Kenapa Konsumsi Rokok Tetap Meningkat Meskipun Dampaknya Mengerikan?
28 July 2023 |
17:00 WIB
1
Like
Like
Like
Kendati rokok telah menyebabkan setidaknya lebih dari lima juta kematian setiap tahun, konsumsi rokok diperkirakan justru terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama di desa. Informasi mengenai bahaya rokok seakan tidak mampu menghentikan para perokok.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, beberapa waktu lalu menyinggung peserta BPJS Kesehatan yang sering menunggak iuran bulanan. Menurutnya, mayoritas penunggak mampu membeli rokok Rp 150.000 per bulan, tapi mengaku keberatan bayar iuran Rp 42.000 per bulan.
Baca juga: Mau Paru-Paru Bersih Setelah Berhenti Merokok? Ikuti 5 Kiat Ini Yuk
Data Global Adult Tobbaco Survey (GATS) 2021 menambahkan informasi yang menarik, yakni jumlah rata-rata uang yang digunakan masyarakat untuk membeli rokok setiap bulannya mencapai Rp 382.091,72.
Dikutip dari Statista, pada 2021, sekitar 29 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah perokok. Meskipun pemerintah telah memperkenalkan kenaikan pajak sejak 2020, Indonesia tetap memiliki tingkat merokok yang tinggi.
Memang dalam hasil GATS 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan jumlah perokok dewasa di Indonesia mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meskipun prevalensi merokok di Indonesia mengalami penurunan dari 1,8 persen menjadi 1,6 persen.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rokok dalam negeri mencapai angka rata-rata Rp85.630 per kapita per bulan pada September 2022, yakni menanjak 4,2 persen dari nilai Rp82.183 per kapita per bulan pada Maret 2022.
Jika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita, konsumsi rokok ini akan lebih mengejutkan lagi karena merupakan terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi. Yaitu, di angka pengeluaran per kapita 12,2 persen di antara kelompok makanan.
Berdasarkan lokasi, rata-rata pengeluaran per kapita rokok per bulan di desa justru lebih tinggi, yakni senilai Rp88.842 ketimbang di kota yang senilai Rp83.282.
Fakta di atas memang menarik karena didukung pula oleh hasil sejumlah riset yang di antaranya mencoba menganalisisnya berdasarkan pengaruh faktor sosial ekonomi (jenis kelamin dan usia), pendapatan, dan harga rokok terhadap konsumsi rokok di Indonesia.
Studi Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi, Pendapatan, dan Harga Rokok Terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia dari Annisa Marianti, Budi Prayitno, 2020 menunjukkkan konsumsi merokok di Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang beragam, salah satunya faktor sosial kultural, meliputi kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan.
Oleh sebab itulah, konsumsi rokok dipandang berbeda dengan konsumsi pada umumnya. Konsumsi rokok dipandang berbeda dengan konsumsi produk pada umumnya karena adanya aspek-aspek sosial dan budaya yang terkait erat dengan kebiasaan merokok.
Misalnya, merokok dapat dianggap sebagai tindakan yang mencerminkan status sosial, ketangguhan, atau kebebasan individu, yang secara langsung mempengaruhi perilaku konsumsi rokok di masyarakat.
Sementara pengeluaran konsumsi dimaknai jika penghasilan meningkat, konsumsi akan turut meningkat, dan begitu pun sebaliknya, tetapi kondisi tersebut tidak berlaku pada konsumsi merokok.
Apa kesimpulannya? Ternyata, faktor sosial ekonomi (jenis kelamin dan usia), pendapatan, dan harga rokok tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi rokok di Indonesia.
Lalu, apa sebenarnya yang memunculkan fenomena ini, khususnya di Indonesia? Kita tentu sudah sangat mengenal dengan istilah akulturasi, yakni sebuah peristiwa di mana dua budaya terpadu menjadi satu.
Di era globalisasi saat ini, budaya tradisional yang terpadu dengan budaya modern itu salah satunya ialah kebiasaan merokok yang berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia.
Merokok dipandang sebagai satu kebiasaan, merupakan bagian dari kehidupan yang sangat umum, meluas di tengah masyarakat Indonesia, dan menilainya sebagai kebutuhan sehari-hari yang mesti dipenuhi. Hal ini yang membuat WHO (2016) bahkan menyatakan Indonesia menduduki posisi ketiga dunia dalam hal konsumsi rokok.
Hal yang dikhawatirkan, usia perokok pemula ternyata ditemukan kian lama kian muda, di mana nyaris 80 persen perokok mulai mengonsumsinya saat mereka berusia kurang dari 19 tahun.
Dalam hal jenis kelamin, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2018) menyatakan, jumlah perokok laki-laki jauh melebihi kaum perempuan di Indonesia degan perbandingan 62,9 persen dan 4,8 persen.
Terlepas dari perbandingan antara data dan fakta yang terjadi seperti uraian di atas, tampaknya cenderung sulit menghilangkan kebiasaan merokok di Indonesia. Telah terjadi anomali dalam hal konsumsi dan pemerintah Indonesia belum bisa merekam konsumsi masyarakat secara holistik.
Baca juga: Mau Berhenti Merokok? Ikuti 9 Tips Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, beberapa waktu lalu menyinggung peserta BPJS Kesehatan yang sering menunggak iuran bulanan. Menurutnya, mayoritas penunggak mampu membeli rokok Rp 150.000 per bulan, tapi mengaku keberatan bayar iuran Rp 42.000 per bulan.
Baca juga: Mau Paru-Paru Bersih Setelah Berhenti Merokok? Ikuti 5 Kiat Ini Yuk
Data Global Adult Tobbaco Survey (GATS) 2021 menambahkan informasi yang menarik, yakni jumlah rata-rata uang yang digunakan masyarakat untuk membeli rokok setiap bulannya mencapai Rp 382.091,72.
Dikutip dari Statista, pada 2021, sekitar 29 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah perokok. Meskipun pemerintah telah memperkenalkan kenaikan pajak sejak 2020, Indonesia tetap memiliki tingkat merokok yang tinggi.
Memang dalam hasil GATS 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan jumlah perokok dewasa di Indonesia mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meskipun prevalensi merokok di Indonesia mengalami penurunan dari 1,8 persen menjadi 1,6 persen.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rokok dalam negeri mencapai angka rata-rata Rp85.630 per kapita per bulan pada September 2022, yakni menanjak 4,2 persen dari nilai Rp82.183 per kapita per bulan pada Maret 2022.
Jika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita, konsumsi rokok ini akan lebih mengejutkan lagi karena merupakan terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi. Yaitu, di angka pengeluaran per kapita 12,2 persen di antara kelompok makanan.
Berdasarkan lokasi, rata-rata pengeluaran per kapita rokok per bulan di desa justru lebih tinggi, yakni senilai Rp88.842 ketimbang di kota yang senilai Rp83.282.
Fakta di atas memang menarik karena didukung pula oleh hasil sejumlah riset yang di antaranya mencoba menganalisisnya berdasarkan pengaruh faktor sosial ekonomi (jenis kelamin dan usia), pendapatan, dan harga rokok terhadap konsumsi rokok di Indonesia.
Studi Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi, Pendapatan, dan Harga Rokok Terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia dari Annisa Marianti, Budi Prayitno, 2020 menunjukkkan konsumsi merokok di Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang beragam, salah satunya faktor sosial kultural, meliputi kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan.
Oleh sebab itulah, konsumsi rokok dipandang berbeda dengan konsumsi pada umumnya. Konsumsi rokok dipandang berbeda dengan konsumsi produk pada umumnya karena adanya aspek-aspek sosial dan budaya yang terkait erat dengan kebiasaan merokok.
Misalnya, merokok dapat dianggap sebagai tindakan yang mencerminkan status sosial, ketangguhan, atau kebebasan individu, yang secara langsung mempengaruhi perilaku konsumsi rokok di masyarakat.
Sementara pengeluaran konsumsi dimaknai jika penghasilan meningkat, konsumsi akan turut meningkat, dan begitu pun sebaliknya, tetapi kondisi tersebut tidak berlaku pada konsumsi merokok.
Apa kesimpulannya? Ternyata, faktor sosial ekonomi (jenis kelamin dan usia), pendapatan, dan harga rokok tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi rokok di Indonesia.
Lalu, apa sebenarnya yang memunculkan fenomena ini, khususnya di Indonesia? Kita tentu sudah sangat mengenal dengan istilah akulturasi, yakni sebuah peristiwa di mana dua budaya terpadu menjadi satu.
Di era globalisasi saat ini, budaya tradisional yang terpadu dengan budaya modern itu salah satunya ialah kebiasaan merokok yang berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia.
Merokok dipandang sebagai satu kebiasaan, merupakan bagian dari kehidupan yang sangat umum, meluas di tengah masyarakat Indonesia, dan menilainya sebagai kebutuhan sehari-hari yang mesti dipenuhi. Hal ini yang membuat WHO (2016) bahkan menyatakan Indonesia menduduki posisi ketiga dunia dalam hal konsumsi rokok.
Hal yang dikhawatirkan, usia perokok pemula ternyata ditemukan kian lama kian muda, di mana nyaris 80 persen perokok mulai mengonsumsinya saat mereka berusia kurang dari 19 tahun.
Dalam hal jenis kelamin, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2018) menyatakan, jumlah perokok laki-laki jauh melebihi kaum perempuan di Indonesia degan perbandingan 62,9 persen dan 4,8 persen.
Terlepas dari perbandingan antara data dan fakta yang terjadi seperti uraian di atas, tampaknya cenderung sulit menghilangkan kebiasaan merokok di Indonesia. Telah terjadi anomali dalam hal konsumsi dan pemerintah Indonesia belum bisa merekam konsumsi masyarakat secara holistik.
Baca juga: Mau Berhenti Merokok? Ikuti 9 Tips Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.