Koalisi Seni Laporkan 33 Pelanggaran Kebebasan Berkesenian sepanjang 2022, Terbanyak di Sektor Musik
14 July 2023 |
17:00 WIB
Situasi kebebasan berkesenian di Indonesia sepertinya masih jauh dari kata ideal. Sebab, para pelaku seni hingga saat ini masih belum sepenuhnya merdeka dalam melakukan praktik kesenian dan berekspresi dengan berbagi medium karya.
Dalam beberapa kasus bahkan beberapa seniman dihadapkan pada pelarangan kegiatan seni dan intimidasi. Hal itu terungkap dalam hasil riset yang dilakukan Koalisi Seni bertajuk Setop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
Total pelanggaran bahkan mencapai 33 kasus, yang terbanyak terjadi pada bidang seni musik (21 peristiwa), diikuti tari (11 peristiwa), teater (5 peristiwa), seni rupa (4 peristiwa), film (2 peristiwa), dan sastra (1 peristiwa). Satu peristiwa dapat terjadi pada lebih dari satu bidang seni.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay mengatakan, tingginya angka pelanggaran pada bidang seni musik diduga terjadi karena antusiasme acara musik meningkat usai pandemi berakhir. Namun di tengah tingginya antusiasme acara seni luring ini, justru 12 peristiwa pelarangan seni dilatarbelakangi stigma.
“Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” papar Hafez di Jakarta, Jumat, (14/7/23).
Sementara itu, Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya atau akrab disapa Ninin menjelaskan dari 12 peristiwa tersebut, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun, 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar dan atau melibatkan kelompok LGBTIQ.
Menurut Koalisi Seni, dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban, 7 di antaranya bukan seniman. Ketujuh korban itu ada yang berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian.
Ninin menjelaskan, dalam metode pencatatan ini, korban bisa berupa individu atau kelompok sehingga satu satuan hitung korban tidak selalu mencerminkan satu orang, tapi bisa jadi satu kelompok individu. Namun, hampir tidak ada penindakan terhadap pelaku.
"Dari 45 pelaku, hanya dua yang ditindak. Keduanya adalah individu pelaku kekerasan seksual. Sementara pelaku lain yang berasal dari pemerintah, organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak,"imbuhnya.
Menurut Ninin, stigma seni salah satunya terjadi di Provinsi Sumatra Selatan. Kebijakan daerah di Sumsel mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix. Alasannya penampilan tersebut rentan dijadikan sebagai tempat tindak penyalahgunaan napza yang berujung keributan.
Adapun, salah satu peraturan daerah di Sumsel yang mengatur soal itu adalah Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00 WIB.
"Perkembangan kebijakan ini menunjukkan bahwa stigma terhadap seni sudah berlangsung secara sistemik, bahkan telah dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis dan berpotensi mengkriminalisasi seni itu sendiri," imbuhnya.
Tak hanya itu, mereka juga mencatat selain karena stigma, Covid-19 juga masih menjadi dalih pelarangan seni. Pada 2022, misalnya, pelarangan itu tak ayal membuat 10 korban berupa individu dan kelompok gagal mendapat hak atas dukungan, jalur distribusi, dan remunerasi, tanpa mendapat alternatif pemenuhan hak dengan cara lainnya.
"Korban ini, sebagian besar, bermata pencaharian utama sebagai seniman, sehingga larangan untuk berkesenian ini menyebabkan hilangnya hak seniman untuk menafkahi dirinya," jelas Ninin.
Koalisi Seni sejak 2020 meluncurkan laporan pemantauan kebebasan berkesenian secara berkala. Dari pemantauan media, tercatat ada 107 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada 2010-2021 dari berbagai disiplin seni seperti tari, musik, teater, dan film.
Adapun laporan 2021 menitikberatkan pada temuan Covid-19 sebagai dalih baru opresi. Angka pelanggaran kebebasan berkesenian ini bisa diakses publik di situs kebebasanberkesenian.id. Selain menjadi basis data peristiwa pelanggaran, situs tersebut juga berfungsi sebagai layanan aduan kebebasan berkesenian.
Baca juga: Koalisi Seni Berkolaborasi Mengajak Melek Proses Berkesenian
Editor: Dika Irawan
Dalam beberapa kasus bahkan beberapa seniman dihadapkan pada pelarangan kegiatan seni dan intimidasi. Hal itu terungkap dalam hasil riset yang dilakukan Koalisi Seni bertajuk Setop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
Total pelanggaran bahkan mencapai 33 kasus, yang terbanyak terjadi pada bidang seni musik (21 peristiwa), diikuti tari (11 peristiwa), teater (5 peristiwa), seni rupa (4 peristiwa), film (2 peristiwa), dan sastra (1 peristiwa). Satu peristiwa dapat terjadi pada lebih dari satu bidang seni.
Tangkapan layar laporan Setop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022.
“Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” papar Hafez di Jakarta, Jumat, (14/7/23).
Sementara itu, Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya atau akrab disapa Ninin menjelaskan dari 12 peristiwa tersebut, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun, 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar dan atau melibatkan kelompok LGBTIQ.
Menurut Koalisi Seni, dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban, 7 di antaranya bukan seniman. Ketujuh korban itu ada yang berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian.
Ninin menjelaskan, dalam metode pencatatan ini, korban bisa berupa individu atau kelompok sehingga satu satuan hitung korban tidak selalu mencerminkan satu orang, tapi bisa jadi satu kelompok individu. Namun, hampir tidak ada penindakan terhadap pelaku.
"Dari 45 pelaku, hanya dua yang ditindak. Keduanya adalah individu pelaku kekerasan seksual. Sementara pelaku lain yang berasal dari pemerintah, organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak,"imbuhnya.
Berlangsung Sistemik
Menurut Ninin, stigma seni salah satunya terjadi di Provinsi Sumatra Selatan. Kebijakan daerah di Sumsel mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix. Alasannya penampilan tersebut rentan dijadikan sebagai tempat tindak penyalahgunaan napza yang berujung keributan.Adapun, salah satu peraturan daerah di Sumsel yang mengatur soal itu adalah Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00 WIB.
"Perkembangan kebijakan ini menunjukkan bahwa stigma terhadap seni sudah berlangsung secara sistemik, bahkan telah dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis dan berpotensi mengkriminalisasi seni itu sendiri," imbuhnya.
Tak hanya itu, mereka juga mencatat selain karena stigma, Covid-19 juga masih menjadi dalih pelarangan seni. Pada 2022, misalnya, pelarangan itu tak ayal membuat 10 korban berupa individu dan kelompok gagal mendapat hak atas dukungan, jalur distribusi, dan remunerasi, tanpa mendapat alternatif pemenuhan hak dengan cara lainnya.
"Korban ini, sebagian besar, bermata pencaharian utama sebagai seniman, sehingga larangan untuk berkesenian ini menyebabkan hilangnya hak seniman untuk menafkahi dirinya," jelas Ninin.
Koalisi Seni sejak 2020 meluncurkan laporan pemantauan kebebasan berkesenian secara berkala. Dari pemantauan media, tercatat ada 107 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada 2010-2021 dari berbagai disiplin seni seperti tari, musik, teater, dan film.
Adapun laporan 2021 menitikberatkan pada temuan Covid-19 sebagai dalih baru opresi. Angka pelanggaran kebebasan berkesenian ini bisa diakses publik di situs kebebasanberkesenian.id. Selain menjadi basis data peristiwa pelanggaran, situs tersebut juga berfungsi sebagai layanan aduan kebebasan berkesenian.
Baca juga: Koalisi Seni Berkolaborasi Mengajak Melek Proses Berkesenian
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.