Ilustrasi rokok elektrik. (Sumber foto: Unsplash/Romain B)

Hypereport: Rokok Elektrik hingga Kosmetik, Produk Gaya Hidup yang Mengancam Kesehatan

17 September 2023   |   13:44 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Meningkatnya kasus penyakit degeneratif pada generasi muda adalah tantangan serius bagi kesehatan global.  Apabila sebelumnya penyakit degeneratif muncul akibat penurunan fungsi dan struktur organ yang mengalami penuaan, kini penyakit tersebut banyak dialami oleh generasi muda, seperti remaja dan anak-anak.

Terlebih masyarakat usia muda, baik laki-laki dan perempuan gemar mengonsumsi produk-produk gaya hidup yang terbukti tidak aman dan memicu sejumlah masalah kesehatan, sebut saja rokok elektrik atau vape dan produk kecantikan yang mengandung formula berbahaya.

Baca juga artikel terkait:
1. Hypereport: Kebugaran Fisik Tak Jamin Atlet Bebas dari Ancaman Penyakit Jantung


Adapun terkait penggunaan rokok elektrik sendiri, dalam beberapa tahun belakangan ini memang sangat populer di kalangan remaja. Sejumlah klaim menyebutkan rokok elektrik merupakan alternatif lebih sehat dari rokok konvensional.
 


Padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, mengidentifikasi adanya penyakit baru yang berkaitan dengan infeksi paru-paru yang disebabkan oleh konsumsi vape, yakni EVALI atau E-cigarette or Vaping-Product-Use Associated Lung Injury.

Data laboratorium menunjukkan bahwa vitamin E asetat, bahan tambahan pada sejumlah produk rokok elektrik yang mengandung THC, sangat terkait dengan wabah EVALI. Pada 18 Februari 2020, tercatat sebanyak 2.807 kasus atau kematian akibat rokok elektronik karena cedera paru-paru terkait. Usia pasien yang meninggal berkisar antara 15-75 tahun.

Sementara Indonesia diketahui sebagai pengguna vape terbanyak di dunia yang mengalahkan negara-negara Eropa hingga AS. Berdasarkan data Statista sepanjang Januari - Maret 2023 menunjukkan, Indonesia merupakan negara pengguna rokok elektrik alias vape terbanyak di dunia sebesar 25 persen, diikuti Swiss 16 persen, dan AS 15 persen.

Jika dirinci berdasarkan wilayah, proporsi konsumen rokok elektrik paling banyak ada di Provinsi Jambi dengan persentase 3,27, diikuti oleh Jawa Barat 3,23 persen, dan Riau 3,19 persen. Sementara penggunanya, 44 persen didominasi oleh anak muda usia 18 - 29 tahun.

Desilia Atikawati Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSPI Puri Indah Menjelaskan bahwa asumsi mengenai rokok elektrik yang lebih aman dari rokok konvensional adalah tidak benar.

“Meski asap yang dihasilkan dari rokok konvensional lebih banyak mengandung zat kimia berbahaya, tetapi rokok elektrik tetap memberikan banyak risiko bagi para penggunanya,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, cairan dari rokok elektrik (e-liquid) mengandung berbagai zat berbahaya, seperti nikotin, propylene glycol, acetaldehyde, formaldehyde, acrolein, diacetyl, diethylene glycol, logam berat, kadmium, hingga benzene.

Sejumlah penyakit yang dikaitkan dengan penggunaan rokok elektrik salah satunya EVALI. Penyakit ini berhubungan dengan vitamin E asetat yang digunakan sebagai zat aditif, terutama sebagai zat pengental dalam produk vape yang mengandung Tetrahydrocannabinol (THC).

“Gejala yang dirasakan pengidapnya antara lain sesak napas, demam, menggigil, batuk, muntah, diare, nyeri kepala, nyeri dada, serta jantung yang berdebar,” kata Desilia.

Sebanyak 96 persen penderitanya membutuhkan perawatan di rumah sakit, sebagian lainnya meninggal dunia. Selain itu penggunaan vape juga dikaitkan dengan kondisi yang disebut vaping-related lipoid pneumonia.

“Ini disebabkan oleh inhalasi asam lemak dari substansi berminyak dalam e-liquid, gejalanya seperti batuk kronis, sesak napas, hingga batuk berdarah,” ujarnya.

Selain itu penyakit lainnya pun perlu diwaspadai, seperti asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), ‘Popcorn lung’ atau bronchiolitis obliterans, primary spontaneous pneumothorax (paru kolaps), bahkan kanker paru karena vape mengandung zat karsinogen yang memicu terjadinya kanker.

Desilia juga menekankan, selain membahayakan penggunanya, rokok elektrik juga bahaya untuk orang yang menghirup asapnya. Sebab, asap yang dihasilkan oleh rokok elektrik mengandung zat kimia yang sama dengan kandungan e-liquid pada vape.

“Tentunya zat ini berisiko menyebabkan berbagai masalah dan penyakit pernapasan serta organ lainnya,” katanya.

Baca juga: Rokok & Vape Sama Bahayanya untuk Kesehatan, Begini Penjelasan Dokter

Selain rokok elektrik, produk gaya hidup yang tak lepas dari ancaman penyakit berbahaya di usia muda adalah produk kecantikan, mulai dari skincare sampai make up yang biasa diaplikasikan ke kulit wajah dan seluruh tubuh setiap harinya.

Pada 2023 ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) menemukan 13 produk kosmetik berbahaya yang beredar di pasar Indonesia. Mayoritasnya menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri yang berisiko menyebabkan kanker kulit.

Sejumlah produk kosmetik yang dilarang oleh BPOM pada 2023, antara lain Temulawak New and Day Night, CAC Glow, Natural 99, HN Siang Malam, SP Special UV whitening, DR Original Pemutih, Super DR Quality Gold SPF 30, Diamond Cream, Herbal Plus New Day and Night, Ling Zhi Day & Night, SJ Sin Jung, Tabita, dan krim Labella.

Jonathan R. Subekti, Dokter Spesialis Dermatologi Venereologi Estetika dari RSPI Bintaro Jaya memaparkan bahwa konsentrasi dan indikasi zat aktif dalam kosmetik perlu diperhatikan. Ada bahan-bahan yang dilarang dan yang diizinkan, namun dengan persyaratan tertentu.

“Merkuri dengan konsentrasi tinggi dilarang digunakan sebagai pemutih pada skincare, tetapi Thiomersal (pengawet berbahan dasar merkuri) masih boleh digunakan dalam pembersih tata rias mata,” jelasnya.

Jonathan memaparkan, merkuri masih diperbolehkan jika memiliki konsentrasi yang kecil untuk beberapa produk khusus, tetapi bukan untuk pemutih kulit. Selain merkuri, sejauh ini kandungan kosmetik yang telah terbukti berbahaya bagi kesehatan yakni kortikosteroid dan hydroquinone.

“Keduanya termasuk dalam kategori obat dan tidak boleh terkandung dalam produk skincare yang dijual bebas,” jelasnya.

Berdasarkan surat edaran BPOM nomor PO.01.04.41.120 27 September 2006, hydroquinone dilarang di semua produk kosmetik, kecuali untuk rambut dengan tingkat konsentrasi maksimal 0.3 persen. Sementara kortikosteroid atau Krim steroid umumnya diresepkan oleh dokter untuk mengontrol kondisi peradangan pada kulit seperti eksim atau psoriasis.

Apabila digunakan dalam jangka panjang tanpa pengawasan dokter, maka bisa terjadi efek samping seperti penipisan kulit, telangiectasia atau pembuluh darah kecil melebar, stretch mark, bahkan bintil-bintil folikulitis.

“Secara umum, penggunaan kosmetik yang berbahaya dapat membuat kulit mudah terinfeksi hingga cacat permanen,” jelasnya.

Baca juga: 6,5 juta Kosmetik yang dijual Daring Ternyata Berbahaya, Ini Efeknya Bagi Tubuh

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Klasemen Sementara & Jadwal MPL ID Season 12 Minggu 17 September 2023

BERIKUTNYA

7 Cara Merawat Kulit Wajah Tetap Sehat Ala Spesialis Kecantikan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: