Tren Organic Parenting, Gaya Pengasuhan Ramah Lingkungan yang Populer di Skandinavia
18 September 2023 |
16:48 WIB
Menanamkan rasa cinta bumi pada anak dapat dilakukan sejak usia dini. Selain bermanfaat bagi lingkungan, anak juga akan terbentuk kebiasaan positif anak di masa depan. Bahkan, edukasi peduli lingkungan ini menjadi tren pola pengasuhan para orang tua di negara Skandinavia.
Salah satunya adalah organic parenting yang belakangan sempat dilirik sebagai gaya pengasuhan ramah lingkungan. Organic parenting diartikan sebagai gaya pengasuhan yang mengedepankan konsep mencintai bumi.
Dengan mengajarkan peduli lingkungan kepada anak, diharapkan si kecil dapat terdidik sejak dini untuk mencintai alam. Norwegia, Finlandia, Swedia, dan Denmark merupakan negara-negara yang cukup berkonsentrasi mengambil gaya pengasuhan ini.
Baca juga: Waspadai 6 Bahaya Over Parenting yang Bisa Bikin Anak Depresi
Psikolog Anak dari Mentari Anakku Alia Mufida menjelaskan bahwa negara Skandinavia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam keberlanjutan lingkungan. Terlebih, negara seperti Finlandia juga sangat mengedepankan pola pengasuhan dan pendidikan dengan pendekatan kebahagiaan.
Meski tren di negara Skandinavia, bukan berarti organic parenting tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Alia, kehadiran tren organic parenting ini bisa menjadi pilihan baru yang menarik dan dapat dipertimbangkan.
“Orang tua dari kalangan milenial butuh mengajari anaknya mengenai green living sedini mungkin. Jadi sembari mencontohkan, kita juga tularkan habit ramah lingkungan agar menjadi kebiasaan keluarga,” kata Alia.
Menurutnya, mengajari anak tentang pentingnya mencintai bumi akan terasa sulit jika dimulai saat mereka sudah pada usia remaja.
Namun, hal positif itu juga bisa berlaku sebaliknya. Misalnya, lingkungan sekolah anak yang mengambil konsentrasi pada eco-living. Dengan budaya sekolah yang demikian, bisa saja anak yang membawa kebiasaan ini dan menularkannya menjadi budaya keluarga di rumah.
Meskipun memiliki banyak manfaat, Alia mengatakan pentingnya penyesuaian pola asuh dengan sudut pandang pendidikan dan sosial. “Tetap harus disesuaikan dengan preferensi keluarga dan sudut pandang yang ingin diambil. Jadi orang tua juga tidak boleh asal caplok pola asuh. Perlu disesuaikan dengan anak, keluarga besar, dan juga tempat tinggal,” katanya.
Psikolog Anak dari Mentari Anakku Firesta Farizal mengatakan orang tua perlu melakukan personalisasi dan penyesuaian dalam mengambil suatu pola pengasuhan. Untuk itu, fokus utamanya terletak pada nilai yang mendasarinya.
Jadi, orang tua harus memikirkan nilai keluarga seperti apa yang ingin dibangun. Sebab, nilai ini akan memengaruhi kegiatan sehari-hari anak yang mendukung pola pengasuhan tersebut.
Dalam pola pengasuhan organic parenting, Firesta berpendapat ada beberapa contoh edukasi ramah lingkungan yang bisa dilakukan di Indonesia. Misalnya, mengurangi sampah plastik dan menggunakan transportasi umum.
Contoh lainnya adalah membuat waktu-waktu khusus bersama keluarga dan meminimalisir penggunaan gadget untuk mendapatkan lebih banyak waktu emas bersama keluarga.
“Sisi positifnya anak lebih bisa menghargai lingkungan dan tempat tinggalnya. Belajar sederhana dan memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga alam sekitarnya,” kata Firesta.
Senada dengan Alia, Firesta juga menekankan perlunya diskusi antara orang tua dan anak mengenai nilai keluarga yang menjadi DNA dalam habit keluarga.
Sebagai gambaran, orang tua bisa membayangkan apa yang ingin dilihat dari kebiasaan anak setelah dia dewasa, kemudian membuat daftar aktivitas rutin yang bisa dilakukan untuk mencapai kebiasaan tersebut pada masa dewasa.
“Bagaimana nilai yang dibawa keluarga ini bisa hadir dalam keseharian mereka, tanpa anak merasakannya sebagai beban,” kata Firesta.
Baca juga: Lebih Fleksibel & Permisif, Apa Dampak dari Pola Asuh Jellyfish Parenting?
Diskusi diperlukan untuk membuat nilai-nilai pentingnya menjaga lingkungan ini sejalan dengan minat anak. Anak pun perlu dijelaskan mengenai latar belakang dari setiap tindakan kecil menjaga lingkungan yang akan berpengaruh besar terhadap tempat tinggalnya di masa tua.
Dengan penjelasan ini, anak diharapkan mampu menangkap konsep menjaga bumi menjadi bagian penting dari dirinya tanpa merasa adanya keterpaksaan.
Editor: Fajar Sidik
Salah satunya adalah organic parenting yang belakangan sempat dilirik sebagai gaya pengasuhan ramah lingkungan. Organic parenting diartikan sebagai gaya pengasuhan yang mengedepankan konsep mencintai bumi.
Dengan mengajarkan peduli lingkungan kepada anak, diharapkan si kecil dapat terdidik sejak dini untuk mencintai alam. Norwegia, Finlandia, Swedia, dan Denmark merupakan negara-negara yang cukup berkonsentrasi mengambil gaya pengasuhan ini.
Baca juga: Waspadai 6 Bahaya Over Parenting yang Bisa Bikin Anak Depresi
Psikolog Anak dari Mentari Anakku Alia Mufida menjelaskan bahwa negara Skandinavia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam keberlanjutan lingkungan. Terlebih, negara seperti Finlandia juga sangat mengedepankan pola pengasuhan dan pendidikan dengan pendekatan kebahagiaan.
Meski tren di negara Skandinavia, bukan berarti organic parenting tidak bisa diterapkan di Indonesia. Menurut Alia, kehadiran tren organic parenting ini bisa menjadi pilihan baru yang menarik dan dapat dipertimbangkan.
“Orang tua dari kalangan milenial butuh mengajari anaknya mengenai green living sedini mungkin. Jadi sembari mencontohkan, kita juga tularkan habit ramah lingkungan agar menjadi kebiasaan keluarga,” kata Alia.
Menurutnya, mengajari anak tentang pentingnya mencintai bumi akan terasa sulit jika dimulai saat mereka sudah pada usia remaja.
Namun, hal positif itu juga bisa berlaku sebaliknya. Misalnya, lingkungan sekolah anak yang mengambil konsentrasi pada eco-living. Dengan budaya sekolah yang demikian, bisa saja anak yang membawa kebiasaan ini dan menularkannya menjadi budaya keluarga di rumah.
Menyesuaikan Nilai Keluarga
Ilustrasi organic parenting (Sumber gambar: RDNE Stock Project/Pexels)
Meskipun memiliki banyak manfaat, Alia mengatakan pentingnya penyesuaian pola asuh dengan sudut pandang pendidikan dan sosial. “Tetap harus disesuaikan dengan preferensi keluarga dan sudut pandang yang ingin diambil. Jadi orang tua juga tidak boleh asal caplok pola asuh. Perlu disesuaikan dengan anak, keluarga besar, dan juga tempat tinggal,” katanya.
Psikolog Anak dari Mentari Anakku Firesta Farizal mengatakan orang tua perlu melakukan personalisasi dan penyesuaian dalam mengambil suatu pola pengasuhan. Untuk itu, fokus utamanya terletak pada nilai yang mendasarinya.
Jadi, orang tua harus memikirkan nilai keluarga seperti apa yang ingin dibangun. Sebab, nilai ini akan memengaruhi kegiatan sehari-hari anak yang mendukung pola pengasuhan tersebut.
Dalam pola pengasuhan organic parenting, Firesta berpendapat ada beberapa contoh edukasi ramah lingkungan yang bisa dilakukan di Indonesia. Misalnya, mengurangi sampah plastik dan menggunakan transportasi umum.
Contoh lainnya adalah membuat waktu-waktu khusus bersama keluarga dan meminimalisir penggunaan gadget untuk mendapatkan lebih banyak waktu emas bersama keluarga.
“Sisi positifnya anak lebih bisa menghargai lingkungan dan tempat tinggalnya. Belajar sederhana dan memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga alam sekitarnya,” kata Firesta.
Senada dengan Alia, Firesta juga menekankan perlunya diskusi antara orang tua dan anak mengenai nilai keluarga yang menjadi DNA dalam habit keluarga.
Sebagai gambaran, orang tua bisa membayangkan apa yang ingin dilihat dari kebiasaan anak setelah dia dewasa, kemudian membuat daftar aktivitas rutin yang bisa dilakukan untuk mencapai kebiasaan tersebut pada masa dewasa.
“Bagaimana nilai yang dibawa keluarga ini bisa hadir dalam keseharian mereka, tanpa anak merasakannya sebagai beban,” kata Firesta.
Baca juga: Lebih Fleksibel & Permisif, Apa Dampak dari Pola Asuh Jellyfish Parenting?
Diskusi diperlukan untuk membuat nilai-nilai pentingnya menjaga lingkungan ini sejalan dengan minat anak. Anak pun perlu dijelaskan mengenai latar belakang dari setiap tindakan kecil menjaga lingkungan yang akan berpengaruh besar terhadap tempat tinggalnya di masa tua.
Dengan penjelasan ini, anak diharapkan mampu menangkap konsep menjaga bumi menjadi bagian penting dari dirinya tanpa merasa adanya keterpaksaan.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.