Pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism. (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Hal-hal yang Tak Pernah Mati dari Max Havelaar dalam Pameran The Book That Killed Colonialism

06 October 2023   |   08:20 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Sosok laki-laki dengan baju militer kerajaan yang dilengkapi jubah kebesarannya itu, digambarkan melayang di langit biru. Dengan wajah sedikit mendongak ke atas, sosok berkulit putih itu seolah sedang mengangkangi rakyat kecil di bawahnya. Syakieb Sungkar memberi judul lukisannya The Western Supremacy.

Menjadi bagian dari pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism di Bentara Budaya Jakarta, lukisan Syakieb ini terletak di sisi sebelah kiri ruang pamer, tersinari cahaya lampu yang memanjang bak matahari yang membuat bayang-bayang menjadi lebih jenjang kala sore hari.

Dalam lukisan berdiameter 150cm x 150cm itu, potret para petani bumiputera yang berjibaku dalam model kerja tanam paksa di perkebunan kopi digambarkan secara surealis ekspresionis oleh Syakieb.

Baca juga: Melihat Eksotisme Indonesia dari Kacamata Seniman Korea dalam Pameran Blessing di D Gallerie
 

 pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

The Western Supremacy karya Syakieb Sungkar di pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)


Responsnya terhadap tema pameran kali ini terbilang penuh kritik. Perupa sekaligus kolektor ini memberi gambaran secara gamblang periode penjajahan yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia, yang mana juga diceritakan oleh Dekker lewat pseudonim Multatuli di bukunya.

Skema penjajahan dari hulu ke hilir tergambarkan dengan apik dengan metafora dunia bagian atas dan dunia bagian bawah yang bagai surga dan neraka. Ketika kaum terjajah di bawah sengsara, terlihat jelas siapa saja yang menikmatinya di atas.

Dalam lukisannya ini, dunia bagian bawah digambarkan sebagai situasi cultuurstelsel atau tanam paksa. Sebaliknya, dunia bagian atas berisi kemewahan dengan sekotak harta karun berisi harta benda duniawi, meski ini juga sepaket dengan ancaman perompak di belakangnya. 

Uniknya, di dalam kotak harta karunnya, terdapat mata uang modern dari berbagai negara, termasuk Rupiah yang bergambar Jokowi. Hal ini seolah menegaskan praktik-praktik seperti itu sebenarnya masih terus terjadi walau sangat mungkin telah bersalin rupa menjadi bentuk-bentuk penjajahan baru yang modern.

“Sistem ini masih berjalan hingga sekarang, terutama negeri-negeri terbelakang atau berkembang. Yang diambil bukan hanya harta benda, tetapi perdagangan mata uang yang dikuasai,” ucap Syakieb kepada Hypeabis.id saat ditemui di sela-sela pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism, Bentara Budaya Jakarta, Kamis (6/10).

Dalam pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism, kita bisa menemukan Syakieb dan para pelukis lain mencoba merespons sebuah karya dari Multatuli yang begitu penting bagi Indonesia tempo dulu, bahkan hingga hari ini.

Sebuah buku yang kemudian membuka mata dunia tentang perihnya menjadi kaum terjajah. Sebagai informasi, dalam buku itu, Multatuli banyak menggambarkan bagaimana komoditas kopi dan aneka hasil bumi menyimpan kegetiran akibat paktik tanam paksa yang menyengsarakan.

Kurator Bentara Budaya Jakarta Hilmi Faiq menyebut para seniman di pameran kali ini sedang mencoba mendekonstruksi Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, lalu mengkontekstualisasikannya dengan ruang dan waktu saat ini.

Bagi Hilmi, Dekker memang mengandung ambivalensi atau paradoks dalam dirinya sehingga kita perlu mendekonstruksi dan kritis dalam membaca karyanya. “Paradoks pertama dia adalah seorang Belanda yang justru membela kaum terjajah. Paradoks kedua adalah alih-alih membela pribumi secara utuh, wacana yang dikembangkan Dekker justru mengafirmasi kolonialisme,” ungkapnya, seperti tertulis di catatan kuratorialnya.

Respons cukup menggelitik salah satunya mewujud dalam karya berjudul Pesan Kopi di Kafe Starbucks. Sesuai judulnya, lukisan berdiameter 120cm x 100 cm dari Bambang Prasadhi itu menggambarkan segelas kopi mewah tok dengan latar belakang polos berwarna abu-abu.
 

 pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Pesan Kopi di Kafe Starbucks karya Bambang Prasadhi di pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)


Di bagian gelasnya, tertulis nama pemesan, Max Havelaar, yang dicoretkan dari sebuah spidol hitam. Dalam deskripsi lukisan, Bambang menyebut keganasan kapitalisme akan terus bermetamorfosa dan menggerus keadilan.

Sementara itu, pada karya berjudul Arek Tengger Panen Kopi, Bambang Sudarto memberikan sudut pandang lain tentang kopi dan kolonialisme. Lukisan berdiameter 110cmx 166cm itu tampak dikemas dalam balutan romantisme yang getir.
 

Pesan Kopi di Kafe Starbucks

Arek Tengger Panen Kopi karya Bambang Sudarto di pameran Road to Max Havelaar: The Book That Killed Colonialism (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)


Sang pelukis mencoba mengenang orang tuanya yang dulu mempunyai kebun kopi pada masa Belanda. Lukisan itu tampak menggambarkan seorang pria, dengan blangkon di kepalanya, sedang memanen buah kopi matang berwarna merah. Di sampingnya, ada kuda yang selalu menemaninya.

Memandangnya terasa menyesap rasa pahit dan manis sekaligus, karena di satu sisi mengenang masa indah bersama orang yang dikasihinya, tetapi di sisi lain mengingatkannya pada praktik tanam paksa yang menyengsarakan.

Pameran yang digelar di Bentara Budaya Jakarta ini dibuka pada 5 Oktober dan akan berakhir pada 9 Oktober 2023. Dalam pameran tersebut, tema Max Havelaar, kolonialisme, dan kopi menjadi napas estetik utama para seniman.

Baca juga: Mengungkai Imaji Ruth Marbun dalam Pameran Perangai di Artsphere Gallery

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Daftar iPhone yang Tidak Bisa Pakai WhatsApp per Oktober 2023

BERIKUTNYA

Daftar Ponsel Android yang Tidak Bisa Memakai WhatsApp Mulai 24 Oktober 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: