Sampul Buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran (Sumber gambar: Situs INOVASI)

Potret Terkini Dunia Pendidikan Indonesia dalam Buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran

26 September 2023   |   18:55 WIB
Image
Yulita Theresia Maghi Mahasiswi Jurnalistik Universitas Nusa Nipa Indonesia, Maumere.

Dalam upaya memotret transformasi pendidikan di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan INOVASI Pendidikan (program pendidikan yang didanai Pemerintahan Australia) meluncurkan buku yang bertajuk Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran.

Dalam buku ini, menggambarkan upaya transformasi pendidikan sejak sebelum pandemi hingga pascapandemi Covid-19. Dalam sambutannya pada acara peluncuran buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Sosial, Kepala BSKAP Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo menjelaskan bahwa buku ini tidak sekadar memperkaya pengetahuan namun terdapat nilai lain di dalamnya.

“Buku ini bukan sekadar menampilkan kajian akademik tapi menampilkan kajian yang berakar pada upaya nyata transformasi pendidikan. Upaya nyata yang sudah dilakukan bersama-sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, melalui program kemitraan INOVASI di berbagai kabupaten di empat provinsi yakni Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur,” tutur Anindito.

Baca juga: Kemendikbudristek Luncurkan Rapor Pendidikan 2.0, Bisa Buat PAUD hingga Vokasi

Dalam buku ini,  menampilkan perbandingan hasil belajar sebelum dan sesudah pandemi pada bidang numerasi dan literasi dan bagaimana upaya peningkatan pembelajaran dampak Covid-19, serta estimasi pemulihan yang diperoleh melalui kurikulum Merdeka Belajar.
 
Studi  dalam buku ini juga sudah mengidentifikasi adanya kesenjangan antara kemampuan belajar peserta didik dengan standar pendidikan nasional maupun internasional. Meskipun demikian, telah ada indikasi pemulihan dari learning loss dari pascapandemi dengan berbagai terobosan yang telah dilakukan.

Direktur Program INOVASI Mark Heyward menjelaskan beberapa temuan yang diperoleh selama melakukan studi terkait kesenjangan pendidikan di beberapa wilayah memiliki berbagai tantangan belajar yang berbeda-beda.

“Di NTT ada anak bernama Umbu yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Di NTB ada Siti yang memiliki semangat belajar yang tinggi meski seorang disabilitas dan pendidikannya tidak ditunjang oleh fasilitas dan tenaga pendidikan yang mampu menyeimbangi keadaannya. Sedangkan di Kalimantan Utara ada seorang anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi kurang mampu serta lokasi sekolah yang jauh,” jelas Mark.

Selain itu, dalam penelitiannya, Mark menemukan persentase anak-anak yang sudah mencapai standar minimum kompetensi global terkait literasi pada umumnya sebanyak 37 prsen, anak-anak yang tidak lancar bahasa Indonesia  sebanyak 32 persen.

Ada juga anak-anak yang tidak lancar berbahasa Indonesia dan tinggal di daerah pedesaan sebanyak 24 persen, serta anak-anak yang tidak lancar berbahasa Indonesia dan menempati daerah pedesaan dalam kondisi sebagai penyandang disabilitas sebanyak 8 persen.

Setelah pandemi, kualitas belajar pada peserta didik terus mengalami penurunan. Namun setelah 2 tahun pascapandemi, pelajar mampu mengejar kembali ketertinggalan dengan berbagai upaya.

Mark menjelaskan terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk mempercepat pemulihan pembelajaran, antara lain:

1. Assessment diagnostic
Dengan melakukan assessment diagnostic, proses pembelajaran lebih mengedepankan kebutuhan anak dibandingkan dengan jumlah SKS berdasarkan kurikulum. “Kalau mengadopsi metode seperti ini, lebih adaptif dan lebih disesuaikan dengan kebutuhan anak sendiri,” terang Mark.

