TikTok Shop Bakal Ditutup, Begini Reaksi TikTok Indonesia
17 September 2023 |
21:48 WIB
Keberadaan TikTok Shop menjadi perbincangan dalam beberapa waktu terakhir. Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam rapat bersama Komisi IV DPR pada Selasa, 12 September 2023, meminta adanya pemisahan aktivitas dagang dengan media sosial. Indikasi monopoli dan merugikan pelaku UMKM pun mencuat.
Head of Communications TikTok Indonesia Anggini Setiawan menyampaikan hampir 2 juta bisnis lokal di Indonesia menggunakan TikTok untuk tumbuh dan berkembang dengan social commerce. Menurutnya, memisahkan media sosial dan e-commerce ke dalam platform yang berbeda bukan hanya akan menghambat inovasi, namun juga akan merugikan pedagang dan konsumen di Indonesia.
“Kami berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan yang sama bagi TikTok,” ungkapnya dalam pesan singkat kepada Hypeabis.id akhir pekan lalu.
Baca juga: TikTok Music Resmi Dirilis di Indonesia, Cek Fitur-fiturnya
Selaras, Pengamat Marketing dan Pakar Branding dari Inventure Yuswohady menyampaikan apabila TikTok Shop ditolak, maka platform social commerce lain seperti Instagram Shopping dan Facebook Shop juga siap kena tolak. “Yang saya takutkan kebijakan pemerintah ini blunder,” sebutnya.
Social commerce menurutnya justru sangat bermanfaat bagi UMKM dan entrepreneur karena memiliki keunggulan yang unik dibanding e-commerce biasa. Keunggulan utama, social commerce tercipta karena adanya penggabungan e-commerce dan social media.
Dengan adanya social commerce UMKM pun bisa menjalankan strategi content marketing untuk melariskan dagangannya. Dengan konten-konten yang bernilai seperti edukasi, inspirasi, dan entertaining, UMKM bisa mengumpulkan basis followers, fans, dan friends (3F), serta komunitas konsumen yang bisa diarahkan menjadi prospek pembeli.
“Itulah makanya, berjualan via social commerce saya sebut membangun kebun binatang, lalu berburu di kebun binatang,” ucapnya menganalogikan.
Di dalam komunitas itulah UMKM katanya membangun hubungan yang baik dengan konsumen melalui interaksi intens via media sosial. Yuswohady berpendapat jualan yang paling ampuh adalah jualan ke teman/relasi yang sudah memiliki kedekatan. Nah, kedekatan dengan konsumen melalui interaksi di media sosial inilah yang menjadi keunggulan utama social commerce yang tidak dimiliki e-commerce biasa. “So, social commerce adalah senjata ampuh UMKM untuk menjual produk mereka,” ujarnya menarik kesimpulan.
Yuswohady menegaskan yang salah bukan social commerce-nya. Akan tetapi, bagaimana social commerce itu dimanfaatkan pemilik platform (digital giant) untuk memonopoli pasar atau membanjiri pasar dengan produk murah China sehingga produk lokal rontok.
Oleh karena itu, dia setuju perlunya aturan ketat praktik bisnis dan algoritma di social commerce, dengan tidak memberangusnya. “Jangan sampai pemerintah menembak lalat pakai meriam,” tukasnya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut ada risiko monopoli dengan adanya social commerce. “Dari riset, dari survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli,” ujarnya dikutip dari siaran pers.
Oleh karena itu, dia ingin agar TikTok memisahkan bisnis jejaring sosial dengan platform jual beli online, seperti di negara asalnya, China. “Di mana di China sendiri bahkan mengatur larangan praktik monopoli oleh platform digital,”tegasnya.
Di sisi lain, pengaturan ekonomi digital di Indonesia pun akan mengadopsi yang sudah dilakukan China. Di Negeri Tirai Bambu itu, ekonomi digital melahirkan ekonomi baru, namun yang baru tidak membunuh pelaku ekonomi lama. Alhasil dalam kurun waktu 10 tahun dari 2011, ekonomi digital mereka berkembang naik 5 kali lipat dengan menyumbang 41% terhadap GDP. "Dan di China, 90 persen dikuasai ekonomi domestik dan sisanya hanya 10 persen oleh asing,” tuturnya.
Menteri Teten mengakui pengaturan ekonomi digital di Indonesia masih terbilang lemah. Sebanyak 56% pasar e-commerce dikuasai asing, sedangkan domestik hanya 44 persen. Jika kita tidak segera mengaturnya, hal ini akan menjadi ancaman serius bagi ekonomi domestik.
Teten menyatakan saat ini sudah banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan kondisi yang semakin tidak menguntungkan untuk bisnisnya. Ketika pihaknya harus melindungi keberadaan produk-produk UMKM, sementara pengaturan perdagangannya ada di ranah Kementerian Perdagangan (Kemendag). "Bagaimana saya bisa meningkatkan daya saing produk UMKM bila menghadapi harga dumping, ya tidak kuat," tuturnya.
Baca juga: CEO TikTok Shou Chew Buka-bukaan Soal Isi FYP yang Sering Muncul di Beranda
Editor: Puput Ady Sukarno
Head of Communications TikTok Indonesia Anggini Setiawan menyampaikan hampir 2 juta bisnis lokal di Indonesia menggunakan TikTok untuk tumbuh dan berkembang dengan social commerce. Menurutnya, memisahkan media sosial dan e-commerce ke dalam platform yang berbeda bukan hanya akan menghambat inovasi, namun juga akan merugikan pedagang dan konsumen di Indonesia.
“Kami berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan yang sama bagi TikTok,” ungkapnya dalam pesan singkat kepada Hypeabis.id akhir pekan lalu.
Baca juga: TikTok Music Resmi Dirilis di Indonesia, Cek Fitur-fiturnya
Selaras, Pengamat Marketing dan Pakar Branding dari Inventure Yuswohady menyampaikan apabila TikTok Shop ditolak, maka platform social commerce lain seperti Instagram Shopping dan Facebook Shop juga siap kena tolak. “Yang saya takutkan kebijakan pemerintah ini blunder,” sebutnya.
Social commerce menurutnya justru sangat bermanfaat bagi UMKM dan entrepreneur karena memiliki keunggulan yang unik dibanding e-commerce biasa. Keunggulan utama, social commerce tercipta karena adanya penggabungan e-commerce dan social media.
Dengan adanya social commerce UMKM pun bisa menjalankan strategi content marketing untuk melariskan dagangannya. Dengan konten-konten yang bernilai seperti edukasi, inspirasi, dan entertaining, UMKM bisa mengumpulkan basis followers, fans, dan friends (3F), serta komunitas konsumen yang bisa diarahkan menjadi prospek pembeli.
“Itulah makanya, berjualan via social commerce saya sebut membangun kebun binatang, lalu berburu di kebun binatang,” ucapnya menganalogikan.
Di dalam komunitas itulah UMKM katanya membangun hubungan yang baik dengan konsumen melalui interaksi intens via media sosial. Yuswohady berpendapat jualan yang paling ampuh adalah jualan ke teman/relasi yang sudah memiliki kedekatan. Nah, kedekatan dengan konsumen melalui interaksi di media sosial inilah yang menjadi keunggulan utama social commerce yang tidak dimiliki e-commerce biasa. “So, social commerce adalah senjata ampuh UMKM untuk menjual produk mereka,” ujarnya menarik kesimpulan.
Yuswohady menegaskan yang salah bukan social commerce-nya. Akan tetapi, bagaimana social commerce itu dimanfaatkan pemilik platform (digital giant) untuk memonopoli pasar atau membanjiri pasar dengan produk murah China sehingga produk lokal rontok.
Oleh karena itu, dia setuju perlunya aturan ketat praktik bisnis dan algoritma di social commerce, dengan tidak memberangusnya. “Jangan sampai pemerintah menembak lalat pakai meriam,” tukasnya.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut ada risiko monopoli dengan adanya social commerce. “Dari riset, dari survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli,” ujarnya dikutip dari siaran pers.
Oleh karena itu, dia ingin agar TikTok memisahkan bisnis jejaring sosial dengan platform jual beli online, seperti di negara asalnya, China. “Di mana di China sendiri bahkan mengatur larangan praktik monopoli oleh platform digital,”tegasnya.
Di sisi lain, pengaturan ekonomi digital di Indonesia pun akan mengadopsi yang sudah dilakukan China. Di Negeri Tirai Bambu itu, ekonomi digital melahirkan ekonomi baru, namun yang baru tidak membunuh pelaku ekonomi lama. Alhasil dalam kurun waktu 10 tahun dari 2011, ekonomi digital mereka berkembang naik 5 kali lipat dengan menyumbang 41% terhadap GDP. "Dan di China, 90 persen dikuasai ekonomi domestik dan sisanya hanya 10 persen oleh asing,” tuturnya.
Menteri Teten mengakui pengaturan ekonomi digital di Indonesia masih terbilang lemah. Sebanyak 56% pasar e-commerce dikuasai asing, sedangkan domestik hanya 44 persen. Jika kita tidak segera mengaturnya, hal ini akan menjadi ancaman serius bagi ekonomi domestik.
Teten menyatakan saat ini sudah banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan kondisi yang semakin tidak menguntungkan untuk bisnisnya. Ketika pihaknya harus melindungi keberadaan produk-produk UMKM, sementara pengaturan perdagangannya ada di ranah Kementerian Perdagangan (Kemendag). "Bagaimana saya bisa meningkatkan daya saing produk UMKM bila menghadapi harga dumping, ya tidak kuat," tuturnya.
Baca juga: CEO TikTok Shou Chew Buka-bukaan Soal Isi FYP yang Sering Muncul di Beranda
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.