Lapisan Es di Antartika yang Mencair Makin Masif, Dunia Bisa Alami Krisis Pangan
31 July 2023 |
14:16 WIB
1
Like
Like
Like
Alarm tanda bahaya dampak pemanasan global (global warming) berbunyi nyaring. Peningkatan suhu yang makin masif juga membuat bumi bukan hanya menghadapi global warming, melainkan global boiling. Sebab, situasinya kini makin tak terkendali.
Badan Penerbangan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mencatat lapisan es di antartika terus memprihatinkan. Selama 2010 hingga 2022, pengurangan lapisan es tertinggi terjadi pada Desember 2021 yang mencapai 2.754,7 gigaton.
Terbaru, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) juga mencatat ada pencairan es besar-besaran pada pertengahan tahun ini. Mereka menyebut lautan es seluas 2,6 juta kilometer persegi meleleh pada 27 Juni 2023 lalu.
Baca juga: Waduh, Puncak Es Berusia 2.000 Tahun di Everest Mencair 80 Kali Lebih Cepat
Padahal, Antartika sejatinya masih berada di musim dingin. Pertumbuhan pembentukan es baru seharusnya bisa lebih cepat. Akan tetapi, yang terjadi ternyata sebaliknya. Periode berbeda ini makin memperjelas bumi makin tahun makin mendidih.
Luas es laut Antartika kini memang lebih banyak menunjukkan penyusutan, alih-alih pertumbuhan dari tahun ke tahun. Para peneliti menduga saat ini es laut di Kutub Utara berada pada periode penurunan jangka panjang yang membahayakan.
Tanpa ada intervensi yang lebih serius, bumi akan menghadapi berbagai bencana yang tak pernah terbayangkan. Konsekuensi ini bukan isapan jempol belaka karena efek pemanasan global benar-benar nyata, bahkan sebagian sudah dan akan terus terjadi ke depan.
Melansir dari NASA, Intergovernmental Panel on Climate Change memprediksi bahwa manusia modern akan menghadapi sebuah perubahan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Sialnya, beberapa perubahan itu tidak dapat diubah lagi meski kita memperbaikinya dalam ratusan tahun ke depan.
Ada berbagai perubahan yang sedang dan akan terus terjadi. Permukaan laut di banyak negara, termasuk Amerika Serikat kemungkinan akan naik cukup signifikan. Kenaikannya bervariasi, bisa mencapai 0,3 meter atau terparah bisa 2 meter.
Efek ini terjadi karena penambahan air dari es tanah yang mencari di kutub. Hal ini membuat volume air laut pun menjadi ikut bertambah. Di sisi lain, bencana alam yang menyengsarakan juga akan menanti. Pemanasan global membuat lebih banyak daerah akan mengalami kekeringan. Bencana ini akan paling terasa di bumi bagian barat daya.
“Periode cuaca panas yang tidak normal berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu dan diproyeksikan lebih intens,” tulis NASA dikutip dari laman resminya, Senin (31/7).
Seolah menjadi saudara kembar, bencana kekeringan juga bisa saja dibarengi dengan gelombang panas. Gelombang panas akan membuat manusia lebih cepat dehidrasi, bahkan menjadi pemicu munculnya dermatitis hingga eksim.
Hutan-hutan juga akan makin kering dan lebih mudah terbakar. Kekeringan dan gelombang panas adalah dua kombinasi menciptakan dunia yang lebih mengerikan.
Terakhir, tentu saja efek bencana ini akan menyentuh salah satu bagian paling fundamental manusia, yakni makanan. Cuaca yang panas dan tidak pasti membuat tanah menjadi lebih gersang dan mengurangi kesuburannya.
Tanaman-tanaman yang ada juga akan lebih mungkin untuk mati karena kekeringan parah. Hasilnya, sistem pangan global akan menjadi berantakan. Manusia bisa mengalami krisis pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selain itu, beberapa makanan yang tersisa juga akan mengalami kenaikan harga yang tinggi. Hal ini tentu akan memicu krisis dan kerentanan di dunia pangan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati bahkan menyebut bencana kelaparan bisa terjadi pada 2050. Hal ini juga sesuai dengan prediksi organisasi pangan dunia FAO. Pada tahun itu, diprediksi penduduk dunia akan menembus 10 miliar dan membutuhkan pangan yang banyak. Akan tetapi, produksi pangan justru menurun akrena perubahan iklim.
"Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi," ungkap Dwikorita dikutip dari laman resmi BMKG.
Baca juga: Nikmatnya Sepiring Nasi, Secangkir Kopi, dan Ancaman Perubahan Iklim di Masa Depan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Badan Penerbangan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mencatat lapisan es di antartika terus memprihatinkan. Selama 2010 hingga 2022, pengurangan lapisan es tertinggi terjadi pada Desember 2021 yang mencapai 2.754,7 gigaton.
Terbaru, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) juga mencatat ada pencairan es besar-besaran pada pertengahan tahun ini. Mereka menyebut lautan es seluas 2,6 juta kilometer persegi meleleh pada 27 Juni 2023 lalu.
Baca juga: Waduh, Puncak Es Berusia 2.000 Tahun di Everest Mencair 80 Kali Lebih Cepat
Padahal, Antartika sejatinya masih berada di musim dingin. Pertumbuhan pembentukan es baru seharusnya bisa lebih cepat. Akan tetapi, yang terjadi ternyata sebaliknya. Periode berbeda ini makin memperjelas bumi makin tahun makin mendidih.
Luas es laut Antartika kini memang lebih banyak menunjukkan penyusutan, alih-alih pertumbuhan dari tahun ke tahun. Para peneliti menduga saat ini es laut di Kutub Utara berada pada periode penurunan jangka panjang yang membahayakan.
Tanpa ada intervensi yang lebih serius, bumi akan menghadapi berbagai bencana yang tak pernah terbayangkan. Konsekuensi ini bukan isapan jempol belaka karena efek pemanasan global benar-benar nyata, bahkan sebagian sudah dan akan terus terjadi ke depan.
Melansir dari NASA, Intergovernmental Panel on Climate Change memprediksi bahwa manusia modern akan menghadapi sebuah perubahan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Sialnya, beberapa perubahan itu tidak dapat diubah lagi meski kita memperbaikinya dalam ratusan tahun ke depan.
Ada berbagai perubahan yang sedang dan akan terus terjadi. Permukaan laut di banyak negara, termasuk Amerika Serikat kemungkinan akan naik cukup signifikan. Kenaikannya bervariasi, bisa mencapai 0,3 meter atau terparah bisa 2 meter.
Efek ini terjadi karena penambahan air dari es tanah yang mencari di kutub. Hal ini membuat volume air laut pun menjadi ikut bertambah. Di sisi lain, bencana alam yang menyengsarakan juga akan menanti. Pemanasan global membuat lebih banyak daerah akan mengalami kekeringan. Bencana ini akan paling terasa di bumi bagian barat daya.
“Periode cuaca panas yang tidak normal berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu dan diproyeksikan lebih intens,” tulis NASA dikutip dari laman resminya, Senin (31/7).
Ilustrasi kekeringan (Sumber gambar: Freepik)
Seolah menjadi saudara kembar, bencana kekeringan juga bisa saja dibarengi dengan gelombang panas. Gelombang panas akan membuat manusia lebih cepat dehidrasi, bahkan menjadi pemicu munculnya dermatitis hingga eksim.
Hutan-hutan juga akan makin kering dan lebih mudah terbakar. Kekeringan dan gelombang panas adalah dua kombinasi menciptakan dunia yang lebih mengerikan.
Terakhir, tentu saja efek bencana ini akan menyentuh salah satu bagian paling fundamental manusia, yakni makanan. Cuaca yang panas dan tidak pasti membuat tanah menjadi lebih gersang dan mengurangi kesuburannya.
Tanaman-tanaman yang ada juga akan lebih mungkin untuk mati karena kekeringan parah. Hasilnya, sistem pangan global akan menjadi berantakan. Manusia bisa mengalami krisis pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selain itu, beberapa makanan yang tersisa juga akan mengalami kenaikan harga yang tinggi. Hal ini tentu akan memicu krisis dan kerentanan di dunia pangan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati bahkan menyebut bencana kelaparan bisa terjadi pada 2050. Hal ini juga sesuai dengan prediksi organisasi pangan dunia FAO. Pada tahun itu, diprediksi penduduk dunia akan menembus 10 miliar dan membutuhkan pangan yang banyak. Akan tetapi, produksi pangan justru menurun akrena perubahan iklim.
"Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi," ungkap Dwikorita dikutip dari laman resmi BMKG.
Baca juga: Nikmatnya Sepiring Nasi, Secangkir Kopi, dan Ancaman Perubahan Iklim di Masa Depan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.