Ilustrasi live shoping. (Sumber gambar : Freepik/Our-team)

Dilema Pelarangan Tiktok Shop, Begini Suara UMKM hingga Pakar Branding

02 October 2023   |   19:58 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Pemangkasan fungsi perniagaan dalam penyelenggara media sosial di Indonesia tidak dipungkiri berpengaruh terhadap aktivitas usaha sejumlah merek lokal. Meskipun masih banyak kanal lain untuk berdagang, namun dipastikan ada pengurangan omzet dari lini social commerce..

Dari survei bertajuk Think with Hypefast, sebanyak 67 persen merek lokal telah memiliki TikTok Shop. Dari jumlah tersebut, 88 persen di antaranya melakukan live streaming setidaknya sekali sehari. Adapun Hypefast merupakan pelopor house of brands berbasis teknologi yang menaungi berbagai local brand di Indonesia. 

“Merek lokal memanfaatkan strategi live shopping melalui kanal seperti TikTok Shop dan Shopee Live untuk menghabiskan stok lama ataupun memasarkan produk baru,” ujar Adinda Paramita Pandjaitan, VP Men and Women Category Hypefast dikutip Hypeabis.id, Senin (2/10/2023).

Baca juga: Hypereport: Tren Live Commerce & Masa Depan Perilaku Belanja Masyarakat Indonesia

Data lain yang diperoleh tim Hypefast menunjukkan bahwa TikTok Shop berkontribusi sekitar 15-18 persen dari total omzet per bulan untuk merek lokal, tergantung dari kategori produk. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan September 2022, ketika kontribusi TikTok baru mencapai sekitar 3 persen. 

Fakta lain yang diperoleh dari survei ini bahwa keuntungan dari penjualan di TikTok Shop justru diklaim lebih rendah 24 persen dibandingkan dengan kanal penjualan lain, seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada. Hal ini disebabkan dua faktor terbesar, yakni demografi pembeli yang lebih muda, dan diskon yang diberikan lebih besar.

Kendati demikian, CEO dan Co-Founder Selleri Jayant Kumar menyebut kehadiran Tiktok Shop menjadi ‘lapak baru’ bagi UMKM untuk dapat berkompetisi langsung dengan brand besar secara kreatif, lewat suguhan konten yang lucu dan menarik.

“Fenomena ini adalah bentuk tantangan bagi pelaku bisnis brand lokal untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan digital dan perilaku konsumen yang menyertainya,” tuturnya.

Sementara itu, CEO PT Brodo Ganesha Indonesia Yukka Harlanda mengaku cukup kaget ketika pemerintah akhirnya memutuskan untuk melarang transaksi dagang di platform media sosial.

Pasalnya, produk sepatu Brodo miliknya juga dipasarkan melalui platform tersebut. “Cukup berpengaruh, 9 persen dari pendapatan kami di Tiktok, kami harus antisipasi next seperti apa,” ucapnya saat dihubungi, Jumat (29/9/2023). 

Meskipun masih banyak saluran yang dipakai untuk menjual Brodo, Yukka menyebut akan berkoordinasi dengan tim Tiktok dan pemerintah mengenai regulasi yang baru ini. Dia berpendapat banyak Tiktok setidaknya telah membantu pengusaha muda untuk lebih kreatif mengembangkan bisnisnya dan mendapat peluang bersaing dengan brand besar.

Yukka berpendapat Tiktok bisa dikatakan sebagai pelopor inovasi penjualan online melalui fitur live streaming. Sekitar 8 tahun yang lalu, dia pernah mempertanyakan tentang penggabungan social network dengan bisnis pada Instagram. Namun pada akhirnya, Tiktok yang memulainya di Asia Tenggara dengan ragam fitur yang tidak dimiliki platform media sosial lainnya. 

Menurutnya, Tiktok memberikan sensasi yang baru dan berbeda dalam hal interaksi antara penjual dan pembeli melalui live streaming. Layakya televisi interaktif, keduanya bisa saling berbincang dan seringkali menjadi hiburan bagi kedua pihak saat sesi berlangsung.

Tidak dipungkiri, seiring waktu banyak yang memanfaatkan Tiktok untuk menjual barang palsu maupun impor yang harganya di bawah pasar. Akan tetapi, menurut Yukka, yang perlu dibenahi seharusnya dari sisi logistik atau bea cukai yang menjadi pintu gerbang barang-barang tersebut masuk ke Indonesia, bukan platformnya.