Pernyataan ini juga dibenarkan oleh Stacia Alessandra Nau, seorang guru SD Inpres Rata, Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT yang berkesempatan menjadi pembicara dalam Gelar Wicara yang diadakan bersamaan dengan peluncuran buku tersebut. selain Stacia hadir pula  Mendikbud Ristek Nadiem Anwar Makarim  dan juga Bupati Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Barat Syarwani.

“Saat pandemi lalu, kami tidak bisa belajar secara daring dan juga tidak bisa menggunakan internet karena keterbatasan fasilitas. Oleh karena itu, kami membuat metode belajar door to door. Kami berjalan dari satu rumah ke rumah lain untuk bertemu dengan peserta didik. Selain itu kami juga menjalankan program assessment diagnostic dengan memberikan pelajaran kepada siswa berdasarkan levelnya” terang Stacia Alessandra Nau.
 
2. Pembelajaran berdiferensiasi
Pembelajaran ini lebih menekankan proses mengajar guru yang menggunakan berbagai cara atau pola tertentu dalam mendidik murid-muridnya. Dengan demikian, siswa lebih semangat dalam belajar dan sistem belajar tidak terkesan monoton.

“Kurikulum Merdeka Belajar memberikan kesempatan kepada guru, kalau mau mengajar boleh satu topik dan diajarkan selama seminggu full, itu bisa. Kurikulum Merdeka Belajar juga memperboleh peserta didik untuk mengulang kembali pendidikan yang tertinggal 1 atau 2 tahun belakang,” jelas Nadiem.
 
3. Penerapan kurikulum adaptif sesuai kebutuhan siswa
Dengan menerapkan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan, anak didik mampu meningkatkan hasil pembelajaran dua kali lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan kurikulum lama. “Kalau menggunakan kurikulum yang lebih sederhana, berdasarkan kebutuhannya, dan lebih fleksibel, dalam membuat pemulihan pembelajaran lebih cepat 3 hingga 4 bulan,” jelas Mark.
 
Dalam peluncuran buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran, Anindito Aditomo  menjelaskan beberapa temuan dari hasil kajian terkait kesenjangan dalam bidang pendidikan. Dia menjelaskan kurikulum yang fleksibel dan fokus pada kemampuan esensial berdampak positif pada pencapaian pembelajaran murid.

“Setelah kami ukur, ada kehilangan pembelajaran selama 5 hingga 6 bulan dibandingkan dengan sebelum pandemi. Kami melihatnya hasil belajar selama setahun, diukur pada awal tahun, kemudian diukur lagi pada akhir tahun ajaran. Progres belajarnya itu ketika pandemi hanya sekitar separuh dari sebelum pandemi terkait efektifitas belajarnya. Tetapi sekolah yang menggunakan kurikulum yang adaptif, pemulihan pembelajarannya bisa hanya 4 bulan,” tuturnya.

Anindito juga menjelaskan kebijakan pusat yang fleksibel memberi ruang inovasi bagi pemerintah daerah dan satuan pendidikan untuk merancang program yang sesuai kondisi dan kebutuhan peserta didik di masing-masing daerah.  Hal inilah yang diterapkan oleh pemerintahan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara yang telah menyediakan buku bagi para peserta didik.

Baca juga: Menengok Arah Perkembangan Pendidikan Pascasarjana di Indonesia

“Melalui dana BOS sebesar Rp2,1 miliar digunakan untuk pengadaan buku bacaan sebanyak 47.000 buku. Hal ini kami lakukan agar meningkatkan literasi dan numerasi pelajar di Kabupaten Bulungan,” jelas Syarwani, Bupati Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

5 Rekomendasi Museum di Jakarta Buat Liburan Edukatif Selain Museum Nasional Indonesia

BERIKUTNYA

4 Merek Jam Tangan Terkenal yang Jadi Simbol Gaya Hidup dan Prestise

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: