Kritik Rasisme dalam Karya Seni Perupa Bibiana Lee di Pameran Sum, absence and the shades
13 September 2023 |
15:30 WIB
Ratusan jejak tangan manusia memenuhi dinding hingga langit-langit ruang pameran di Galeri Rubanah Underground Hub, Jakarta. Dengan latar belakang warna hitam-putih, nuansa yang hadir dari visual tersebut adalah laiknya lukisan tangan di gua dari zaman prasejarah.
Uniknya, semua jejak itu merupakan gambar dari tangan pengunjung yang disalin menggunakan mesin printer. Namun, alih-alih dicetak dengan tinta berwarna, karya partisipatif antara pengunjung dengan seniman Bibiana Lee justru dibuat dengan warna monokrom.
Baca juga: Menelisik Perilaku Kaum Urban dalam Pameran Perangai Karya Perupa Ruth Marbun
Ya, tak ada warna yang bisa dilihat dalam pameran Sum, absence, and the shades kecuali hitam dan putih. Melalui eksibisi ini, sang perupa memang kembali menyoal masalah yang mengawali banyak peristiwa mengerikan di dunia, yaitu diskriminasi ras (rasisme).
Dalam sejarah, perbedaan warna kulit manusia serta bagaimana mereka membedakan diri, kelompok, dan kaumnya acapkali menimbulkan friksi di masyarakat. Terlebih jika hal itu juga ditunggangi kepentingan politis yang melahirkan konflik terbuka di kalangan akar rumput.
Adapun, menurut Bibiana jejak tangan pengunjung dalam ruang pamer adalah perluasan dari prosesnya dalam mengangkat isu rasisme. Beberapa tahun silam, seniman paruh baya itu berupaya mengumpulkan foto beragam tangan teman-temannya dari seluruh penjuru dunia lewat media sosial.
Menurutnya, misi dalam mengumpulkan jenjang warna kulit manusia bisa menjadi pembelajaran mengenai ras dan identitas. Terutama terkait bagaimana seseorang melihat perbedaan ras, nyatanya persoalan tersebut kerap menjadi isu dalam lingkungan sosial kita.
"Hanya dengan menyadari, mengakui, dan menghormati perbedaan-perbedaan ras itu serta menerima bahwa rasisme memang eksis, kita baru dapat melangkah untuk menciptakan masyarakat inklusif yang mengayomi perbedaan," katanya
Tak hanya jejak tangan pengunjung yang disalin rekat di dinding, dalam eksibisi tersebut Bibiana juga menggoreskan berbagai permasalah seputar rasisme dalam medium dwimatra lukis. Namun, sesuai tajuknya, tak ada warna yang kita bisa lihat dalam pameran tersebut.
Hal itu bisa disimak misalnya, lewat karya berjudul The Line (2023) dan Numero Uno (2023) augmented reality (AR) and acrylic paint on canvas. Dalam dua lukisan berdimensi 100 x 100 cm yang didominasi gambar tangan itu sang seniman juga memberi bidang kosong di atas kanvas dengan kode QR di bawahnya.
Barulah nantinya lewat gawai yang dilengkapi aplikasi Instagram pengunjung baru bisa melihat warna. Pasalnya, lewat kode QR aplikasi tersebut akan membawa kita masuk ke dalam filter story yang menampilkan gerakan tangan di atas bidang kosong kanvas.
Dengan kata lain, hanya lewat filter itulah, warna kulit lukisan tangan Bibiana menjadi tampak. Menurutnya, gawai dan beragam media sosial memang menjadi pintu masuk sebagian besar masyarakat pada permasalahan ras lewat protes antirasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan Stop Asian Hate.
Dia mengungkap karya di Rubanah merupakan kelanjutan dari seri karyanya Artjog 2023 bertajuk I (Don't) See Color. Saat itu sang seniman menggunakan teori color blind (buta warna) untuk membuat karya samsak dengan sarung tinju yang dapat dipukuli kapan saja oleh pengunjung.
Adapun perbedaan paling kentara dari pameran itu adalah di Artjog Bibiana menggunakan elemen warna-warni tanpa setitikpun elemen hitam putih pada samsak dan senarai sarung tinjunya. Dengan artian sang perupa seolah ingin memberi humor satir pada khalayak bahwa rasisme seringkali dilakukan oleh mereka yang tidak buta warna.
"Selain itu, jika dilihat dari pameran ini ada juga banyak teks, itu sebenarnya bukan propaganda. Teks hanyalah sebagai pemicu pemikiran seseorang, yang kadang ada di pikiran kita tapi kita tidak sadar," katanya.
Jejak mengenai persoalan tersebut juga terejawantah dalam karya berjudul Tresna (2023), Together We Stand (2023), dan Love No.1 (2023). Namun, alih-alih hanya menggambarkan tangan semata, sang seniman juga menuliskan berbagai idiom cinta kasih dalam berbagai bahasa dunia, baik lewat aksara Jawa, Korea, hingga Arab.
Kurator pameran Grace Samboh mengatakan, absennya warna dalam pameran Bibiana Lee merupakan sebuah kode keras bagi masyarakat. Semua narasi yang hadir pun seolah menjadi bentuk refleksi sang seniman terhadap persoalan identitas dan ras di lanskap global.
Warna hitam dan putih menurutnya adalah elemen yang memengaruhi keberadaan warna. Hitam adalah elemen yang menyerap segala warna, sedangkan putih adalah jumlah dari segala warna. Dengan kata lain, secara harfiah jika semua warna dicampur maka akan menghadirkan palet putih.
Baca juga: Profil Zamrud Setya Negara, Perupa yang Karyanya Dikoleksi Pemimpin Negara Sahabat
Adapun, tegangan antara kedua elemen tersebut adalah adalah abu-abu atau bayangan. Namun spektrum yang dicakup abu-abu sedemikian luasnya sehingga kerap hadir tak terdefinisikan. Oleh karena itu, tanpa bayangan, manusia tak akan dapat menyadari ruang, dan tanpa abu-abu tak akan ada 'derap' warna.
"Karya dalam ruang pamer ini seolah menjadi catatan penelusuran, hasil bacaan, kegelisahan, pertanyaan, bercampur dengan ajakan untuk memikirkan lagi perihal perubahan warna kulit, baik dalam kerangka ras, suku, maupun etnis yang berkelindan dengan harapan, utopia dan satirisme,"katanya.
Editor: Fajar Sidik
Uniknya, semua jejak itu merupakan gambar dari tangan pengunjung yang disalin menggunakan mesin printer. Namun, alih-alih dicetak dengan tinta berwarna, karya partisipatif antara pengunjung dengan seniman Bibiana Lee justru dibuat dengan warna monokrom.
Baca juga: Menelisik Perilaku Kaum Urban dalam Pameran Perangai Karya Perupa Ruth Marbun
Ya, tak ada warna yang bisa dilihat dalam pameran Sum, absence, and the shades kecuali hitam dan putih. Melalui eksibisi ini, sang perupa memang kembali menyoal masalah yang mengawali banyak peristiwa mengerikan di dunia, yaitu diskriminasi ras (rasisme).
Dalam sejarah, perbedaan warna kulit manusia serta bagaimana mereka membedakan diri, kelompok, dan kaumnya acapkali menimbulkan friksi di masyarakat. Terlebih jika hal itu juga ditunggangi kepentingan politis yang melahirkan konflik terbuka di kalangan akar rumput.
Pengunjung galeri mengambil foto jejak tangan dalam pameran di Rubanah Underground Hub, Jakarta (sumber gambar Bibiana/Rubanah)
Adapun, menurut Bibiana jejak tangan pengunjung dalam ruang pamer adalah perluasan dari prosesnya dalam mengangkat isu rasisme. Beberapa tahun silam, seniman paruh baya itu berupaya mengumpulkan foto beragam tangan teman-temannya dari seluruh penjuru dunia lewat media sosial.
Menurutnya, misi dalam mengumpulkan jenjang warna kulit manusia bisa menjadi pembelajaran mengenai ras dan identitas. Terutama terkait bagaimana seseorang melihat perbedaan ras, nyatanya persoalan tersebut kerap menjadi isu dalam lingkungan sosial kita.
"Hanya dengan menyadari, mengakui, dan menghormati perbedaan-perbedaan ras itu serta menerima bahwa rasisme memang eksis, kita baru dapat melangkah untuk menciptakan masyarakat inklusif yang mengayomi perbedaan," katanya
Tak hanya jejak tangan pengunjung yang disalin rekat di dinding, dalam eksibisi tersebut Bibiana juga menggoreskan berbagai permasalah seputar rasisme dalam medium dwimatra lukis. Namun, sesuai tajuknya, tak ada warna yang kita bisa lihat dalam pameran tersebut.
Hal itu bisa disimak misalnya, lewat karya berjudul The Line (2023) dan Numero Uno (2023) augmented reality (AR) and acrylic paint on canvas. Dalam dua lukisan berdimensi 100 x 100 cm yang didominasi gambar tangan itu sang seniman juga memberi bidang kosong di atas kanvas dengan kode QR di bawahnya.
Barulah nantinya lewat gawai yang dilengkapi aplikasi Instagram pengunjung baru bisa melihat warna. Pasalnya, lewat kode QR aplikasi tersebut akan membawa kita masuk ke dalam filter story yang menampilkan gerakan tangan di atas bidang kosong kanvas.
Dengan kata lain, hanya lewat filter itulah, warna kulit lukisan tangan Bibiana menjadi tampak. Menurutnya, gawai dan beragam media sosial memang menjadi pintu masuk sebagian besar masyarakat pada permasalahan ras lewat protes antirasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan Stop Asian Hate.
Karya Bibiana Lee (dari kiri ke kanan) berjudul Beyond Color, Creation, Supremacy, dan Salfok (2023) (sumber gambar Hypeabs.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Dia mengungkap karya di Rubanah merupakan kelanjutan dari seri karyanya Artjog 2023 bertajuk I (Don't) See Color. Saat itu sang seniman menggunakan teori color blind (buta warna) untuk membuat karya samsak dengan sarung tinju yang dapat dipukuli kapan saja oleh pengunjung.
Adapun perbedaan paling kentara dari pameran itu adalah di Artjog Bibiana menggunakan elemen warna-warni tanpa setitikpun elemen hitam putih pada samsak dan senarai sarung tinjunya. Dengan artian sang perupa seolah ingin memberi humor satir pada khalayak bahwa rasisme seringkali dilakukan oleh mereka yang tidak buta warna.
"Selain itu, jika dilihat dari pameran ini ada juga banyak teks, itu sebenarnya bukan propaganda. Teks hanyalah sebagai pemicu pemikiran seseorang, yang kadang ada di pikiran kita tapi kita tidak sadar," katanya.
Jejak mengenai persoalan tersebut juga terejawantah dalam karya berjudul Tresna (2023), Together We Stand (2023), dan Love No.1 (2023). Namun, alih-alih hanya menggambarkan tangan semata, sang seniman juga menuliskan berbagai idiom cinta kasih dalam berbagai bahasa dunia, baik lewat aksara Jawa, Korea, hingga Arab.
Kurator pameran Grace Samboh mengatakan, absennya warna dalam pameran Bibiana Lee merupakan sebuah kode keras bagi masyarakat. Semua narasi yang hadir pun seolah menjadi bentuk refleksi sang seniman terhadap persoalan identitas dan ras di lanskap global.
Warna hitam dan putih menurutnya adalah elemen yang memengaruhi keberadaan warna. Hitam adalah elemen yang menyerap segala warna, sedangkan putih adalah jumlah dari segala warna. Dengan kata lain, secara harfiah jika semua warna dicampur maka akan menghadirkan palet putih.
Baca juga: Profil Zamrud Setya Negara, Perupa yang Karyanya Dikoleksi Pemimpin Negara Sahabat
Adapun, tegangan antara kedua elemen tersebut adalah adalah abu-abu atau bayangan. Namun spektrum yang dicakup abu-abu sedemikian luasnya sehingga kerap hadir tak terdefinisikan. Oleh karena itu, tanpa bayangan, manusia tak akan dapat menyadari ruang, dan tanpa abu-abu tak akan ada 'derap' warna.
"Karya dalam ruang pamer ini seolah menjadi catatan penelusuran, hasil bacaan, kegelisahan, pertanyaan, bercampur dengan ajakan untuk memikirkan lagi perihal perubahan warna kulit, baik dalam kerangka ras, suku, maupun etnis yang berkelindan dengan harapan, utopia dan satirisme,"katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.