Pelukis Sudarso pada tahun 2000. (sumber gambar Dok. Agus Dermawan T/ Tempo)

Menelisik Corak Garis & Alam Pikir Pelukis Sudarso

14 August 2023   |   18:09 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sebuah lukisan berdimensi 99 cm X 67 cm menarik perhatian pengunjung di ruang pamer Rubanah Underground Hub, Jakarta. Karya berjudul Si Genduk, lukisan itu menggambarkan sosok anak kecil yang menerawang dengan tatapan mata kosong, setengah memelas pada sosok yang sedang melukisnya.

Gadis itu duduk di atas kursi dengan pakaian kumal dan lusuh, kedua tangannya telungkup di atas paha. Namun, di sebelahnya tampak piring dan gelas sudah kosong tergeletak begitu saja di meja tempatnya bersandar. Nuansa rudin meruap dari penggunaan warna yang didominasi palet gelap.

Baca juga: Djoko Pekik di Mata Seniman Eko Nugroho: Sosok yang Mau Ngemong Semua Generasi

Lukisan tersebut hanyalah satu dari sembilan karyanya yang disuguhkan dalam pameran bertajuk Hijau Telek Kuda karya perupa Sudarso. Eksibisi ini merupakan hasil upaya untuk melihat perkembangan artistik perupa asal Purwokerto, Jawa Tengah itu, terutama saat pecah revolusi fisik di Indonesia.
 

Lukisan Sudarso berjudul Si genduk (kiri) dan Gerobak Sapi (Sumber gambar  Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Lukisan Sudarso berjudul Si genduk (kiri) dan Gerobak Sapi (Sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Rentang waktu tersebut (1947-1950), ditengarai memang menjadi babak awal periode artistik Sudarso. Di zaman yang serba susah, terutama akses untuk mendapatkan cat dan kanvas, tak ayal mempengaruhi corak lukisan sejumlah seniman di Indonesia termasuk dirinya.

Namun bersama perupa lain, Sudarso masih mencoba menggambarkan realitas dengan tekun pada khalayak. Terutama bersama sahabat dekatnya sesama perupa, yakni Affandi dan Hendra Gunawan yang turut aktif berkarya ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946.

Adapun, hijau telek kuda atau jenis warna dark olive green yang dipilih sebagai tajuk pameran, merujuk pada karakter khas yang biasa ditemukan pada lukisan-lukisan figur Sudarso. Sepanjang hidupnya (1914-2006), dia telah melahirkan ratusan karya yang tersebar di istana negara, museum, rumah-rumah kolektor, serta yang masih disimpan oleh anak-cucunya.

Baca juga: Sosok Seniman Nana Tedja, "Saya Senang Narsistis"

Hal itu pun terlukis salah satunya lewat karya berjudul Pasar (cat minyak pada kanvas, 108 X 77 cm, 1947) yang kini menjadi koleksi museum Fatahillah Jakarta. Lewat lukisan bergaya impresionistik itu, sang perupa menggambarkan suasana di sebuah pasar tradisional lewat permainan warna yang estetik.

Uniknya, Sudarso tidak menjadikan kelimun aktivitas dari orang-orang yang dilukiskan sebagai sorotan utama lukisan. Lewat gambar yang didominasi warna hijau gelap dan coklat tua itu sang perupa seolah tidak mengarahkan mata pengunjung pada satu titik, melainkan lebih pada penekanan suasana.

Selain itu, objek yang hadir juga tidak dibuat dengan benar-benar detail lewat permainan cahaya yang dibangun dari tumpukan warna. Kulit atau pepohonan, misalnya, dibentuk dari penggunaan warna yang berbeda, bukan dari garis yang justru malah membangun perspektif ruang di dalam lukisan.
 

Lukisan Sudarso berjudul Pasar, cat minyak pada kanvas, 108 X 77 cm, 1947  (Sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Lukisan Sudarso berjudul Pasar, cat minyak pada kanvas, 108 X 77 cm, 1947 (Sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Kurator Arham Arham mengatakan, lewat lukisan tersebut Sudarso memang berfokus untuk mengabadikan suasana yang ditangkap secara langsung alih-alih menegaskan bentuk objek. Kesan jauh-dekatnya atau kedalaman ruang lukisan justru dibentuk oleh permainan cahaya dan marka kuas yang kontras.

"Sudarso mencoba menonjolkan satu bagian dan meredam bagian lainnya, sehingga kesan ruang dalam lukisannya terbentuk. Praktik seperti itu sangat dipengaruhi oleh gaya lukisan yang berkembang sebelumnya di Indonesia," katanya.

Kesan serupa juga tampil dalam lukisan bertajuk Gerobak Sapi (cat minyak pada panel, 74 X 60 cm, 1948). Dalam lukisan itu Sudarso juga tidak menegaskan bentuk objek. Yaitu berupa empat figur manusia yang sedang bercengkrama juga dibuat kabur lewat permainan warna yang didominasi kehijauan.

Pelukis Sisi Lain Revolusi Fisik
Berbeda dengan Affandi dan Hendra kerap melukis situasi genting di garis terdepan  revolusi fisik, Sudarso lebih memilih mencari objek lukisan di zona aman. Namun, menurut Arham, dia tetap mengambil sorotan lain yang juga menunjukkan ketegangan masyarakat di zaman tersebut. 

Bagi sejumlah seniman, setiap momen yang berlangsung di zaman tersebut atau objek yang diabadikan, meskipun itu bukan bedil atau hanya sekadar gambar orang berjualan tetap membawa nuansa revolusi. Salah satunya terlukis dalam lukisan Si Genduk (1947) yang kini menjadi koleksi Oei Hong Djien.
 
Si Genduk dilukis Sudarso saat berkeliling di kota Yogyakarta sambil berharap menemukan sesuatu untuk digambar. Syahdan, di salah satu sudut pasar dia bersua dengan seorang anak perempuan yang tampak tak terurus, seketika itulah dia putuskan untuk dijadikan sebagai subjek lukisan.
 

Lukisan Sudarso berjudul Berjualan di Pantai cat minyak di atas kanvas 60,5 X 80 cm, 1968  (Sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Lukisan Sudarso berjudul Berjualan di Pantai cat minyak di atas kanvas 60,5 X 80 cm, 1968 (Sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Setelah merasa cukup, Sudarso berkata kepada anak itu untuk menunggunya, sebab dia bermaksud untuk pulang mengambil uang dan membungkus makanan yang akan diberikan kepadanya. Sayangnya, setelah kembali di tempat yang sama, dia tidak lagi menemukan anak itu. Betapa pun dia mencari, anak itu tak kunjung dia temukan.

Oei Hong Djien mengaku mendapat lukisan tersebut dari Affandi, yang mengatakan bahwa bahwa Sudarso piawai dalam melukis jari tangan dan kaki. Selain itu, ciri lukisan-lukisannya juga selalu menghadirkan raut wajah figur yang nglangut (melamun) dan kelak memberi inspirasi penyair Sitor Situmorang untuk menulis puisi Bunga di Atas Batu.

Sisi lain revolusi dari karya Sudarso juga tergambar dalam sosok Tania Dezentje (cat minyak di atas kanvas 101 X 68 cm, 1947) yang hadir dalam bentuk reproduksi foto. Figur tersebut merupakan perempuan Belanda yang turut berjuang untuk revolusi nasional Indonesia dan menjadi diplomat setelah kemerdekaan berlangsung.

Selain itu, dalam hal pemilihan model untuk lukisan-lukisannya, terutama figur perempuan, Sudarso juga memiliki parameter sendiri. Mayoritas rambut dari perempuan yang menjadi modelnya mesti panjang, bahkan lukisan figur dari modelnya biasanya rambutnya selalu digelung atau dikonde secara manual.
 

Lukisan karya Sudarso berjudul Kebaya Hijau cat minyak di atas kanvas, 120 X 80 cm1988  (Sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)

Lukisan karya Sudarso berjudul Kebaya Hijau cat minyak di atas kanvas, 120 X 80 cm1988 (Sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)


Hal itu terekam dalam karya bertajuk Meitia Cucuku (cat minyak di atas kanvas, 137 X 98 cm, 1990) atau Kebaya Hijau (cat minyak di atas kanvas, 120 X 80 cm, 1988). Kedua lukisan tersebut menghadirkan figur realis dengan rambut panjang dikuncir dan digelung di mana kedua mata mereka juga nampak melamun menerawang ke arah yang jauh.

Baca juga: Cerminan Manusia Modern dalam Karya Seniman Eko Nugroho 'We Are Human'

Kolektor Amir Sidharta mengatakan, Sudarso merupakan sosok pelukis yang memiliki ciri khas lukisan apa adanya. Dengan kata lain, alih-alih menampilkan sisi keperempuanan yang mewah ala Basoeki Abdullah, sang seniman justru menampilkan perempuan yang sederhana, tapi penuh perbawa.

"Dia menanggalkan bentuk glamour dan menempatkan perbuatan itu lewat latar belakang [lukisan] yang hening supaya memunculkan komposisi secara tepat dan bagus," katanya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Oppenheimer Sukses Jadi Film Sejarah Perang Dunia II Terlaris Sepanjang Masa

BERIKUTNYA

Profil Rhoma Irama, Raja Dangdut yang Mengawali Kariernya dari Genre Barat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: