Perupa Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Menelisik Gestur Pandemi dalam Koleksi Karya Perupa Nindityo Adipurnomo

26 June 2023   |   19:46 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Sebuah instalasi seni dengan warna yang mencolok mencuri perhatian di ruang pamer D Gallerie Jakarta. Karya berukuran 107x123x10 sentimeter itu menampilkan deretan masker medis yang dicat warna-warni, tampak seperti palet warna pelangi merah, jingga, kuning, hijau, biru/nila, dan ungu.

Oleh sang perupa, Nindityo Adipurnomo, karya yang dibuat pada 2021 itu diberi judul Sound of Masker. Karya ini merupakan wujud ketertarikan sang seniman untuk mengamati perubahan gestur kehidupan sehari-hari yang terjadi akibat wabah pandemi, dimulai dari relasi personal masyarakat dengan masker.

Kala itu, perupa yang akrab disapa Nindit itu mulai resah dengan masker-masker bekas yang mulai berserakan di rumahnya. Aturan menjalani protokol kesehatan yang salah satunya memakai masker membuat tumpukan sampah masker pun tak terhindarkan lagi. Alih-alih menjadi sampah, dia justru tergerak untuk mengambil, mencuci, lalu membawa tumpukan masker itu ke studio kerjanya.

Baca juga: Rekam Gestur yang Terabaikan Kala Pandemi Ala Seniman Nindityo Adipurnomo

Dia mengamati bahwa masker-masker medis itu memiliki daya serap cairan sehingga menimbulkan gradasi warna-warni yang tak terduga. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk mewarnai masker-masker bekas itu, lalu menyusunnya hingga menjadi sebuah karya. Dari situ, pengamatannya pun berlanjut hingga membawanya pada projek pameran tunggal bertajuk Rhinolophus Sinicus.

Sebanyak 12 karya yang dipamerkan menjadi manifestasi personal Nindit dalam merekam kehidupan pandemi. Karya-karyanya ini mencoba menangkap gestur baru yang menandai dampak sosial dan politik dari pagebluk.
 

G

Sound Of Masker (2021), 107x123x10 cm, Nindityo Adipurnomo. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)


Selama proses penciptaan rangkaian karya ini, catatannya berkembang dan pembacaannya meluas, mulai dari gestur sederhana seperti memakai masker selama pandemi hingga perbincangan mengenai ketidaksetaraan gender, biopolitik, bencana iklim, pencemaran lingkungan, krisis kemanusiaan, peperangan, identitas, agama, hingga politik ruang.

"Yang saya dekati adalah gestur sosial politis dari akibat pandemi yang dialami oleh setiap individu. Itu semua menubuh dan terkadang tidak disadari," kata perupa berusia 61 tahun itu.

Hasil pengamatan itu misalnya tampak pada karya berjudul Leaks In the Jargon of Working From Home. Lukisan dengan teknik gouache dengan tinta, akrilik atau arang di atas kertas berdimensi 169 x 64 sentimeter ini menampilkan sosok pria dengan masker yang menutupi sebagian kepala dan mulutnya. Di depannya terdapat gambar seperti gumpalan virus, serta sedikit garis-garis simetris berwarna di bagian belakangnya.

Melalui lukisan ini, sang seniman mencoba merekam ketaatan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, mulai dari menjaga jarak, bekerja dari rumah, hingga memakai masker. Termasuk, fenomena panic buying yang kala itu terjadi karena orang-orang ramai-ramai membutuhkan pasokan masker hingga bahan makanan selama masa karantina.

Pada karyanya yang lain berjudul Pandemi dan Karangan Bunga Perempuan serta Pandemi dan Piala untuk Lelaki (Karangan Bunga Lelaki) yang sama-sama dibuat pada 2022, Nindit juga menuangkan rasa keprihatinannya terhadap persoalan maskulinitas. Dua seri lukisan itu sama-sama menggunakan teknik gouaches dengan menambahkan elemen masker pada bagian tengahnya.

Dia mengamati gerak-gerik dan kebiasaan pemakai masker menurut gender mereka. Dia menyimpulkan, pemakai masker laki-laki seringkali tidak patuh dalam menggunakan masker dibandingkan perempuan. Pergulatan pemikiran itupun membawanya pada refleksi yang lebih jauh terkait pengalaman ketubuhan maskulinitas dan feminitas yang dialami oleh setiap orang.
 

B

Pandemic and Women's Garland #1 (2022), 140x190x20 cm, Nindityo Adipurnomo. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Nindit juga menyinggung perubahan gestur ritual keagamaan yang terjadi dalam karya instalasinya bertajuk Lenguh Para Fascist (2022). Empat seri karya masing-masing berdimensi 70x70x80 cm itu menampilkan elemen toa yang dicat berwarna-warni, dan ditutupi dengan jahitan masker-masker pada bagian depannya.

Karyanya ini terinspirasi dari aturan protokol kesehatan mencapai puncaknya. Seiring dengan pergeseran sistem ekonomi ke arah aktivitas sehari-hari yang berjarak secara fisik, ritual keagamaan pun bergeser sedemikian rupa untuk mematuhi protokol kesehatan. Empat toa yang tersumbat masker itu mewakili enam jenis agama dan kepercayaan dan perubahan cara berkumpul umat beragama selama pandemi.

Sementara karya terbarunya yang melengkapi koleksi ini ialah berjudul Manusia Tunggal-Balada Emisi Manusia (2023) yang merupakan susunan istilah yang digunakan Nindit secara acak untuk merepresentasikan caranya mengekspresikan slip dan kegagalan modernisme dan era antroposentris.

Instalasi rotan ini merupakan hasil perenungannya yang lebih luas dan holistik mengenai kematian-kematian manusia, kematian metaforis era antroposentris, dan kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan atau sebuah proses pembaharuan dan regenerasi.

Seluruh koleksi karya dalam pameran tunggal ini juga menjadi manifestasi keseriusan Nindit sebagai perupa dalam merespons lingkungan terdekatnya, menganalisanya, lalu menuangkannya ke dalam kerja artistiknya. Hal itu tampak pada karya-karya yang mencoba bereksperimen dengan berbagai medium dan teknik mulai dari kanvas, patung kayu, jahitan, anyaman, bordir, hingga video instalasi.

Menurutnya, hal itu perlu dia lakukan untuk bisa menerjemahkan setiap ide, gagasan, sekaligus sikap politisnya dalam menangkap setiap perubahan gestur akibat pandemi yang disadari atau tidak telah menubuh dalam masyarakat. "Setiap analisa persoalan itu selalu membawa saya pada kesimpulan menggunakan medium yang berbeda," terangnya.
 

Sound Of Masker (2021), 107x123x10 cm, Nindityo Adipurnomo. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)

Lenguh Para Fascist (2021-2022), 70x70x80 cm, Nindityo Adipurnomo. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)


Kurator Mira Asriningtyas mengatakan sebagai seorang seniman yang dididik secara formal di Rijksakademie, salah satu akademi seni paling terkenal di dunia, dengan praktik artistik selama lebih dari tiga dekade, Nindityo fasih bereksperimen dalam berbagai medium untuk menyampaikan observasinya.

Pilihan artistiknya, papar Mira, menjadi bagian dari sikap politiknya yang disempurnakan dengan produksi yang cermat. "Proyek-proyeknya seringkali berbasis penelitian dan didasarkan pada konteks sosial-politik," katanya.

Mira juga menilai sebagai seniman kontemporer, Nindityo sesekali berani menantang pola yang sudah mapan dalam menciptakan karyanya. Termasuk dalam proyek pameran Rhinolophus Sinicus, sang seniman dinilai membuat sebuah poin penting yang berhasil menunjukkan kepiawaiannya memainkan berbagai medium untuk memanifestasikan sikap politiknya.

Menurutnya, setiap karya Nindityo merupakan fragmen dari fenomena zaman yang dimaksudkan untuk menangkap lapisan-lapisan persoalan yang disajikan dalam satu kesatuan wacana, pengalaman, dan pengejawantahan dari pengamatannya yang mendalam terhadap kompleksitas sosial-politik pada kurun waktu tertentu. "Akhirnya menjadi sebuah catatan penting dari sejarah kolektif yang baru saja berlalu," imbuhnya.

Baca juga: Profil Jeff Koons, Seniman Kontemporer Masyhur & Kontroversial Asal Amerika Serikat

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Cek 7 Wisata Anti Mainstream Yogyakarta, Ada Pantai Tersembunyi hingga Desa Wisata

BERIKUTNYA

Ini Alasan GoPay, DANA, Ovo dan LinkAja Tak Bisa Beli Tiket MRT Jakarta Mulai 1 Juli 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: