Heboh Van Gogh Alive The Experience di Jakarta, Begini Sejarah Pameran Imersif di Kancah Seni Rupa
13 July 2023 |
06:52 WIB
Dulu, untuk menikmati lukisan-lukisan maestro Vincent Willem van Gogh, kalian mungkin harus pergi ke Museum Van Gogh di Amsterdam, Belanda, atau Galeri Nasional London. Namun, dengan kecanggihan teknologi, kini kalian bisa menikmati karya-karya sang maestro di pameran multisensori Van Gogh Alive yang digelat di Mal Taman Anggrek, Jakarta, hingga 8 Oktober 2023.
Pameran multisensori Van Gogh Alive The Experience menampilkan 3.000 karya pelukis Van Gogh dengan konsep visual dan musik skoring menarik. Pameran ini menghadirkan ribuan mahakarya Van Gogh yang dia buat sepanjang hidupnya mulai dari di Belanda, Paris, Arles, Saint Remy, hingga hari-hari terakhirnya di Auvers-sur-Oise.
Sejumlah karyanya yang menjadi sorotan dalam pameran ini di antaranya Vincent's Bedroom in Arles (1889), The Red Vineyard (1888), Cafe Terrace at Night (1888), Starry Night Over The Rhone (1888), Van Gogh's Chair (1888), Irises (1889), Sunflowers (1889), dan karyanya yang sangat populer yakni The Starry Night (1889).
Baca juga: Cek 5 Fakta Menarik Pameran Multisensori Van Gogh Alive The Experience di Jakarta
Eksibisi ini menggunakan teknologi Sensory4 yang dikembangkan oleh perusahaan tekonologi yang berbasis di Australia, Grande Experience. Sistem ini menggabungkan grafis gerak multi saluran, suara skoring dengan kualitas bioskop, dan 40 proyektor dengan kualitas gambar yang tajam untuk menghadirkan sensasi multilayar menarik.
Dengan teknologi tersebut, kalian akan merasakan sebuah ruangan pameran visual yang dinamis sekaligus informatif, dengan gambar-gambar lukisan Van Gogh yang bergerak silih berganti melalui kumpulan proyektor, diiringi suara surround digital sehingga menciptakan pengalaman imersif yang memukau.
Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pameran ini rupanya cukup besar. Tercatat sebanyak 50.000 tiket prajual (presale) pameran multisensori Van Gogh Alive The Experience terjual yang penjualannya dibuka sejak Juni 2023 lalu.
Dibuka di salah satu mal besar di Jakarta dan bertepatan dengan momentum liburan anak sekolah, pameran ini pun ditargetkan akan mendatangkan sedikitnya 300.000 pengunjung selama gelarannya kurang lebih tiga bulan.
Kendati demikian, pameran imersif yang memadukan karya seni dengan kecanggihan teknologi visual semacam ini sejatinya sudah berkembang sejak lama. Sebelumnya, di Indonesia juga telah dihelat sejumlah pameran dengan konsep serupa yang menampilkan karya-karya maestro lukis Tanah Air seperti Affandi yang digelar di Galeri Nasional pada 2020 lalu, dan pameran pelukis S. Sudjojono di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, pada 2022 lalu.
Menurut catatan dalam jurnal bertajuk Tantangan dan Strategi Museum Seni di Tengah Pandemi Covid 19: Kajian Pameran Imersif Affandi di Galeri Nasional Indonesia, disebutkan bahwa kehadiran teknologi new media atau media baru dalam bidang komunikasi turut berpengaruh besar terhadap eksplorasi material, media dan teknik dalam penciptaan karya seni rupa.
Dalam perkembangan berikutnya, penggunaan istilah new media art menjadi semakin populer dalam konteks penciptaan karya seni rupa berbasis teknologi digital. New media art di Indonesia sesungguhnya sudah mulai dikenal sejak 1990-an, melalui peran perupa kontemporer salah satunya Krisna Murti.
Karya-karya Krisna Murti pada era 1990-an sudah memasukkan unsur new media art, terutama video art melalui karya-karya multimedia. Memasuki era 2000-an, perkembangan seni rupa berbasis new media art kian tumbuh subur, ditandai dengan maraknya kemunculan perupa-perupa muda dan komunitas seni yang menekuni praktik new media art.
Berbagai pameran, baik kelompok ataupun tunggal, serta seminar dan festival juga menjadi bagian penting dalam perkembangan new media art di kancah seni rupa kontemporer Indonesia.
Seiring perubahan zaman di era teknologi informasi ini, teknik presentasi karya new media art mengalami perkembangan yang radikal. Pada tahun 2013, di Museum of Modern Art (MoMA) New York, Hannes Koch and Florian Ortkrass memamerkan instalasi imersifnya, Rain Room, berupa ruang dipenuhi tetesan hujan yang akan berhenti jika pengunjung berjalan di bawahnya.
Seketika karya-karya new media art yang menawarkan pengalaman ruang dan sensibilitas indrawi seperti ini kemudian menjadi arus baru yang mendunia. Perkembangan terakhirnya, sejak 2015, berkembang pola presentasi karya-karya old master seperti Leonardo Da Vinci, Vincent van Gogh, Rene Margritte, dan lainnya, yang memadukan proyeksi gigantik animasi dua dimensional dengan unsur bunyi dan tata cahaya yang terpetakan menyesuaikan dengan bentuk ruangan pameran (video mapping).
Selain itu, digunakan pula teknologi pendukung lain seperti augmented reality yang memungkinkan pengunjung untuk berasumsi dan berinteraksi dengan realita fisik menggunakan media yang berbeda untuk memperkaya sensibiltas inderawinya, misalnya melalui penggunaan smartphone, earphone, sensor, smart camera, dan lain-lain.
Video Mapping
Salah satu teknologi yang digunakan yakni video mapping atau teknik proyeksi yang digunakan untuk mengubah objek, yang seringkali berbentuk tidak beraturan, menjadi permukaan tampilan untuk proyeksi video. Objek-objek ini dapat berupa lanskap industri yang kompleks, seperti bangunan, objek dalam ruangan kecil, atau panggung teater.
Melalui penggunaan perangkat lunak khusus, cahaya yang diproyeksikan dapat dibentuk presisi sesuai dengan permukaan tampilan. Proyeksi gambar tersebut dimaksudkan untuk memperkaya tampilan visual berupa efek warna, tekstur, dimensi tambahan, ilusi optik, dan kesan gerak dari elemen-elemen statis.
Penggunaan proyeksi video mapping pada permukaan yang tidak rata berawal dari pembukaan wahana Haunted Mansion tahun 1969 di Disneyland. Perjalanan gelap ini menampilkan sejumlah ilusi optik yang menarik, termasuk kepala tanpa tubuh, Madame Leota, dan 5 patung yang menyanyikan lagu tema perjalanan, Grim Grinning Ghosts.
Tampilan visual ini dicapai dengan merekam bidikan kepala para penyanyi (dengan film 16 mm) dan kemudian memproyeksikan film ini ke patung wajah mereka.
Perkembangan berikutnya muncul pada tahun 1980 melalui instalasi film imersif Displacements oleh Michael Naimark. Dalam seni instalasi ini sebuah ruang tamu dengan dua orang penampil difilmkan menggunakan kamera yang berputar, kemudian kamera tersebut diganti dengan proyektor yang menghasilkan video mapping berputar.
Baca juga: Pameran Walking Through a Songline di Museum Kesejarahan Jakarta: Menyelami Kebudayaan Negeri Kanguru
Seiring waktu, video mapping kemudian mulai mendapatkan daya tariknya ketika mulai memasuki dunia akademis pada tahun 1998 melalui karya Spatial Augmented Reality di UNC Chapel Hill yang dikerjakan oleh Ramesh Raskar, Greg Welch, Henry Fuchs dan Deepak Bandyopadhyay.
Proyek ini dimulai dengan makalah The Office of the Future yang membayangkan dunia di mana proyektor dapat menutupi permukaan apapun. Alih-alih menatap monitor komputer kecil, karyawan dapat mengalami augmented reality langsung dari meja mereka seperti konferensi video dengan versi ukuran sebenarnya dari lawan bicaranya.
Editor: Fajar Sidik
Pameran multisensori Van Gogh Alive The Experience menampilkan 3.000 karya pelukis Van Gogh dengan konsep visual dan musik skoring menarik. Pameran ini menghadirkan ribuan mahakarya Van Gogh yang dia buat sepanjang hidupnya mulai dari di Belanda, Paris, Arles, Saint Remy, hingga hari-hari terakhirnya di Auvers-sur-Oise.
Sejumlah karyanya yang menjadi sorotan dalam pameran ini di antaranya Vincent's Bedroom in Arles (1889), The Red Vineyard (1888), Cafe Terrace at Night (1888), Starry Night Over The Rhone (1888), Van Gogh's Chair (1888), Irises (1889), Sunflowers (1889), dan karyanya yang sangat populer yakni The Starry Night (1889).
Baca juga: Cek 5 Fakta Menarik Pameran Multisensori Van Gogh Alive The Experience di Jakarta
Eksibisi ini menggunakan teknologi Sensory4 yang dikembangkan oleh perusahaan tekonologi yang berbasis di Australia, Grande Experience. Sistem ini menggabungkan grafis gerak multi saluran, suara skoring dengan kualitas bioskop, dan 40 proyektor dengan kualitas gambar yang tajam untuk menghadirkan sensasi multilayar menarik.
Dengan teknologi tersebut, kalian akan merasakan sebuah ruangan pameran visual yang dinamis sekaligus informatif, dengan gambar-gambar lukisan Van Gogh yang bergerak silih berganti melalui kumpulan proyektor, diiringi suara surround digital sehingga menciptakan pengalaman imersif yang memukau.
Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pameran ini rupanya cukup besar. Tercatat sebanyak 50.000 tiket prajual (presale) pameran multisensori Van Gogh Alive The Experience terjual yang penjualannya dibuka sejak Juni 2023 lalu.
Dibuka di salah satu mal besar di Jakarta dan bertepatan dengan momentum liburan anak sekolah, pameran ini pun ditargetkan akan mendatangkan sedikitnya 300.000 pengunjung selama gelarannya kurang lebih tiga bulan.
Kendati demikian, pameran imersif yang memadukan karya seni dengan kecanggihan teknologi visual semacam ini sejatinya sudah berkembang sejak lama. Sebelumnya, di Indonesia juga telah dihelat sejumlah pameran dengan konsep serupa yang menampilkan karya-karya maestro lukis Tanah Air seperti Affandi yang digelar di Galeri Nasional pada 2020 lalu, dan pameran pelukis S. Sudjojono di Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, pada 2022 lalu.
Menurut catatan dalam jurnal bertajuk Tantangan dan Strategi Museum Seni di Tengah Pandemi Covid 19: Kajian Pameran Imersif Affandi di Galeri Nasional Indonesia, disebutkan bahwa kehadiran teknologi new media atau media baru dalam bidang komunikasi turut berpengaruh besar terhadap eksplorasi material, media dan teknik dalam penciptaan karya seni rupa.
Dalam perkembangan berikutnya, penggunaan istilah new media art menjadi semakin populer dalam konteks penciptaan karya seni rupa berbasis teknologi digital. New media art di Indonesia sesungguhnya sudah mulai dikenal sejak 1990-an, melalui peran perupa kontemporer salah satunya Krisna Murti.
Karya-karya Krisna Murti pada era 1990-an sudah memasukkan unsur new media art, terutama video art melalui karya-karya multimedia. Memasuki era 2000-an, perkembangan seni rupa berbasis new media art kian tumbuh subur, ditandai dengan maraknya kemunculan perupa-perupa muda dan komunitas seni yang menekuni praktik new media art.
Berbagai pameran, baik kelompok ataupun tunggal, serta seminar dan festival juga menjadi bagian penting dalam perkembangan new media art di kancah seni rupa kontemporer Indonesia.
Seiring perubahan zaman di era teknologi informasi ini, teknik presentasi karya new media art mengalami perkembangan yang radikal. Pada tahun 2013, di Museum of Modern Art (MoMA) New York, Hannes Koch and Florian Ortkrass memamerkan instalasi imersifnya, Rain Room, berupa ruang dipenuhi tetesan hujan yang akan berhenti jika pengunjung berjalan di bawahnya.
Seketika karya-karya new media art yang menawarkan pengalaman ruang dan sensibilitas indrawi seperti ini kemudian menjadi arus baru yang mendunia. Perkembangan terakhirnya, sejak 2015, berkembang pola presentasi karya-karya old master seperti Leonardo Da Vinci, Vincent van Gogh, Rene Margritte, dan lainnya, yang memadukan proyeksi gigantik animasi dua dimensional dengan unsur bunyi dan tata cahaya yang terpetakan menyesuaikan dengan bentuk ruangan pameran (video mapping).
Selain itu, digunakan pula teknologi pendukung lain seperti augmented reality yang memungkinkan pengunjung untuk berasumsi dan berinteraksi dengan realita fisik menggunakan media yang berbeda untuk memperkaya sensibiltas inderawinya, misalnya melalui penggunaan smartphone, earphone, sensor, smart camera, dan lain-lain.
Video Mapping
Salah satu teknologi yang digunakan yakni video mapping atau teknik proyeksi yang digunakan untuk mengubah objek, yang seringkali berbentuk tidak beraturan, menjadi permukaan tampilan untuk proyeksi video. Objek-objek ini dapat berupa lanskap industri yang kompleks, seperti bangunan, objek dalam ruangan kecil, atau panggung teater.
Melalui penggunaan perangkat lunak khusus, cahaya yang diproyeksikan dapat dibentuk presisi sesuai dengan permukaan tampilan. Proyeksi gambar tersebut dimaksudkan untuk memperkaya tampilan visual berupa efek warna, tekstur, dimensi tambahan, ilusi optik, dan kesan gerak dari elemen-elemen statis.
Penggunaan proyeksi video mapping pada permukaan yang tidak rata berawal dari pembukaan wahana Haunted Mansion tahun 1969 di Disneyland. Perjalanan gelap ini menampilkan sejumlah ilusi optik yang menarik, termasuk kepala tanpa tubuh, Madame Leota, dan 5 patung yang menyanyikan lagu tema perjalanan, Grim Grinning Ghosts.
Tampilan visual ini dicapai dengan merekam bidikan kepala para penyanyi (dengan film 16 mm) dan kemudian memproyeksikan film ini ke patung wajah mereka.
Perkembangan berikutnya muncul pada tahun 1980 melalui instalasi film imersif Displacements oleh Michael Naimark. Dalam seni instalasi ini sebuah ruang tamu dengan dua orang penampil difilmkan menggunakan kamera yang berputar, kemudian kamera tersebut diganti dengan proyektor yang menghasilkan video mapping berputar.
Baca juga: Pameran Walking Through a Songline di Museum Kesejarahan Jakarta: Menyelami Kebudayaan Negeri Kanguru
Seiring waktu, video mapping kemudian mulai mendapatkan daya tariknya ketika mulai memasuki dunia akademis pada tahun 1998 melalui karya Spatial Augmented Reality di UNC Chapel Hill yang dikerjakan oleh Ramesh Raskar, Greg Welch, Henry Fuchs dan Deepak Bandyopadhyay.
Proyek ini dimulai dengan makalah The Office of the Future yang membayangkan dunia di mana proyektor dapat menutupi permukaan apapun. Alih-alih menatap monitor komputer kecil, karyawan dapat mengalami augmented reality langsung dari meja mereka seperti konferensi video dengan versi ukuran sebenarnya dari lawan bicaranya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.