Hypereport : Bahaya Ancaman Kesehatan Fisik dan Mental Akibat Gaya Hidup Rebahan
18 September 2023 |
00:08 WIB
Melepas lelah dengan rebahan setelah melewati hari-hari yang menguras tenaga, waktu, dan pikiran menjadi hal yang sangat berharga di usia 20-an hingga 30-an tahun. Masalahnya, bagi sebagian generasi Z, rebahan ini menjadi kegiatan yang terlalu sering dilakukan.
Gaya hidup yang makin modern dan didukung kemudahan teknologi membuat hampir berbagai hal kini bisa dilakukan hanya dari rebahan. Sambil ngemil dan rebahan, generasi Z bisa bekerja, menonton film, membaca buku, atau bercengkrama sekali pun.
Baca juga artikel terkait : Hypereport: Rokok Elektrik hingga Kosmetik, Produk Gaya Hidup yang Mengancam Kesehatan
Fenomena ini kemudian melahirkan istilah generasi rebahan yang kerap dialamatkan kepada generasi Z. Dilihat dari sudut pandang gaya hidup, fenomena ini juga dikenal dengan sebutan sedentary lifestyle.
Di Indonesia, kaum rebahan atau mager (malas gerak) jumlahnya cukup signifikan. Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, tercatat ada 35 persen masyarakat Indonesia terindikasi mager dan kurang melakukan aktivitas fisik. Padahal, pada Riskesdas 2013, jumlah kaum rebahan hanya 26,1 persen saja.
Irfan Arif, salah satu pekerja swasta di bidang IT di Jakarta menjadi bagian dari 35 persen tersebut. Setiap harinya, ia terbiasa membuka laptop untuk urusan bekerja dengan cara yang paling membuatnya nyaman.
Kadang ia bekerja dengan kursi dan meja. Akan tetapi, tak jarang dilakukan dengan rebahan. Itu bisa dilakukannya hingga delapan jam sehari. Meski pada awalnya menyenangkan, kini gejala-gejala remaja jompo, sebutan untuk anak muda yang mudah mengalami kelelahan dan sakit pinggang, mulai dirasakannya. “Kadang badan suka pegal-pegal, sakit punggung, sering pusing juga,” ungkapnya.
Menurut Sport & Clinical Nutritionist Primaya Hospital Yohan Samudra, terlalu lama rebahan memang akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama, hal-hal yang berkaitan dengan urusan fisik pasti performanya akan menurun atau bahkan bermasalah.
Gejala awalnya biasanya akan dimulai dari punggung. Seseorang yang punya kebiasaan tidak bergerak dalam waktu lama umumnya akan merasakan nyeri di punggung atau pinggang. Gejala ini kemudian bisa meluas sampai ke area bawah.
Area tungkai bawah, bagian di antara lutut dan pergelangan kaki, juga akan terasa lemas jika beraktivitas. Ini terjadi karena adanya penurunan massa otot akibat malas gerak.
Kondisi lain yang biasanya muncul pada tanda awal ialah konstipasi atau sembelit, kekakuan sendi, deep vein thrombosis, peningkatan lemak, risiko penyakit metabolik, hingga risiko kecemasan atau depresi.
Ya, menjadi kaum rebahan, sedikit beraktivitas, dan jarang keluar rumah dapat memengaruhi mental seseorang. Sebaliknya, ketika seseorang aktif bergerak dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, itu dapat menurunkan risiko depresi dan kecemasan.
Dokter Yohan menyadari rebahan adalah hal yang menyenangkan. Akan tetapi, dirinya tak menyarankan kegiatan tersebut jadi gaya hidup keseharian. Alasannya, ada lingkaran setan yang bisa berakibat ke banyak hal.
Selain jadi sumber penyakit nyeri punggung dan penurunan massa otot, rebahan yang berlebihan juga mengganggu kesehatan mental. Dalam jangka panjang, risiko kesulitan tidur hingga penyakit metabolik bahkan bisa menanti. Efeknya bisa lebih berbahaya ketika sudah berkepanjangan.
“Berat badan akan bertambah dan jadi obesitas. Lalu, komplikasi obesitas seperti diabetes, serangan jantung, stroke, gagal ginjal, juga bisa muncul. Bahkan, secara teori bisa terjadi peningkatan kematian 20 persen pada yang hobi rebahan,” imbuhnya.
Risiko tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Organisasi kesehatan dunia WHO mencatat berkurangnya aktivitas fisik menjadi penyebab kematian nomor empat di dunia. Setidaknya dua juta orang meninggal dunia setiap tahun akibat gaya hidup yang malas-malasan ini.
Baca juga artikel terkait: Hypereport: Kebugaran Fisik Tak Jamin Atlet Bebas dari Ancaman Penyakit Jantung
Fenomena ini juga diperparah dengan masifnya konsumsi makanan dan minuman kekinian yang kerap memiliki kandungan gula tinggi. Selain bisa memunculkan penyakit diabetes, risiko obesitas juga jadi meningkat.
Dokter spesialis gizi dan nutrisi RS Siloam MRCCC Inge Permadhi mengatakan sebenarnya tidak ada masalah dengan rebahan. Ini adalah aktivitas biasa yang kerap dipakai untuk mengusir rasa lelah.
Jadi bermasalah ketika rebahan mengganggu keseimbangan tubuh. Secara singkat, rebahan akan membuat orang jarang gerak dan aktivitas pembakaran tubuh jadi tak optimal. Hal ini memunculkan masalah karena bisa jadi jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dari makanan menjadi jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan.
Untuk menghitung keseimbangan antara energi yang masuk dan keluar tentu mesti dilakukan dengan medis. Akan tetapi, secara sederhana bisa dilihat dari berat badan seseorang saja.
Kalau berat badannya makin meningkat, ini adalah tanda bahwa asupan makanan telah lebih besar dari output-nya. “Jadi, dilihat saja dari berat badannya. Ini paling gampang,” ucap Inge.
Dokter Inge menjelaskan minuman atau makanan yang banyak ditambah gula ini akan meningkatkan jumlah energi atau hidden sugar. Tanpa diimbangi aktivitas fisik yang pas, hal ini yang jadi salah satu faktor asupannya menjadi lebih tinggi dari kebutuhan.
Masalahnya, kalau yang berlebihan ini tidak digunakan, tubuh punya skema untuk menumpuknya dalam bentuk lemak. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan asupan yang masuk dan energi yang keluar ini yang menjadi penting. Apalagi, jika konteksnya adalah generasi rebahan yang memang jarang bergerak.
Untuk memulai gaya hidup yang lebih sehat, Inge menyarankan setiap orang untuk mengecek terlebih dahulu berat badan dan tinggi badannya. Jika masuk ke dalam ideal, tugasnya hanya tinggal pertahankan.
Kalau hasilnya berlebih atau bahkan kekurangan, maka tinggal disesuaikan perubahan gaya hidupnya untuk menuju ideal. “Prinsipnya makan yang baik dan aktivitas yang baik. Cuma itu,” imbuhnya.
Kemudian, dokter Yohan juga menambahkan agar aktivitas fisik juga sebaiknya lebih sering dilakukan. Sebab, saran dokter Yohan, rebahan maksimal dilakukan enam jam per hari. Itu pun tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. “Ingatlah untuk melakukan stretching atau olahraga ringan setiap dua jam rebahan atau duduk,” tuturnya.
Baca juga: Penggiat Olahraga Harus Tahu, Ini Cara Mengonsumsi Suplemen yang Tepat Menurut Ahli
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Puput Ady Sukarno
Gaya hidup yang makin modern dan didukung kemudahan teknologi membuat hampir berbagai hal kini bisa dilakukan hanya dari rebahan. Sambil ngemil dan rebahan, generasi Z bisa bekerja, menonton film, membaca buku, atau bercengkrama sekali pun.
Baca juga artikel terkait : Hypereport: Rokok Elektrik hingga Kosmetik, Produk Gaya Hidup yang Mengancam Kesehatan
Fenomena ini kemudian melahirkan istilah generasi rebahan yang kerap dialamatkan kepada generasi Z. Dilihat dari sudut pandang gaya hidup, fenomena ini juga dikenal dengan sebutan sedentary lifestyle.
Di Indonesia, kaum rebahan atau mager (malas gerak) jumlahnya cukup signifikan. Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, tercatat ada 35 persen masyarakat Indonesia terindikasi mager dan kurang melakukan aktivitas fisik. Padahal, pada Riskesdas 2013, jumlah kaum rebahan hanya 26,1 persen saja.
Irfan Arif, salah satu pekerja swasta di bidang IT di Jakarta menjadi bagian dari 35 persen tersebut. Setiap harinya, ia terbiasa membuka laptop untuk urusan bekerja dengan cara yang paling membuatnya nyaman.
Kadang ia bekerja dengan kursi dan meja. Akan tetapi, tak jarang dilakukan dengan rebahan. Itu bisa dilakukannya hingga delapan jam sehari. Meski pada awalnya menyenangkan, kini gejala-gejala remaja jompo, sebutan untuk anak muda yang mudah mengalami kelelahan dan sakit pinggang, mulai dirasakannya. “Kadang badan suka pegal-pegal, sakit punggung, sering pusing juga,” ungkapnya.
Menurut Sport & Clinical Nutritionist Primaya Hospital Yohan Samudra, terlalu lama rebahan memang akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Terutama, hal-hal yang berkaitan dengan urusan fisik pasti performanya akan menurun atau bahkan bermasalah.
Gejala awalnya biasanya akan dimulai dari punggung. Seseorang yang punya kebiasaan tidak bergerak dalam waktu lama umumnya akan merasakan nyeri di punggung atau pinggang. Gejala ini kemudian bisa meluas sampai ke area bawah.
Area tungkai bawah, bagian di antara lutut dan pergelangan kaki, juga akan terasa lemas jika beraktivitas. Ini terjadi karena adanya penurunan massa otot akibat malas gerak.
Kondisi lain yang biasanya muncul pada tanda awal ialah konstipasi atau sembelit, kekakuan sendi, deep vein thrombosis, peningkatan lemak, risiko penyakit metabolik, hingga risiko kecemasan atau depresi.
Ya, menjadi kaum rebahan, sedikit beraktivitas, dan jarang keluar rumah dapat memengaruhi mental seseorang. Sebaliknya, ketika seseorang aktif bergerak dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, itu dapat menurunkan risiko depresi dan kecemasan.
Dokter Yohan menyadari rebahan adalah hal yang menyenangkan. Akan tetapi, dirinya tak menyarankan kegiatan tersebut jadi gaya hidup keseharian. Alasannya, ada lingkaran setan yang bisa berakibat ke banyak hal.
Selain jadi sumber penyakit nyeri punggung dan penurunan massa otot, rebahan yang berlebihan juga mengganggu kesehatan mental. Dalam jangka panjang, risiko kesulitan tidur hingga penyakit metabolik bahkan bisa menanti. Efeknya bisa lebih berbahaya ketika sudah berkepanjangan.
“Berat badan akan bertambah dan jadi obesitas. Lalu, komplikasi obesitas seperti diabetes, serangan jantung, stroke, gagal ginjal, juga bisa muncul. Bahkan, secara teori bisa terjadi peningkatan kematian 20 persen pada yang hobi rebahan,” imbuhnya.
Risiko tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Organisasi kesehatan dunia WHO mencatat berkurangnya aktivitas fisik menjadi penyebab kematian nomor empat di dunia. Setidaknya dua juta orang meninggal dunia setiap tahun akibat gaya hidup yang malas-malasan ini.
Baca juga artikel terkait: Hypereport: Kebugaran Fisik Tak Jamin Atlet Bebas dari Ancaman Penyakit Jantung
Fenomena ini juga diperparah dengan masifnya konsumsi makanan dan minuman kekinian yang kerap memiliki kandungan gula tinggi. Selain bisa memunculkan penyakit diabetes, risiko obesitas juga jadi meningkat.
Dokter spesialis gizi dan nutrisi RS Siloam MRCCC Inge Permadhi mengatakan sebenarnya tidak ada masalah dengan rebahan. Ini adalah aktivitas biasa yang kerap dipakai untuk mengusir rasa lelah.
Jadi bermasalah ketika rebahan mengganggu keseimbangan tubuh. Secara singkat, rebahan akan membuat orang jarang gerak dan aktivitas pembakaran tubuh jadi tak optimal. Hal ini memunculkan masalah karena bisa jadi jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dari makanan menjadi jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan.
Untuk menghitung keseimbangan antara energi yang masuk dan keluar tentu mesti dilakukan dengan medis. Akan tetapi, secara sederhana bisa dilihat dari berat badan seseorang saja.
Kalau berat badannya makin meningkat, ini adalah tanda bahwa asupan makanan telah lebih besar dari output-nya. “Jadi, dilihat saja dari berat badannya. Ini paling gampang,” ucap Inge.
Dokter Inge menjelaskan minuman atau makanan yang banyak ditambah gula ini akan meningkatkan jumlah energi atau hidden sugar. Tanpa diimbangi aktivitas fisik yang pas, hal ini yang jadi salah satu faktor asupannya menjadi lebih tinggi dari kebutuhan.
Masalahnya, kalau yang berlebihan ini tidak digunakan, tubuh punya skema untuk menumpuknya dalam bentuk lemak. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan asupan yang masuk dan energi yang keluar ini yang menjadi penting. Apalagi, jika konteksnya adalah generasi rebahan yang memang jarang bergerak.
Untuk memulai gaya hidup yang lebih sehat, Inge menyarankan setiap orang untuk mengecek terlebih dahulu berat badan dan tinggi badannya. Jika masuk ke dalam ideal, tugasnya hanya tinggal pertahankan.
Kalau hasilnya berlebih atau bahkan kekurangan, maka tinggal disesuaikan perubahan gaya hidupnya untuk menuju ideal. “Prinsipnya makan yang baik dan aktivitas yang baik. Cuma itu,” imbuhnya.
Kemudian, dokter Yohan juga menambahkan agar aktivitas fisik juga sebaiknya lebih sering dilakukan. Sebab, saran dokter Yohan, rebahan maksimal dilakukan enam jam per hari. Itu pun tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. “Ingatlah untuk melakukan stretching atau olahraga ringan setiap dua jam rebahan atau duduk,” tuturnya.
Baca juga: Penggiat Olahraga Harus Tahu, Ini Cara Mengonsumsi Suplemen yang Tepat Menurut Ahli
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.