Yukka menegaskan bahwa inovasi teknologi tidak bisa dihindari. Para pelaku usaha tidak bisa diam di tempat dan harus beradaptasi serta memanfaatkannya. Terlebih pasar terbesar saat ini adalah anak muda yang hidup di dunia digital. 

“Bagi kami, digital tetap driver utama walaupun transaksi customer tetap preferensi offline. Untuk promosi awal, mengenalkan barang, efektif di digital,” imbuhnya.

Sebagai brand fashion yang menjual produknya langsung di outlet, Founder ISSHU Rheza Paleva mengatakan media sosial bisa menjadi wadah untuk mengenalkan produk. Meskipun memanfaatkan e-commerce, menurutnya konsumen loyal ISSHU pada akhirnya akan langsung belanja di toko.

“Kami menggunakan sosial media sebagai alat untuk komunikasi. Customer biasanya langsung beli di studio, karena mereka ingin menyentuh langsung produknya sebelum membeli,” jelas Rezha yang menjual aksesori dan ready to wear lokal tersebut.

Jalur Marketing Baru
Pakar Branding dan Pemasaran Yuswohady berpendapat perkembangan teknologi dalam aktivitas bisnis tidak bisa dihindari. Integrasi antara sosial media dan e-commerce justru menjadi jalur marketing baru untuk memperbesar peluang UMKM atau pebisnis lokal.

"Memang betul tren monopoli terjadi pada platform social commerce. Namun, menurutnya bukan platformnya yang dilarang, melain pemilik platform tersebut yang diatur agar prosesnya jangan sampai menguntungkan pihak tertentu," tegasnya.

Adapun monopoli terjadi ketika pemilik platform sebagai contoh Tiktok telah menguasai algoritma produk yang laku di pasar. Setelah itu, mereka membuat produk yang laris tersebut dan menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah, serta mengarahkan pembeli kepada produk yang sudah dilabeli sebagai brand Tiktok. 

“Hal itu namanya private label. Praktik yang kayak gitu mestinya tidak boleh. Jangan larang social commerce-nya karena dengan penggabungan itu, seamless, mempercepat konversi, menguntungkan pelaku bisnis termasuk UMKM. Jangan sampai kayak mau nembak lalat, tapi pakai meriam,” tegas Yuswohady.

Mengenai isu predatory pricing dan produk Tiongkok membanjiri TikTok Shop, seharusnya yang diatur adalah proses masuk di bea cukai. Cukai dari negara tersebut perlu dinaikkan. “Kebijakannya kurang fokus,” imbuhnya.

Yuswohady menilai riuh social commerce mirip dengan hadirnya ojek online beberapa waktu lalu. Sebagai UMKM atau pelaku usaha, seharusnya mereka lebih kreatif memanfaatkan perkembangan teknologi, dan harus bisa beradaptasi, belajar, serta mengadopsi perkembangan dan inovasi yang terjadi saat ini.

Artis yang lebih laku berjualan melalui live streaming tidak bisa dijadikan dalih sepenuhnya. Yuswohady menyebut di era teknologi dan informasi ini, siapapun bisa meraih peluang yang sama. “Syaratnya kalau mau sukses, konten marketing menjadi kunci,” tegasnya. 

Dengan adanya social commerce dan live commerce, konten kreator menjadi sangat penting. Jikalau UMKM atau merek lokal tidak bisa menyewa konten kreator, Yuswohady menyarankan pelaku usaha harus menjadi konten kreator.

Baca juga: Reaksi Tegas TikTok Indonesia saat Pemerintah Melarang Social Commerce

Caranya, bisa melalui video, tulisan, gambar yang menarik perhatian banyak orang. Memang, butuh proses dan tidak bisa instan. Tetapi ketika intens membuat konten, hal itu menjadi wajah untuk mengumpulkan pengikut di media sosial dan akhirnya menjadi basis prospek untuk kemudian menjadi customer

“Memang syaratnya kemajuan zaman menuntut seperti itu, kalau tidak bisa berubah, tidak akan survive. Perubahan kalau tidak diikuti akan mati,” tuturnya mengingatkan. 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

2 Film Indonesia Masuk ke Program Kompetisi di BIFF 2023

BERIKUTNYA

Kenali Bahaya Mengkonsumsi Daun Singkong Mulai Dari Mengandung Racun Hingga Kelumpuhan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: