Peserta mengikuti LPS Monas Half Marathon 2023 di Jakarta, Minggu (2/7). (JIBI/Bisnis/Arief Hermawan)

Hypereport: Kebugaran Fisik Tak Jamin Atlet Bebas dari Ancaman Penyakit Jantung

16 September 2023   |   14:00 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Atlet memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesehatan jantung salah satunya yang paling sering terjadi ialah serangan henti jantung mendadak atau sudden cardiac death (SCD). Kondisi tersebut dialami sejumlah atlet yang terbilang masih berada di usia produktif seperti pesepak bola asal Denmark Christian Eriksen dan mendiang pebulutangkis Markis Kido.

Selain mereka, ada pula atlet ice skating asal Jepang Chris Reed yang meninggal dunia di usia 30 tahun pada Juni 2023. Peraih medali Olimpiade tiga kali itu menderita serangan jantung dan meninggal di Detroit, Michigan, Jepang, tempatnya berlatih ice skating.
 

Sebelumnya, pada April 2023 lalu, atlet para tenis meja David Jacobs juga meninggal dunia setelah sempat ditemukan tak sadarkan diri di stasiun kereta. Atlet kelahiran Makassar itu dikabarkan tutup usia akibat terkena serangan jantung. Pria yang telah banyak menorehkan prestasi itu wafat di usia 45 tahun.

Serangan jantung merupakan penyebab medis kematian atlet paling umum. Sebanyak 1 dari 40.000 hingga 1 dari 80.000 atlet meninggal tiap tahunnya karena serangan jantung.  Berdasarkan studi kasus National Collegiate Athletic Association (NCAA) pada 2015, atlet laki-laki berisiko lebih tinggi mengalami serangan jantung ketimbang perempuan.

Sebanyak 1 dari 37.790 atlet laki-laki terkena serangan jantung, berbeda dengan serangan pada perempuan yakni perbandingan 1 dari 121.593 atlet. Dalam penelitian yang sama dan berfokus pada atlet laki-laki menunjukkan, tiap jenis olahraga memiliki risiko serangan jantung yang berbeda. Studi pada pemain basket laki-laki menunjukkan SDC menyerang 1 dari 8.978 atlet.

Risiko medium dialami pesepakbola yang menyerang 1 dari 23.689 atlet, sedangkan risiko tertinggi terjadi pada atlet rugbi yakni 1 dari 35.951 atlet. 

Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Antonius Andi Kurniawan menjelaskan masalah kesehatan jantung utama yang membuat sejumlah atlet mengalami kematian mendadak ialah kardiomiopati hipertrofik (HCM). 

Gangguan jantung ini, paparnya, riskan terjadi pada atlet olahraga daya tahan (endurance) seperti sepak bola yang terbilang mengalami penebalan dinding otot jantung secara tidak normal.

Otot yang menebal ini pada prosesnya dapat mengganggu sistem kelistrikan jantung, menyebabkan detak jantung yang cepat atau tidak teratur (aritmia), sehingga dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Mayo Clinic mencatat bahwa HCM adalah penyebab paling umum kematian mendadak terkait jantung pada orang di bawah 30 tahun dan seringkali tidak terdeteksi.

"Makanya kalau di atlet itu penting setidaknya enam bulan sekali untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, treadmill test dan elektrokardiogram untuk melihat fungsi jantungnya," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.

Dokter Andi menjelaskan, di samping masalah jantung yang paling sering terjadi hingga menyebabkan kematian mendadak, sejumlah penyakit juga bisa saja dialami oleh atlet berusia di bawah 35 tahun. Misalnya, kelainan pembuluh darah dan aneurisma. Sementara pada atlet usia di atas 35 tahun umumnya terjadi masalah jantung seperti penyakit jantung koroner.

Sementara itu, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Muhammad Yamin menjelaskan ada sejumlah penyakit jantung yang biasanya dialami oleh kelompok usia di bawah 35 tahun, sehingga berpotensi memunculkan serangan atau henti jantung saat berolahraga.

Umumnya, penyakit-penyakit jantung tersebut bersifat genetik atau bawaan dan terjadi pada gangguan kanal ion. "Jadi ion-ion listrik yang mengatur irama jantung itu terjadi mutasi, mengalami kelainan sehingga pada saat olahraga muncul irama konslet yang bisa menimbulkan kematian mendadak," jelasnya.

Selain itu, ada juga penyebab yang lain yakni gangguan pada struktur jantung misalnya penebalan pada otot jantung, sehingga ketika berolahraga memicu kelainan irama jantung.

Sementara untuk kelompok usia di atas 35 tahun, umumnya terjadi serangan jantung akibat adanya plak atau sumbatan lemak di dalam pembuluh darah sehingga robek akibat aktivitas olahraga yang berlebihan.

Namun, untuk kelompok usia ini juga terdapat beberapa faktor risiko yang lain seperti penyakit darah tinggi, kencing manis, kebiasaan merokok, kolesterol, dan obesitas atau kelebihan berat badan. "Jadi olahraga itu pemicunya saja bukan penyebab," terang Dokter Yamin.

Oleh karena itu, Dokter Yamin menuturkan sebelum berolahraga, penting untuk mengecek sejauh mana seseorang berisiko tinggi mengalami henti jantung mendadak yang dipicu akibat kegiatan olahraga. 

Secara umum, ada beberapa pengecekan yang perlu dilakukan seperti pemeriksaan riwayat kesehatan, elektrokardiogram (EKG) atau tes rekam jantung, hingga ekokardiografi atau USG jantung.

Sementara untuk kelompok usia di atas 35 tahun, selain sejumlah tes tersebut, diperlukan juga treadmill test atau tes kardiologis yang mengukur kemampuan jantung untuk merespons stres eksternal dalam lingkungan klinis yang terkendali. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah ada penyumbatan atau kelainan irama jantung yang menyebabkan henti jantung mendadak.

Atlet sekaligus pelatih terjun payung Naila Novaranti sepakat bahwa masalah kesehatan sebenarnya bisa dicegah oleh para atlet profesional, salah satunya dengan melakukan pengecekan kesehatan secara rutin. 

Di olahraga terjung payung sendiri, ada tiga pengecekan yang penting dilakukan, yakni kadar oksigen, tekanan darah dan kesehatan jantung, termasuk memperhatikan waktu istirahat. "Kalau saya untuk mengecek kesehatan kadang 6 bulan sekali atau paling telat itu satu tahun sekali pasti saya mengikuti general check up, terutama ketika usia saya lewat 30 tahun," katanya.

Naila mengatakan kesadaran masing-masing atlet untuk mengecek kondisi kesehatannya secara rutin menjadi sangat penting. Pasalnya, pengecekan kesehatan umumnya hanya dilakukan ketika atlet hendak mengikuti suatu pertandingan. Itupun mengikuti standar pengecekan umum. Padahal, setiap atlet memiliki kondisi kesehatan yang berbeda-beda, sehingga perlu dilakukan pengecekan mendetail.

"Jadi atlet itu sebenarnya selain berlatih, harus disiplin diri. Semua itu datangnya harus dari diri sendiri bagaimana kita menjaga pola makan, jam istirahat, dan menjauhkan diri dari asap polusi," kata perempuan berusia 42 tahun itu.

Baca juga: Atlet Berisiko Tinggi Kena Aritmia, Ternyata Ini Penyebabnya

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Siap Sapa Penggemar, Cek Rundown Acara Fan Meeting Aktor Korea Jung Hae In di Jakarta Hari Ini

BERIKUTNYA

5 Pemeran Utama Film The Expendables 4, Sylvester Stallone hingga Iko Uwais

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: