Kegiatan wisuda saat ini tidak hanya terbatas di tingkat perguruan tinggi, tapi mulai taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA) (Sumber gambar: PxHere)

Hypereport: Membedah Urgensi Seremoni Wisuda di Tingkat Sekolah

08 July 2023   |   17:53 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Acara wisuda di tingkat sekolah menjadi perdebatan dalam beberapa pekan terakhir. Kegiatan syukuran untuk merayakan kelulusan peserta didik ini dikeluhkan sejumlah orang tua lantaran biaya yang dikeluarkan cukup besar dan dinilai tidak memiliki urgensi dalam dunia pendidikan. 

Seperti yang diutarakan Anggi, salah satu orang tua murid yang baru saja mengikuti acara wisuda putranya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah Bogor, Jawa Barat. Dia mengaku keberatan dengan upacara seremonial tersebut karena harus mengeluarkan biaya cukup besar dan terbilang dadakan. “Belum tentu semua keluarga punya dana cadangan,” ungkapnya kepada Hypeabis.id, Jumat (7/7/2023).

Baca juga Hypereport terkait: 
Hypereport: Sisi Lain Wisuda Tingkat Sekolah
 

Anggi berpendapat, apabila sekolah ingin mengadakan acara wisuda, selaiknya informasi acara tersebut diberitahukan sejak awal pendidikan. Dengan demikian, para orang tua murid bisa menabung. 

Dia juga menilai acara wisuda tidak terlalu penting dilakukan pada siswa setingkat SMP. Pasalnya, anak-anak tersebut harus melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Ketimbang untuk acara seremonial, biaya untuk wisuda seharusnya bisa dipakai untuk persiapan siswa masuk ke tahapan pendidikan selanjutnya itu.

“Wisuda itu mungkin boleh diadakan di tingkat pendidikan setelah tingkat pendidikan wajib dari pemerintah, setelah SMK atau SMA,” saran Anggi.


Sejarah dan Perkembangan Wisuda 

Menilik sejarahnya, American Council on Education mencatat, tradisi wisuda berkembang sejak abad ke-12 di sejumlah universitas Eropa seperti Oxford. Entah bagaimana muasalnya, upacara kelulusan telah digelar dengan tradisi yang melekat seperti jubah dan toga. Pada abad pertengahan itu, gereja memang berpengaruh besar pada dunia pendidikan, termasuk bagaimana para kaum intelektual berpakaian.

Sebagian besar profesor kala itu merupakan pendeta yang terbiasa mengenakan jubah panjang dan tudung. Selain sebagai simbol kesederhanaan, pakaian ini membuat mereka tetap hangat di aula universitas yang dingin. Alhasil, jubah tersebut juga dipakai sebagai pakaian dalam upacara kelulusan. 

Seiring waktu, para sarjana beralih kepada pakaian yang lebih konvensional. Tudung yang dipakai pun berubah menjadi topi berbentuk persegi dengan bagian atas yang datar sekitar 1700an. Sementara pada 1895, topi dibuat seragam berwarna hitam, dengan sebuah tali panjang atau rumbai yang dikaitkan di tengahnya.  

Tidak hanya pakaian, beberapa tradisi wisuda pun tercipta tidak hanya di Eropa, tapi juga belahan dunia lainnya, seperti membawa gada oleh para pejabat tinggi kampus, pidato, adanya ijazah yang semula dibuat dari kulit domba dan kini dicetak pada sebuah kertas, hingga melemparkan topi ke udara. 

Baca juga: Hypereport: Ketika Pendidikan dan Keahlian Bukan Jaminan Bagi Generasi Muda Sukses di Dunia Kerja

Namun yang pasti, wisuda dianggap sebagai upacara untuk mengapresiasi para mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan program studinya. 

Kendati demikian, wisuda yang sejatinya kental dengan masa akhir menjadi mahasiswa, seiring waktu juga diterapkan pada satuan pendidikan di bawahnya. Mulai dari pendidikan anak usia dini hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Tidak hanya di benua Eropa maupun Amerika Serikat, di Indonesia pun dilakukan kegiatan serupa. 

Di luar universitas, upacara wisuda menurut Pemerhati Pendidikan Andreas Tambah, dimulai dari beberapa sekolah elite yang membuatnya sebagai seremonial akhir tahun. Kegiatan itu kemudian diikuti sejumlah sekolah sebagai ajang promosi. 

Dengan adanya media sosial, kegiatan ini semakin dikenal dan viral. Semakin banyak sekolah yang menerapkannya. Bahkan sekolah tertentu menyewa gedung mahal dan menggelar seremonial yang mewah. 

Di satu sisi orang tua menganggap wisuda sebagai ajang kenang-kenangan anaknya yang perlu diabadikan dan dijadikan cara untuk memotivasi mereka. Walaupun demikian, umumnya para orang tua juga sepakat tidak ada unsur edukasi. 

Di sisi lain, sebagian orang tua yang ekonominya kurang atau sedang tidak bagus, keberatan dengan upacara yang pastinya memerlukan biaya dengan ragam pernak perniknya itu. “Ada juga sekolah yang memaksakan untuk promosi dengan dana besar, gedung bagus, seragam bagus, sehingga ada biaya. Itu yang memberatkan orang tua,” tuturnya kepada Hypeabis.id.

Memang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan surat edaran Nomor 14 Tahun 2023 yang menegaskan kegiatan wisuda sekolah tidak wajib dilakukan dan tidak boleh memberatkan orang tua/wali murid. Kendati demikian, wisuda yang digelar walau tanpa paksaan ini bisa berdampak psikologis pada anak yang tidak mengikutinya.  

Andreas menyebut anak pasti akan bertanya-tanya ketika wajahnya tidak ada di foto kelulusan. “Ketika tidak ikut, menjadi situasi yang tidak mengenakkan untuk anak. Tidak bagus secara psikologis,” tegasnya.

Penggerak literasi itu mengimbau agar penyelenggara sekolah harus bijak. Jika keukeuh ingin menggelar wisuda di tingkat sekolah, perlu ada subsidi silang bagi orang tua yang secara ekonomi tidak mampu membayar kegiatan ini. 
 

(Sumber gambar: Unsplash/Mufid Majnun)

(Sumber gambar: Unsplash/Mufid Majnun)

Acara Apresiasi yang Bisa Disubsidi

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menyampaikan wisuda adalah bentuk apresiasi kepada peserta didik, orang tua/wali siswa, dan guru. Tradisi pelepasan atau syukuran ini kerap dikemas dengan kreasi seni atau ajang pertunjukan bakat dari para murid. Ada kebanggaan tersendiri dari para siswa yang tampil, begitu pula para orang tua dan guru yang telah mendidiknya.

Selain itu, lanjutnya, secara psikologis siswa juga punya hak untuk bahagia. Wisuda menjadi ekspresi mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan karena diberi kesempatan untuk menyelesaikan masa sekolahnya. “Ini kebutuhan psikologis. Setiap manusia punya hak berbahagia,” ucapnya. 

Pada dasarnya, sekolah mengakomodir syukuran tersebut dengan menggelar wisuda setelah Dinas Pendidikan mengeluarkan edaran adanya larangan perpisahan di luar sekolah yang kerap kali diwarnai aksi mengganggu lingkungan. Seperti corat-coret hingga konvoi. Beberapa acara perpisahan di luar sekolah pun memakan biaya besar. 

Akhirnya sekolah pun menyederhanakan kegiatan ini dengan cukup menggelar wisuda di sekolah saja, tentu dengan difasilitasi para orang tua siswa. Ya, ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk rangkaian acara hingga pernak-perniknya. Mulai dari buku tahunan, pentas bakat, hingga penyerahan ijazah. 

Pembiayaan sepenuhnya dibebankan kepada orang tua peserta didik. Pasalnya sekolah negeri, khususnya, tidak bisa mengeluarkan anggaran untuk kegiatan wisuda itu. “BOS, BOP tidak diperkenankan untuk acara wisuda . Karena tidak diperbolehkan, kalau kepala sekolah memaksakan memakai anggaran, itu termasuk penyalahgunaan anggaran,” jelas Heru.

Bagi orang tua yang tidak mampu secara finansial, memang tidak ada pemaksaan. Namun menurut Heru, para orang tua lain yang berkenan bisa bergotong royong dengan berdonasi agar semua peserta didik bisa ikut acara wisuda yang menjadi kenang-kenangan terakhir di sekolah. 

“Donasi diperbolehkan Permendikbud Nomor 75. Donasi menunjukkan adanya harmonisasi antara peserta didik yang orang tuanya mampu dan tidak mampu agar acara wisuda menjadi kenangan,” tuturnya.

Baca juga: Hypereport: Lika-Liku Menata Karier & Masa Depan

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah

SEBELUMNYA

5 Manfaat Mengunyah Permen Karet, Salah Satunya Efektif Mengurangi Stres

BERIKUTNYA

Anak Kereta, Simak Penyesuaian Jadwal KRL Malam Ini

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: