Menyimak Transformasi & Corak Lukisan Kartono Yudhokusumo
02 January 2024 |
15:00 WIB
Ratusan lukisan yang dipacak di Galeri Salihara, Jakarta selatan itu seperti menceritakan perjalanan hidup penciptanya. Kartono Yudhokusumo (1924-1957), namanya memang tidak sepopuler S.Sudjojono, Affandi, atau Basoeki Abdullah.
Namun, perupa asal Medan, Sumatra Utara itu merupakan salah tokoh penting pelukis Indonesia, yang gagasan artistiknya turut memengaruhi seni rupa kini. Bahkan, Kartono dikenal sebagai Bapak seni Lukis Dekoratif Modern Indonesia.
Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: Potret Dinamika Masa Revolusi dalam Ragam Karya Seniman Sudjojono
Di pameran bertajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang berlangsung hingga 21 Januari 2024 itu, pengunjung disuguhi kisah pengkaryaan Kartono. Hal itu terejawantah dalam bentuk drawing hingga lukisan yang berjumlah kurang lebih 109 karya, milik kolektor hingga museum.
Ibarat memasuki linimasa waktu, pengunjung diajak memasuki kelindan gagasan sekaligus daya artistik dari sang seniman. Gagasan itu merentang dalam rekam jejak pengkaryaan dokumentasi baik berupa gambar, lukisan, artefak, catatan, dan berita tentang dirinya yang dimuat di media massa.
Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan mengatakan, Kartono merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah seni rupa Indonesia, gagasan artistiknya banyak memengahruhi pelukis setelahnya. Bahkan, dia juga berhasil mengembangkan gaya seni lukis dekoratif yang khas.
"Sebenarnya beliau juga punya macam-macam kecenderungan, salah satunya ekspresif, meski tidak banyak lukisannya yang diketahui puhblik," terang Asikin
Hal itu misalnya, terejawantah dalam mahakarya berjudul Melukis di Taman, yang menjadi koleksi Museum Galeri Nasional Indonesia. Karya menggunakan media oil paint on canvas 65 x 90 cm, itu terpacak di sisi kakan dinding, tidak jauh dari pintu masuk galeri.
Sesuai judulnya, karya bertitimangsa 1952 itu melukiskan keindahan alam dengan sentuhan detail palet di dalamnya. Sementara itu, seorang perempuan dengan atasan kebaya berwarna-warni berdiri di dekat kanvas, sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sedang dilukis.
Lukisan ini pernah diikutsertakan dalam pameran seni rupa Konferensi Asia-Afrika, di Bandung Jawa Barat, pada 1955. Melukis di taman juga dijadikan sampul Majalah Budaya yang digunakan Kementrian Budaya, sebagai laporan publik mengenai keikutsertaan Indonesia dalam pameran Sao Paulo Biennale kedua pada 1953.
Gaya dekoratif Kartono juga bisa disimak lewat karya berjudul Anggrek, oil paint on canvas, 72 x 91 cm. Sesuai judulnya, lukisan bertitimangsa 1956 itu secara detail menggambarkan Orchidaceae dengan segala keindahannya yang mengagumkan, lewat aksen dekoratif sekaligus bernuansa liris.
Saat diperhatikan dengan saksama, sang pelukis menorehkan palet-palet warna yang didominasi merah kehijauan. Tak hanya itu, lewat sapuan kuasnya, kita dapat melihat bentuk-bentuk gradasi dari latar pegunungan dalam bentuk visual yang estetik laiknya memasuki taman bunga.
Karya dengan tema serupa juga terepresentasi dalam lukisan bertajuk Plants, Sanggar Seniman, Pemandangan, dan Landscape. Hampir secara keseluruhan lewat deretan karya-karya tersebut, sang seniman mengeksplorasi keindahan botanical dengan corak yang khas, termasuk penempatan objek yang memenuhi bidang kanvas.
Lantas, dengan capaian capaian artistik setinggi itu, mengapa nama Kartono relatif jarang diketahui publik? Menurut Asikin, hal itu tidak lepas dari umur sang seniman yang terlalu singkat. Dia berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di Bandung pada 1957 saat berusia 33 tahun.
Transformasi Pengkaryaan
Sementara itu, kurator tamu sekaligus kolektor Amir Sidharta, mengatakan, karya-karya yang dipacak dalam pameran ini sebagian besar menggambarkan daya artistik dari sang seniman. Terutama saat Kartono belajar melukis dari Chiyoji Yazaki, dan Soedjojono, dan B.J.A Rutgers.
Menurut Amir, dari hasil studi tersebut mayoritas karya Kartono juga menggambarkan suasana Revolusi Fisik di Tanah Air. Hal itu misalnya, mewujud dalam karya berjudul Stelengkoe di Poetra, Pencil on Paper 24,8 x32,5 cm yang dibuat sebagai terapan pelajaran perspektif yang diterimanya dari B.J.A Rutgers.
"Kartono ini termasuk salah satu pelukis besar di Indonesia, tapi namanya kurang begitu populer. Karyanya juga tidak banyak, sepengetahuan saya mungkin kurang dari 20 lukisan," terang Amir Sidharta.
Namun, sejatinya, Kartono baru menjalankan gaya dekoratif belakangan. Sebelum dan masa kemerdekaan, dia lebih banyak menggeluti seni lukis realisme. Tak hanya itu, Kartono juga lebih sering melukis di atas kanvas berukuran A5, dan tidak mengambil banyak objek.
Hal itu misalnya, terejawantah dalam karya tanpa judul, pastel on paper, 32,6 x 23,9 cm. Karya yang saat ini dikoleksi oleh Tri Rayasti Ardiningsih itu memperlihatkan sebuah jembatan yang sedang dilintasi trem, dengan dua menara gereja yang muncul di antara pepohonan hijau.
Adapun, dalam karya menggambarkan menara Gereja Katedral Jakarta itu, Kartono lebih banyak menggunakan garis-garis outline, dan garis-garis pembantu perspektif. Terutama dalam menggambar bangun arsitektur, yang menandai perkembangan cara melukis ala Yazaki.
Lebih lanjut, Amir mengatakan, bakat melukis Kartono menurun dari sang ayah, Marsudi Yudhokusumo yang bekerja sebagai guru seni lukis. Tak hanya itu, semasa tinggal di Yogyakarta, sang seniman juga sempat bergabung dalam perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang diinisiasi oleh S. Sudjojono, dan Trisno Sumardjo.
Adapun, dalam karya lain, transformasi lukisan Kartono hingga mewujud dalam corak dekoratif , terefleksi dalam karya berjudul Pameran Soerono, Istirahat, Kedai, Melatih, dan Santai. Ada pula karya berjudul Self Portrait, Punggung, Potret Perempuan Berkebaya, Sukabumi, Pohon di Pinggir Danau, Landscape, dan Sanggar Seniman.
Baca juga: Profil Kartika Affandi, Gurat Emosi dalam Kreasi Ekspresionis Putri Sang Maestro
Editor: Dika irawan
Namun, perupa asal Medan, Sumatra Utara itu merupakan salah tokoh penting pelukis Indonesia, yang gagasan artistiknya turut memengaruhi seni rupa kini. Bahkan, Kartono dikenal sebagai Bapak seni Lukis Dekoratif Modern Indonesia.
Baca juga: Hypereport Kemerdekaan: Potret Dinamika Masa Revolusi dalam Ragam Karya Seniman Sudjojono
Di pameran bertajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang berlangsung hingga 21 Januari 2024 itu, pengunjung disuguhi kisah pengkaryaan Kartono. Hal itu terejawantah dalam bentuk drawing hingga lukisan yang berjumlah kurang lebih 109 karya, milik kolektor hingga museum.
Ibarat memasuki linimasa waktu, pengunjung diajak memasuki kelindan gagasan sekaligus daya artistik dari sang seniman. Gagasan itu merentang dalam rekam jejak pengkaryaan dokumentasi baik berupa gambar, lukisan, artefak, catatan, dan berita tentang dirinya yang dimuat di media massa.
Kurator Galeri Salihara, Asikin Hasan mengatakan, Kartono merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah seni rupa Indonesia, gagasan artistiknya banyak memengahruhi pelukis setelahnya. Bahkan, dia juga berhasil mengembangkan gaya seni lukis dekoratif yang khas.
"Sebenarnya beliau juga punya macam-macam kecenderungan, salah satunya ekspresif, meski tidak banyak lukisannya yang diketahui puhblik," terang Asikin
Karya Kartono Yudhokusumo berjudul Plants, oil paint on canvas, 47,8 x56,9 cm, 1952 (Sumber gambar Komunitas Salihara Witjak Widhi Cahya)
Sesuai judulnya, karya bertitimangsa 1952 itu melukiskan keindahan alam dengan sentuhan detail palet di dalamnya. Sementara itu, seorang perempuan dengan atasan kebaya berwarna-warni berdiri di dekat kanvas, sedemikian rupa, sehingga seolah-olah sedang dilukis.
Lukisan ini pernah diikutsertakan dalam pameran seni rupa Konferensi Asia-Afrika, di Bandung Jawa Barat, pada 1955. Melukis di taman juga dijadikan sampul Majalah Budaya yang digunakan Kementrian Budaya, sebagai laporan publik mengenai keikutsertaan Indonesia dalam pameran Sao Paulo Biennale kedua pada 1953.
Gaya dekoratif Kartono juga bisa disimak lewat karya berjudul Anggrek, oil paint on canvas, 72 x 91 cm. Sesuai judulnya, lukisan bertitimangsa 1956 itu secara detail menggambarkan Orchidaceae dengan segala keindahannya yang mengagumkan, lewat aksen dekoratif sekaligus bernuansa liris.
Saat diperhatikan dengan saksama, sang pelukis menorehkan palet-palet warna yang didominasi merah kehijauan. Tak hanya itu, lewat sapuan kuasnya, kita dapat melihat bentuk-bentuk gradasi dari latar pegunungan dalam bentuk visual yang estetik laiknya memasuki taman bunga.
karya Kartono Yudhokusumo berjudul Landscape, Oil on Canvas, 37,54 X 68 cm (sumber gambar Komunitas SaliharaWitjak Widhi Cahya)
Lantas, dengan capaian capaian artistik setinggi itu, mengapa nama Kartono relatif jarang diketahui publik? Menurut Asikin, hal itu tidak lepas dari umur sang seniman yang terlalu singkat. Dia berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di Bandung pada 1957 saat berusia 33 tahun.
Transformasi Pengkaryaan
Sementara itu, kurator tamu sekaligus kolektor Amir Sidharta, mengatakan, karya-karya yang dipacak dalam pameran ini sebagian besar menggambarkan daya artistik dari sang seniman. Terutama saat Kartono belajar melukis dari Chiyoji Yazaki, dan Soedjojono, dan B.J.A Rutgers.
Menurut Amir, dari hasil studi tersebut mayoritas karya Kartono juga menggambarkan suasana Revolusi Fisik di Tanah Air. Hal itu misalnya, mewujud dalam karya berjudul Stelengkoe di Poetra, Pencil on Paper 24,8 x32,5 cm yang dibuat sebagai terapan pelajaran perspektif yang diterimanya dari B.J.A Rutgers.
"Kartono ini termasuk salah satu pelukis besar di Indonesia, tapi namanya kurang begitu populer. Karyanya juga tidak banyak, sepengetahuan saya mungkin kurang dari 20 lukisan," terang Amir Sidharta.
Karya Kartono Yudhokusumo dari kiri ke kanan, (Memasak, Tanpa Judul, Gadis) (sumber gambar Komunitas SaliharaWitjak Widhi Cahya)
Hal itu misalnya, terejawantah dalam karya tanpa judul, pastel on paper, 32,6 x 23,9 cm. Karya yang saat ini dikoleksi oleh Tri Rayasti Ardiningsih itu memperlihatkan sebuah jembatan yang sedang dilintasi trem, dengan dua menara gereja yang muncul di antara pepohonan hijau.
Adapun, dalam karya menggambarkan menara Gereja Katedral Jakarta itu, Kartono lebih banyak menggunakan garis-garis outline, dan garis-garis pembantu perspektif. Terutama dalam menggambar bangun arsitektur, yang menandai perkembangan cara melukis ala Yazaki.
Lebih lanjut, Amir mengatakan, bakat melukis Kartono menurun dari sang ayah, Marsudi Yudhokusumo yang bekerja sebagai guru seni lukis. Tak hanya itu, semasa tinggal di Yogyakarta, sang seniman juga sempat bergabung dalam perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang diinisiasi oleh S. Sudjojono, dan Trisno Sumardjo.
Adapun, dalam karya lain, transformasi lukisan Kartono hingga mewujud dalam corak dekoratif , terefleksi dalam karya berjudul Pameran Soerono, Istirahat, Kedai, Melatih, dan Santai. Ada pula karya berjudul Self Portrait, Punggung, Potret Perempuan Berkebaya, Sukabumi, Pohon di Pinggir Danau, Landscape, dan Sanggar Seniman.
Baca juga: Profil Kartika Affandi, Gurat Emosi dalam Kreasi Ekspresionis Putri Sang Maestro
Editor: Dika irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.