018, yang merupakan survei tentang kesehatan di Indonesia.

Baca juga: Berisiko Ketergantungan, Inhaler Sudah Tidak Direkomendasikan Bagi Pasien Asma


Tantangan Penderita Asma dalam Lingkungan Udara Terpolusi

Desi Hariana sudah berminggu-minggu mengalami flu dan pilek. Suara seraknya memang terasa ketika Hypeabis.id hubungi lewat telepon. Memang sebagai penderita asma, Desi sering terkena flu. Biasanya penyakit kambuhan itu cukup dengan mengonsumi obat. Namun, kali ini dia mengeluhkan durasi flu yang cukup lama.

Penderita asma berusia 50 tahun itu sering memakai masker dan membawa inhaler, namun kualitas udara di kota tidak membantu. “Baru saja membuka pintu rumah, belum kaki melangkah keluar langsung terasa deg-degannya,” Desi mengeluarkan unek-uneknya.

Desi mulai curiga pada faktor polusi udara, sebab tubuhnya mulai terasa perbedaan yang kentara. Sebagai pengidap asma sejak menginjak bangku kuliah, Desi tentunya sudah paham dengan obat-obatnya.
 

Desi Hariana sedang menggunakan inhaler. (Sumber gambar: Desi Hariana)

Desi Hariana sedang menggunakan inhaler. (Sumber gambar: Desi Hariana)

Selama ini, untuk pengobatan asmanya perempuan berambut pendek ini diresepkan dokter dua jenis obat. Pertama, obat kontrol yang berbentuk inhaler yang harus dia pakai setiap hari (siang dan malam hari). Obat terakhir hanya dikonsumsi untuk mencegah kekambuhan.

“Biasanya pakai obat kontrol saja sudah cukup. Namun, belakangan ini saya terpaksa harus pakai dua-duanya. Saya juga memakai inhaler lebih sering,” keluhnya. “Selain itu, saya jadi mudah terkena flu. Minum air dingin sedikit saja sudah kambuh,” tambahnya.

Seperti diketahui, penderita asma dapat mengalami kekambuhan gejala ketika terpapar faktor pemicu (alergen) seperti, asma, misalnya debu, bulu binatang, serbuk sari, asap rokok, udara dingin, stres, hingga kecapaian.  Desi merasa akhir-akhir ini tidak mendekati pemicu alergennya tapi tetap terkena.

Memang sebagai pengguna Transjakarta, Desi terpapar asap kendaraan bermotor. Tapi hal ini sudah dijalaninya bertahun-tahun, entah mengapa lebih merasa sesak. “Bagi penderita asma, rasa sesak ini sangat terasa. Dan bukan sekadar sesak, saya sulit bernapas,” kata yang bekerja sebagai Editor in Chief di Anakku.id, media yang mengkhususkan kesehatan anak ini.

Desi pernah mencoba mengajukan Work From Home ke kantor, tapi pekerjaannya membutuhkan koordinasi yang cepat sehingga kebutuhan bekerja di kantor diperlukan.

Dalam perjalanan menuju kantor di kawasan Pulo Mas yang berjarak 17 km dari rumahnya, dia tetap mempertahankan masker di wajahnya. Namun, upaya tersebut nyatanya belum mampu melindunginya sepenuhnya dari dampak polusi yang membuatnya sesak napas.

"Meskipun saya menggunakan masker secara konsisten, ternyata tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan. Bahkan mencoba menggunakan masker ganda justru menambah rasa sesak," ungkap perempuan yang lahir pada Desember 1972 ini.
 

Warga melintas di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (8/8/2023). Pemprov DKI Jakarta mengimbau warga menggunakan masker untuk mengantisipasi polusi udara di Ibu Kota akibat polusi udara Jakarta dinilai sangat buruk. (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha)

Warga melintas di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (8/8/2023). Pemprov DKI Jakarta mengimbau warga menggunakan masker untuk mengantisipasi polusi udara di Ibu Kota akibat polusi udara Jakarta dinilai sangat buruk. (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha)

Saran dari dokter dan adik iparnya, yang juga merupakan tenaga medis, telah mengarahkannya untuk mempertimbangkan untuk meninggalkan tempat tinggalnya di Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan pindah ke daerah pinggiran kota demi kebaikannya.

Namun, saat ini Desi belum sepenuhnya siap untuk mempertimbangkan opsi tersebut. Dia masih memiliki berbagai aktivitas di luar rumah yang harus diatasi.

Meskipun begitu, Desi telah mengambil langkah-langkah untuk meminimalisir mobilitasnya di luar ruangan. Dia juga memilih untuk berolahraga di sekitar kawasan paru-paru kota di Halim, Jakarta Timur, sebagai upaya untuk menjaga kesehatannya.

Berdasarkan data dari Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI), tingkat polusi udara di Jakarta telah mencapai kategori tidak sehat. Bahkan, Jakarta pernah mencapai peringkat kedua di dunia dalam hal tingkat polusi udara dengan skor AQI sebesar 178.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada Senin, 14 Agustus 2023, presiden memberikan sejumlah instruksi kepada para menterinya hingga gubernur untuk penanganan polusi udara di Jakarta yang semakin mengkhawatirkan.

Menurut pemerintah, kondisi ini dapat disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk periode kemarau yang berlangsung selama tiga bulan terakhir, emisi dari transportasi, dan juga aktivitas industri di wilayah Jabodetabek. Khususnya, sektor industri manufaktur yang menggunakan bahan bakar seperti batu bara turut memberikan kontribusi signifikan terhadap polusi udara.

Presiden dengan tegas mendorong pelaksanaan modifikasi cuaca guna merangsang terjadinya hujan buatan di wilayah Jabodetabek. Selain itu, ia juga memberikan saran kepada perusahaan-perusahaan untuk mengadopsi sistem kerja hybrid, menggabungkan bekerja dari kantor dan bekerja dari rumah, guna mengurangi aktivitas yang berkontribusi pada polusi udara.

Pemerintah juga telah memerintahkan setengah dari jumlah ASN DKI untuk melaksanakan bekerja dari rumah (work from home) mulai 21 Agustus lalu. Langkah ini diambil untuk mengurangi mobilitas, dengan harapan perbaikan kualitas udara ibu kota.

Meskipun masih banyak diragukan kebijakan ini, karena ASN DKI yang berjumlah sekitar 50.000 hanya merupakan sebagian kecil dari total pekerja komuter di ibu kota yang mencapai sekitar 5 juta orang. Mereka ini yang hampir setiap hari melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor melintasi jalanan Jakarta.

Baca juga: Aturan WFH Dinilai Tidak Efektif Atasi Polusi Udara di Jakarta, Harus Ada Solusi Sistematis


Proteksi Diri dari Kepungan Polusi

Di Indonesia, kanker paru-paru telah bertahun-tahun menjadi penyebab utama kematian akibat kanker. Fenomena ini tidak hanya berlangsung lama, tetapi juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Globocan 2020, terungkap bahwa terdapat 34.783 kasus baru kanker paru-paru yang terdeteksi setiap tahun.

Namun, perkembangan ini membawa dampak yang lebih luas. Menurut Elisna Syahruddin, Direktur Eksekutif dari Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), yang ditemui di acara Peluncuran Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia  (23/8), mengatakan kanker paru-paru saat ini mulai mengincar kelompok usia produktif.

Dalam konteks ini, fakta menunjukkan bahwa sejumlah kasus baru kanker paru-paru kini melibatkan individu-individu dalam usia produktif. Penyakit yang sebelumnya lebih umum dijumpai pada mereka yang berusia 70 tahun ke atas, kini mulai muncul pada mereka yang jauh lebih muda.

Baca juga: Kanker Paru di Indonesia Mulai Sentuh Usia Produktif, Rokok & Kualitas Udara Buruk Jadi Biang Keladinya

Elisna menyoroti salah satu pendorong utama peningkatan kasus kanker paru-paru, yaitu konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia. Kendati terdapat batasan usia konsumen, distribusi rokok secara eceran masih belum terkontrol dengan baik.

Angka konsumsi rokok yang tinggi, ditambah dengan mulai merokok pada usia yang lebih muda, mengakibatkan peningkatan kasus kanker paru-paru pada usia produktif. Elisna menekankan bahwa tidak hanya rokok, tetapi produk-produk serupa seperti vape atau shisa memiliki dampak yang serupa.

Selain rokok, faktor lain yang turut berperan adalah buruknya kualitas udara. Udara yang terkontaminasi oleh polusi dan zat berbahaya dapat memicu timbulnya kanker paru-paru, terutama ketika paparan tersebut dikombinasikan dengan zat karsinogen.

Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, menggarisbawahi bahwa polusi udara memiliki dampak yang lebih luas daripada hanya menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), hal ini juga berisiko terhadap kematian.

Bahkan merujuk pada data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), polusi udara dikaitkan dengan 6,7 juta kematian di seluruh dunia pada 2019.
 

Terjadi peningkatan pasien ISPA di DKI Jakarta. Tenaga kesehatan memeriksa kondisi pasien di poli batuk dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas Cilincing, Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)

Terjadi peningkatan pasien ISPA di DKI Jakarta. Tenaga kesehatan memeriksa kondisi pasien di poli batuk dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Puskesmas Cilincing, Jakarta, Rabu (23/8/2023). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)

Dalam angka tersebut, WHO memperkirakan bahwa 4,2 juta kematian disebabkan oleh polusi udara luar ruangan (ambient) pada 2019, sementara sisanya disebabkan oleh polusi udara dalam ruangan (indoor). Profesor Tjandra mengungkapkan hal ini dalam pernyataannya, yang dilansir oleh Hypeabis.id pada Rabu, 1 Agustus 2023.

Nuryunita Nainggolan, seorang Dokter Spesialis Paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), menjelaskan bahwa di perkotaan, polutan udara seperti Partikulat Matter (PM2.5), Nitrogen dioksida (NO2), Ozon (O3), dan Sulfur dioksida (SO2) menjadi permasalahan utama.

Menurut WHO, hampir 25 persen penyakit dan kematian akibat kanker paru-paru di seluruh dunia disebabkan oleh polusi udara. Polusi ini berasal dari berbagai sumber seperti bencana alam, transportasi, rumah tangga, dan industri.

Penggunaan masker tetap menjadi langkah efektif dalam mengurangi paparan polutan. Nuryunita yang dijumpai dalam acara Konferensi Pers PDPI Merdeka dari Polusi Udara pada Jumat, 18 Agustus 2023, merekomendasikan masyarakat menggunakan masker dengan tingkat filtrasi partikel yang tinggi, seperti N95 atau KN95.

Meskipun masker bedah memiliki efektivitas filtrasi sekitar 70 persen, masyarakat tetap dapat menggunakannya jika masker dengan filtrasi tinggi tidak tersedia. Tidak hanya pemilihan masker yang tepat, namun juga cara penggunaannya yang benar penting untuk memaksimalkan efektivitas filtrasi.

Feni Fitriani Taufik, Dokter Spesialis Paru dari PDPI, menggarisbawahi pentingnya penggunaan masker sebagai bentuk perlindungan diri terhadap polusi yang sulit dihindari. Selain itu, dia mendorong masyarakat untuk melakukan pemantauan kualitas udara secara mandiri sebagai panduan dalam mengambil keputusan beraktivitas di luar ruangan.

Feni juga menyarankan untuk memperhatikan sirkulasi udara dan mempertimbangkan penggunaan pemurni udara atau air purifier di dalam ruangan untuk mengurangi polusi udara yang masuk ke dalam ruangan.

Baca juga: Polusi Meningkat, Dokter Paru Rekomendasikan Penggunaan Masker Berdaya Filtrasi Maksimal

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Indyah Sutriningrum

SEBELUMNYA

Asal-usul Sejarah Burger, Makanan Cepat Saji Favorit Banyak Orang

BERIKUTNYA

Hari Televisi Nasional, Sejarah Televisi di Indonesia dari Masa ke Masa

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: