Ilustrasi sampah makanan menumpuk (Sumber gambar: Unsplash/Jas Min)

Hidup Tak Lagi Sama Ketika Indonesia Hasilkan 48 Juta Ton Sampah Makanan Per Tahun

28 July 2023   |   13:39 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Genhype, anggapan limbah makanan termasuk sampah organik yang mudah terurai dan tidak memberikan dampak negatif tampaknya perlu direvisi. Nyatanya, sampah tetaplah sampah yang jika tak dikendalikan bisa membawa dampak buruk.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat pada kurun waktu 2000-2019, Indonesia rata-rata telah menghasilkan 23 juta ton sampai 48 juta ton sampah makanan per tahun.

Jumlah makanan tersebut seharusnya bisa menghidupi 61 juta orang sampai 125 juta orang di Indonesia. Angka ini setara dengan 29 persen sampai 47 persen populasi di Indonesia. Hampir separuhnya loh Genhype. Jika dihitung secara ekonomi, efek food loss and waste ini menghasilkan kerugian sekitar Rp551 triliun atau US$36,6 miliar. Angka ini tentu sangat besar dan tidak boleh lebih besar lagi.

Baca juga: Yuk Biasakan 8 Kiat Ini untuk Mengurangi Sampah Makanan

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan bahwa berdasarkan mata rantai produksi pangan, poin terbesar yang berpengaruh pada masalah limbah pangan ini terjadi di tahap konsumsi.

Masalah sampah makanan memang pelik. Data yang terekam sejak 2000 tentu bukan isapan jempol belaka. Hingga pada 2019 angkanya masih cukup tinggi. Bahkan, jika dilihat pada data terbaru 2022 dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, peta masalahnya tak jauh berubah.

Mayoritas sampah di Indonesia atau setara 41,69 persen berasal dari sisa makanan. Sebanyak 18,22 persen lainnya sampah plastik, 12,37 persen lain kayu dan ranting. Adapun sisanya terbaru ke dalam beberapa kategori lain.

Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara versi United Nations Environment Programme atau UNEP pada 2021.

“Dalam menghadapi isu food loss and waste, Indonesia telah mengidentifikasi beberapa kebijakan, antara lain dengan mengubah perilaku, peningkatan support system, penguatan regulasi, optimalisasi pendanaan, pemanfaatan food loss and waste, pengembangan kajian, serta pendataan food loss and waste,” ujarnya dalam dikutip dari laman Badan Pangan, Jumat (28/7).

 

Ilustrasi sampah makanan menumpuk (Sumber gambar: Unsplash/Paul Schellekens)

Ilustrasi sampah makanan menumpuk (Sumber gambar: Unsplash/Paul Schellekens)


Perubahan Perilaku

Upaya mengubah perilaku mesti mulai digalakkan. Timbunan sampah makanan yang terus menumpuk tentu adalah preseden buruk untuk Indonesia ke depan. Lengah sedikit, efek domino bisa saja terjadi.

Mengadopsi gaya hidup baru, seperti slow living yang belakangan viral bisa jadi salah satu upaya diri berkontribusi mengatasi masalah ini. Dengan slow living, setiap orang jadi lebih bisa menahan diri untuk membuang-buang hal yang tak perlu dilakukan sedari awal.

Prinsip slow living adalah menerapkan kehidupan yang lebih pelan, lebih seimbang, dan lebih menikmati apa yang seharusnya dinikmati sesuai porsinya. Apalagi jika berkaca pada sejarah, slow living juga memiliki akar yang kuat pada industri makanan.

Carlo Petrini aktivis gerakan ini yang memulai konsep ini sejak 1980-an mengawalinya dengan kampanye slow food movement. Gerakan ini menentang budaya fast food yang makin bertumbuh cepat waktu itu.

Gagasan ini juga ingin mengedepankan makanan tradisional dan kultur gastronomi yang jauh lebih sehat. Dengan gaya hidup ini, seseorang bisa lebih bijak dalam mengonsumsi makanan apa pun, tidak membuang-buang makanan, dan tidak menambah tumpukan limbah makanan di Indonesia.

Ide tentang gaya hidup yang lebih bijak ini rupanya masih relevan terus menerus sejak pertama kali digagas lebih dari 40 tahun lalu. Carlo dan gerakan kampanye gaya hidup ini masih terus menginginkan sebuah dunia di mana semuanya berkontribusi secara bijak dan adil.

Dia ingin orang yang menikmati suatu makanan itu akan berdampak baik kepada dirinya, kepada mereka yang menanam dan memasak, serta untuk bumi. Pendekapan ini berprinsip pada hubungan antara kata baik, bersih, dan adil.

Jika kita mengonsumsi makanan dan hanya baik untuk kita saja, tampaknya ada masalah besar. Tanpa disadari, subjek kedua dan ketiga, yakni mereka yang menanam dan planet terluka. Sekarang kita sedang berada di dunia di mana sampah makanan telah menumpuk tajam. Planet sedang tersakiti dan bisa jadi mereka yang menanam pun demikian.

Baca juga: Kiat Praktis Mengurangi Food Waste ala Chef Ragil

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Kenapa Konsumsi Rokok Tetap Meningkat Meskipun Dampaknya Mengerikan?

BERIKUTNYA

Punya Pesona Alam & Budaya yang Wah, 5 Desa Wisata Indah Ini Wajib Dikunjungi

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: