Nikmatnya Sepiring Nasi, Secangkir Kopi, dan Ancaman Perubahan Iklim di Masa Depan
14 July 2023 |
17:24 WIB
2
Likes
Like
Likes
Apakah kalian memiliki kebiasaan menikmati sarapan nasi putih hangat di pagi hari? Atau mungkin kalian adalah pencinta kopi sejati yang selalu bersemangat mencoba berbagai varian cita rasa kopi? Sekarang, pengalaman mencicipi hasil bumi berkualitas tinggi akan semakin sulit bagi penikmat kopi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Sering digaungkan bahwa fenomena perubahan iklim memberi efek domino yang tidak main-main. Perubahan iklim yang secara langsung memengaruhi perubahan pola cuaca akan berdampak ke pergerakan berbagai sektor ekonomi yang sangat bergantung pada stabilitas cuaca, khususnya agribisnis.
Secara logika, jika perubahan iklim menyebabkan perubahan ekstrem suhu udara yang berakibat pada berubahnya pola curah hujan, waktu tanam sektor agribisnis tentu akan berubah pula, termasuk beras sebagai produk pangan utama di Indonesia. Waktu tanam yang menjadi tidak teratur itu bisa karena lahan terkena banjir atau sebaliknya terjadi kekeringan hingga mengurangi hasil panen.
Baca juga: Gerakan Save Soil: Kondisi Tanah di Bumi Mencemaskan
Perubahan iklim juga disinyalir mengakibatkan kenaikan permukaan air laut hingga terjadi intrusi air laut dan gelombang pasang. Banjir yang tidak terhindarkan lagi itu lalu meningkatkan salinitas, terutama pada lahan pertanian yang terletak di daerah pesisir.
Perlu diketahui, dalam konteks kondisi sawah padi di daerah pesisir, telah mengalami kenaikan permukaan laut dan salinitas yang memengaruhi produksi padi, juga kopi.
Dalam dokumen Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Produk Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta) dari Piarea Institute, BMKG, Kementerian Pertanian, BPPT dan IPB, menerangkan terdapat beberapa skenario yang menarik (Kopp et al. 2017; Strauss et al. (2021).
Pertama, dengan skenario kenaikan permukaan laut setinggi 1 meter (Sea Level Rise/SLR-1) yang ditentukan berdasarkan prediksi RCP 8.5 (Representative Concentration Pathways 8.5) untuk tahun 2100, kurang lebih 134.509 hektar sawah pesisir (51 persen terletak di pulau Jawa) akan terendam. Skenario ini akan menghilangkan hampir 1 juta ton produksi beras, yakni setara dengan kebutuhan beras untuk 5 juta orang.
Skenario kedua, jika terjadi kenaikan muka air laut sebesar 2 meter (SLR-2), dampaknya akan menjadi lebih signifikan. Lebih dari 70 persen sawah pesisir di Pulau Jawa, dengan total luas sebesar 430.775 hektare, akan terendam akibat peristiwa ini. Dampak tersebut akan mengakibatkan hilangnya produksi beras sebanyak 3,5 juta ton, yang setara dengan kebutuhan beras untuk 17,7 juta orang.
Terkait ambang batas salinitas, Radanielson et al. (2018) serta Zeng & Shannon (2000) menyatakan, ambang batas salinitas untuk tanaman padi ialah 3 dS m-1 dan setiap nilai di atasnya akan menyebabkan penurunan produktivitas padi.
Dengan mengkalkulasi pengurangan produksi padi yang sesuai dengan setiap tingkat peningkatan konduktivitas listrik (Electrical Conductivity/EC), pemodelan menunjukkan peningkatan EC hingga 4 dS m-1 akan menyebabkan hilangnya 1,8 juta ton produksi padi. Dan peningkatan EC hingga 9 dS m-1 akan mengakibatkan hilangnya 50 persen produksi beras dari potensi hasil, yakni 8 juta ton atau setara dengan kebutuhan beras untuk 42 juta orang.
Tak hanya itu, penelitian tersebut juga menerangkan dalam konteks komoditas kopi di mana Indonesia dikenal sebagai produsen sekaligus eksporter kopi empat terbesar secara skala internasional, juga mengalami penurunan produksi efek perubahan iklim. Sekadar pengingat, Indonesia andil senilai 4.76 persen dari total ekspor dunia untuk tipe kopi Arabika dan Robusta.
Di Indonesia, budidaya kopi Robusta dapat ditemukan di dataran rendah dengan sentra produksi di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sementara Arabika di dataran tinggi dengan sentra di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Sumatera Selatan menjadi provinsi dengan luas perkebunan kopi terluas di Indonesia pada 2022. Luas perkebunan kopi di provinsi ini mencapai 268.000 hektare (ha), yang setara dengan 20,84 persen dari total luas perkebunan kopi di seluruh Indonesia yang mencapai 1,29 juta ha.
Mayoritas sentra produksi mengalami penurunan produksi kopi Robusta dan Arabika selama kejadian El Niño dan La Nina. Turunnya produksi kopi Robusta terjadi tertinggi di Provinsi Bengkulu dan Lampung (>3.000 ton), di mana selama La Nina penurunan tertinggi terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, pengaruh fenomena El Nino terhadap penurunan produksi kopi Arabika tidak sebesar yang terjadi pada jenis kopi Robusta. Dalam hal kopi Arabika, penurunan produksi yang paling drastis tercatat di Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, dampak dari fenomena La Niña jauh lebih signifikan dalam menurunkan produksi kopi Arabika, dan dampaknya terasa hampir di seluruh kabupaten yang menghasilkan kopi Arabika.
Baca juga: Cek 7 Jenis Kopi Terbaik Indonesia yang Mendunia, Ada Gayo hingga Wamena
Tak hanya berpengaruh di Indonesia, menurut penelitian dari jurnal Climate Change, sekitar setengah dari tanah di seluruh dunia yang saat ini digunakan untuk memproduksi kopi berkualitas tinggi bisa menjadi tidak produktif pada 2050. Bahkan argumen ini didukung dengan jurnal Proceeding Of The National Academy Of Science yang mengatakan bahwa jumlah itu bisa mencapai 88 persen di Amerika Latin.
Solusi yang komprehensif harus dilakukan untuk mengatasi kondisi ini dengan membuat langkah-langkah strategis di sektor pertanian yang beradaptasi dengan fenomena perubahan iklim. Hal yang dapat dilakukan untuk beradaptasi dengan naiknya permukaan air laut ialah mengaplikasikan teknologi intensifikasi lahan dan menciptakan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi.
Untuk menggantikan lahan sawah yang hilang terendam air laut, pembukaan sawah baru di daerah nonpesisir, khususnya di luar Pulau Jawa, menjadi amat penting.
Sementara itu, untuk mengatasi peningkatan salinitas, perlu diwujudkan varietas tahan salin dan berdaya hasil tinggi pula. Aspek-aspek lain, seperti perbaikan infrastruktur irigasi, termasuk bendungan karet, bahan amandemen tanah, seperti bahan organik dan gipsum, praktik pertanian konservasi, fitoremediasi dan bioremediasi, penggunaan kalender tanam, serta pemberian kredit dan asuransi untuk pertanian menjadi bagian krusial pula.
Teknologi apakah yang dipakai sebagai teknologi adaptasi dan mitigasi saat ini? Istilahnya dikenal sebagai Climate Smart Agriculture (CSA).
Dalam budidaya kopi, terdapat beberapa teknologi adaptasi perubahan iklim yang dapat diterapkan. Seperti penggunaan naungan, mulsa organik, dan cover crop, teknologi pengelolaan lahan dengan Rorak, teknologi pemanenan hujan dan limpasan permukaan melalui pembangunan dam, bendungan, dan parit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Terutama pada musim kemarau, petani kopi menggunakan teknologi hemat air seperti irigasi sprinkler, irigasi tetes, air, irigasi, dan drainase, dan pengembangan varietas toleran kekeringan.
Khusus untuk teknologi mitigasi yang direkomendasikan bagi budidaya kopi adalah pengelolaan lahan melalui alley cropping dan tumpang sari; pemanfaatan pupuk organik, dan; penanaman kopi campuran dengan tanaman buah, sayuran, dan perkebunan.
Selain itu, ada pula gerakan yang mendorong kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan dan etika dalam industri kopi. Konsumen semakin sadar akan dampak pilihan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat petani kopi. Ini mendorong peningkatan adopsi praktik perdagangan yang adil dan dukungan terhadap petani kopi lokal.
Meskipun tantangan di masa depan, kita masih memiliki kesempatan untuk menjaga kenikmatan kopi yang berkualitas. Dengan meningkatkan kesadaran, mengambil tindakan yang tepat, dan mendukung upaya dalam industri kopi, kita dapat membantu menjaga keberlanjutan dan memastikan akses terhadap kopi yang enak dan berkualitas di masa depan.
Baca juga: Yuk Biasakan Hidup Ramah Lingkungan Mulai dari Rumah, Begini Caranya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Sering digaungkan bahwa fenomena perubahan iklim memberi efek domino yang tidak main-main. Perubahan iklim yang secara langsung memengaruhi perubahan pola cuaca akan berdampak ke pergerakan berbagai sektor ekonomi yang sangat bergantung pada stabilitas cuaca, khususnya agribisnis.
Secara logika, jika perubahan iklim menyebabkan perubahan ekstrem suhu udara yang berakibat pada berubahnya pola curah hujan, waktu tanam sektor agribisnis tentu akan berubah pula, termasuk beras sebagai produk pangan utama di Indonesia. Waktu tanam yang menjadi tidak teratur itu bisa karena lahan terkena banjir atau sebaliknya terjadi kekeringan hingga mengurangi hasil panen.
Baca juga: Gerakan Save Soil: Kondisi Tanah di Bumi Mencemaskan
Perubahan iklim juga disinyalir mengakibatkan kenaikan permukaan air laut hingga terjadi intrusi air laut dan gelombang pasang. Banjir yang tidak terhindarkan lagi itu lalu meningkatkan salinitas, terutama pada lahan pertanian yang terletak di daerah pesisir.
Perlu diketahui, dalam konteks kondisi sawah padi di daerah pesisir, telah mengalami kenaikan permukaan laut dan salinitas yang memengaruhi produksi padi, juga kopi.
Dalam dokumen Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Produk Sektor Pertanian Indonesia: Fokus Komoditas Padi dan Kopi (Arabika dan Robusta) dari Piarea Institute, BMKG, Kementerian Pertanian, BPPT dan IPB, menerangkan terdapat beberapa skenario yang menarik (Kopp et al. 2017; Strauss et al. (2021).
Pertama, dengan skenario kenaikan permukaan laut setinggi 1 meter (Sea Level Rise/SLR-1) yang ditentukan berdasarkan prediksi RCP 8.5 (Representative Concentration Pathways 8.5) untuk tahun 2100, kurang lebih 134.509 hektar sawah pesisir (51 persen terletak di pulau Jawa) akan terendam. Skenario ini akan menghilangkan hampir 1 juta ton produksi beras, yakni setara dengan kebutuhan beras untuk 5 juta orang.
Skenario kedua, jika terjadi kenaikan muka air laut sebesar 2 meter (SLR-2), dampaknya akan menjadi lebih signifikan. Lebih dari 70 persen sawah pesisir di Pulau Jawa, dengan total luas sebesar 430.775 hektare, akan terendam akibat peristiwa ini. Dampak tersebut akan mengakibatkan hilangnya produksi beras sebanyak 3,5 juta ton, yang setara dengan kebutuhan beras untuk 17,7 juta orang.
Terkait ambang batas salinitas, Radanielson et al. (2018) serta Zeng & Shannon (2000) menyatakan, ambang batas salinitas untuk tanaman padi ialah 3 dS m-1 dan setiap nilai di atasnya akan menyebabkan penurunan produktivitas padi.
Dengan mengkalkulasi pengurangan produksi padi yang sesuai dengan setiap tingkat peningkatan konduktivitas listrik (Electrical Conductivity/EC), pemodelan menunjukkan peningkatan EC hingga 4 dS m-1 akan menyebabkan hilangnya 1,8 juta ton produksi padi. Dan peningkatan EC hingga 9 dS m-1 akan mengakibatkan hilangnya 50 persen produksi beras dari potensi hasil, yakni 8 juta ton atau setara dengan kebutuhan beras untuk 42 juta orang.
Ilustrasi buah kopi. (Sumber foto: Pexels/Livier Garcia)
Di Indonesia, budidaya kopi Robusta dapat ditemukan di dataran rendah dengan sentra produksi di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sementara Arabika di dataran tinggi dengan sentra di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Sumatera Selatan menjadi provinsi dengan luas perkebunan kopi terluas di Indonesia pada 2022. Luas perkebunan kopi di provinsi ini mencapai 268.000 hektare (ha), yang setara dengan 20,84 persen dari total luas perkebunan kopi di seluruh Indonesia yang mencapai 1,29 juta ha.
Mayoritas sentra produksi mengalami penurunan produksi kopi Robusta dan Arabika selama kejadian El Niño dan La Nina. Turunnya produksi kopi Robusta terjadi tertinggi di Provinsi Bengkulu dan Lampung (>3.000 ton), di mana selama La Nina penurunan tertinggi terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, pengaruh fenomena El Nino terhadap penurunan produksi kopi Arabika tidak sebesar yang terjadi pada jenis kopi Robusta. Dalam hal kopi Arabika, penurunan produksi yang paling drastis tercatat di Provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, dampak dari fenomena La Niña jauh lebih signifikan dalam menurunkan produksi kopi Arabika, dan dampaknya terasa hampir di seluruh kabupaten yang menghasilkan kopi Arabika.
Baca juga: Cek 7 Jenis Kopi Terbaik Indonesia yang Mendunia, Ada Gayo hingga Wamena
Tak hanya berpengaruh di Indonesia, menurut penelitian dari jurnal Climate Change, sekitar setengah dari tanah di seluruh dunia yang saat ini digunakan untuk memproduksi kopi berkualitas tinggi bisa menjadi tidak produktif pada 2050. Bahkan argumen ini didukung dengan jurnal Proceeding Of The National Academy Of Science yang mengatakan bahwa jumlah itu bisa mencapai 88 persen di Amerika Latin.
Inovasi Berbasis Alam
Lanskap gersang yang merupakan dasar sungai kering Sungai Ghadamis di Pegunungan Tinrhert Hamada dekat Ghadamis, Libya. (Sumber gambar: Unsplash/USGS)
Untuk menggantikan lahan sawah yang hilang terendam air laut, pembukaan sawah baru di daerah nonpesisir, khususnya di luar Pulau Jawa, menjadi amat penting.
Sementara itu, untuk mengatasi peningkatan salinitas, perlu diwujudkan varietas tahan salin dan berdaya hasil tinggi pula. Aspek-aspek lain, seperti perbaikan infrastruktur irigasi, termasuk bendungan karet, bahan amandemen tanah, seperti bahan organik dan gipsum, praktik pertanian konservasi, fitoremediasi dan bioremediasi, penggunaan kalender tanam, serta pemberian kredit dan asuransi untuk pertanian menjadi bagian krusial pula.
Teknologi apakah yang dipakai sebagai teknologi adaptasi dan mitigasi saat ini? Istilahnya dikenal sebagai Climate Smart Agriculture (CSA).
Dalam budidaya kopi, terdapat beberapa teknologi adaptasi perubahan iklim yang dapat diterapkan. Seperti penggunaan naungan, mulsa organik, dan cover crop, teknologi pengelolaan lahan dengan Rorak, teknologi pemanenan hujan dan limpasan permukaan melalui pembangunan dam, bendungan, dan parit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Terutama pada musim kemarau, petani kopi menggunakan teknologi hemat air seperti irigasi sprinkler, irigasi tetes, air, irigasi, dan drainase, dan pengembangan varietas toleran kekeringan.
Khusus untuk teknologi mitigasi yang direkomendasikan bagi budidaya kopi adalah pengelolaan lahan melalui alley cropping dan tumpang sari; pemanfaatan pupuk organik, dan; penanaman kopi campuran dengan tanaman buah, sayuran, dan perkebunan.
Selain itu, ada pula gerakan yang mendorong kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan dan etika dalam industri kopi. Konsumen semakin sadar akan dampak pilihan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat petani kopi. Ini mendorong peningkatan adopsi praktik perdagangan yang adil dan dukungan terhadap petani kopi lokal.
Meskipun tantangan di masa depan, kita masih memiliki kesempatan untuk menjaga kenikmatan kopi yang berkualitas. Dengan meningkatkan kesadaran, mengambil tindakan yang tepat, dan mendukung upaya dalam industri kopi, kita dapat membantu menjaga keberlanjutan dan memastikan akses terhadap kopi yang enak dan berkualitas di masa depan.
Baca juga: Yuk Biasakan Hidup Ramah Lingkungan Mulai dari Rumah, Begini Caranya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.