Ilustrasi Sudarnoto menjalani pekerjaan sebagai sopir taksi hingga separuh hidupnya. (Foto: JIBI/Hypeabis.id)

Hypereport: Potret Pekerja Loyal, Mendedikasikan Separuh Umur di Satu Perusahaan

24 June 2023   |   19:52 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Mental tempe jadi istilah yang kerap disematkan terhadap orang yang sering berpindah-pindah perusahaan dalam waktu singkat. Fenomena ini juga disebut sebagai job-hopping atau kutu loncat yang sering kali dicap buruk sebagai tanda ketidakmampuan karyawan dalam mengelola mental dan kegagalan beradaptasi di tempat kerjanya.

Menariknya, tren kutu loncat ini sering terjadi di kalangan usia milenial saja. Data mengenai masa kerja pendek di kalangan usia milenial pun terang benderang. Survei yang dilakukan Sheahan (2009) menunjukan bahwa rata-rata masa kerja karyawan milenial, yang disebut juga sebagai generasi Y, adalah 18 bulan.

Angka ini lebih pendek dibandingkan dengan masa kerja generasi X dan baby boomer (kelahiran 1946 hingga 1980) yang memiliki rata-rata masa kerja 4 tahun. Pergeseran fenomena ini mengajak milenial untuk sejenak menyimak kisah dari perjalanan karier karyawan loyal dari Gen X.

Baca juga: Hypereport: Kiat Menemukan Karier yang Tepat Bagi Fresh Graduate

Misalnya pengalaman Untung Sukarman, seorang karyawan yang menghabiskan masa kerjanya bersama satu perusahaan sejak masih remaja berbagi cerita kepada Hypeabis.id. Pria berusia 58 tahun ini sudah menempa kariernya bersama salah satu perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Good (FMCG) selama 38 tahun.

Lebih dari separuh hidupnya diabdikan untuk perusahaan yang menemaninya hingga masa tua. Tahun ini, karyawan dari generasi baby boomer itu akan resmi mengakhiri masa berkariernya bersama perusahaan tersebut.
 
Membangun karier memang tidak sesederhana itu. Perlu proses dan kesabaran ekstra untuk melihat peluang panjang di suatu perusahaan. Untung memulai kariernya di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selepas tamat dari bangku SMA. Namun dia belum mengendus peluang karier yang besar di perusahaan tersebut.

Berbekal ajakan seorang supervisor di perusahaan FMCG, akhirnya Untung pindah hati dan bergabung ke perusahaan tersebut untuk menjadi dari bagian pengelolaan karyawan atau Human Resource Development (HRD).
 
Hanya dalam beberapa bulan saja, Untung dilempar ke divisi teknisi yang notabene banyak mengambil kerja lapangan. Menjadi karyawan yang mulanya duduk dengan setumpuk kertas formulir karyawan, lalu beralih menjadi pekerja lapangan bukanlah perkara mudah.

Untung mengakui, perlu adaptasi yang cukup alot pada tahun-tahun pertama di lingkungan kerja barunya. Bahkan dia baru menjadi karyawan tetap setelah tahun kelima. Bertahun-tahun dijalaninya sebagai karyawan berbasis teknisi.

Memasuki belasan tahun bersama perusahaannya, Untung baru mendapat pengalaman dinas ke luar kota. Dia berpindah dari Palembang, Bandung, Pekanbaru, Lampung, hingga ke Sibu, sebuah perbatasan wilayah Kalimantan dan Sarawak, Malaysia.
 
Dia dengan senang hati menjalani kariernya sebagai teknisi. Hingga akhirnya pada 2013, dia kembali digilir untuk mengurusi ranah pembelian atau purchasing. Momen banting setir ini pula membutuhkan ketelatenan ekstra bagi Untung. Ibarat kata, dia harus belajar dari awal tentang seluk-beluk catatan dan tumpukan barang penjualan.

Namun menginjak tahun-tahun terakhirnya bekerja, dia kembali ditempatkan sebagai salah satu karyawan level atas untuk divisi HRD. Mondar-mandir dari mengurusi karyawan hingga mengoperasikan mesin dijalaninya di satu perusahaan saja. Untung tidak ambil pusing, justru dia melihatnya sebagai tantangan.

“Saya malah merasa kerjanya enggak bosan. Kalau bicara tantangan pasti ada terus. Tinggal bagaimana cara kita menyikapi dan menyesuaikan adaptasinya saja,” ungkapnya kepada Hypeabis.id.

Bak nostalgia ke masa lalu, Untung menarik satu kesimpulan dari perjalanan kariernya yang kerap dilempar sana sini. “Jangan dijadikan beban. Mau enggak mau kita harus bisa melihat suasana, bangun jejaring, dan minta ilmu sama senior. Pasti bisa dilewati,” imbuhnya.
 
Dia tak menampik jika mungkin generasi masa kini kerap berpindah karena mudah tergiur dengan tawaran gaji yang lebih besar. Dia pun mengaku pernah mengalaminya dahulu. Saat di tengah keseriusannya bekerja untuk perusahaan yang membersamainya belasan tahun, loyalitasnya benar-benar diuji. 

Menurutnya, semuanya kembali ke tekad dan targetnya sejak awal duduk di perusahaan tersebut. Mencoba melihat peluang jangka panjang, memperdalam skill dan menunjukkan kesungguhan akan membuat perusahaan merespons balik loyalitas karyawan.
 
Namun setiap orang tentu tahu batasannya. Baginya, kenyamanan, kecukupan penghasilan, kebebasan berkreasi, dan apresiasi sudah lebih dari cukup untuk membuat karyawan betah. Asal prasyarat itu terpenuhi, karyawan akan berusaha menanggulangi setiap tekanan yang ada dan tetap loyal.
 
“Loyalitas itu penting juga untuk diri kita sendiri. Selagi kta berusaha mengembangkan skill, perusahaan akan melihat kita bekerja yang terbaik. Ujungnya nanti perusahaan sayang jika mau melepas kita begitu saja. Mereka pasti mempertimbangkan banyak hal jika kita memang berharga untuk perusahaan,” katanya..
 
Kisah berbeda datang dari seorang sopir taksi bernama Sudarnoto. Rasanya, hampir seluruh jalanan besar di Kota Palembang sudah dilewati pria asal Kediri, Jawa Tengah ini. Semasa pendidikan menengahnya, pria kelahiran 1961 ini menghabiskan waktunya di Jakarta setidaknya hingga masa kuliah tiba.

Atas alasan tertentu, Sudarnoto berpindah ke Palembang untuk menjalani pendidikan tingginya di salah satu universitas swasta sebagai mahasiswa jurusan ekonomi, hingga berkeluarga dengan dua anak. Hidupnya lebih banyak dihabiskan dengan melukis, hobi yang terus digelutinya hingga masa tuanya saat ini.

Untuk menafkahi keluarga, Sudarnoto terjun dalam dunia kerja sebagai sopir taksi. Karier awal tersebut dimulai pada 1988. Setiap hari, taksi berwarna biru milik Sudarnoto mengaspal mulai pukul 07.00 hingga 21.00 WIB. Pria berusia 62 tahun tersebut  meraup rata-rata penghasilan Rp1,5 juta setiap bulannya.
 
Meski begitu, pekerjaan yang ditekuni Sudarnoto selama 35 tahun itu mampu membawa dua anaknya menempuh pendidikan tinggi. Dia juga tidak pindah-pindah dari perusahaan taksi. Dia tetap bekerja di bawah satu perusahaan taksi mulai awal hingga saat ini.

Menjalani dengan Senang Hati
Jika saat ini kerja sopir dianggap sebagai sampingan, Sudarnoto telah menjalani profesi ini sebagai pekerjaan utama lebih dari tiga dekade lamanya. Sesekali, hari-hari hampir tanpa pelanggan pernah dilalui Sudarnoto. Namun entah mengapa dia enggan mundur dari pekerjaannya itu.
 
Menurutnya, menjalani pekerjaan sebagai sopir taksi merupakan kegiatan yang menyenangkan. Pekerjaan ini dianggap tak terlalu membebaninya. Justru pria kelahiran 6 November ini merasa bahagia jika mampu mengantar pelanggan ke tujuannya dengan selamat dan tepat waktu.

Di tengah waktu yang terbilang santai, Sudarnoto juga banyak belajar dan bertukar pikiran dengan penumpang dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, suku, agama, dan lainnya.
 
“Mungkin itu yang membuat saya bisa dibilang tetap menjalani pekerjaan ini. Banyak hal yang membuat saya merasa menjalaninya dengan senang hati,” jelasnya.

Mengenai tantangan, Sudarnoto mengaku telah melalui banyak manis pahit selama hidupnya. Mengandalkan pendapatan sebagai sopir taksi, mau tak mau dia harus pandai mengatur keuangan untuk keluarga mulai dari urusan perut hingga pendidikan anak, semua dipenuhinya sebisa mungkin.
 
“Kalau dunia transportasi begini, semakin banyak sopir ya pasti persaingan makin ketat. Jadi penumpang yang saya bawa pasti lebih sedikit,” katanya. Namun penghasilan yang pasang surut itu membuat Sudarnoto tidak lantas mundur.

Meski penghasilannya kecil untuk ukuran pendapatan karyawan di kota besar, dia tetap bangga telah mampu mengantar dua anaknya lulus sarjana di sekolah tinggi kedinasan. “Kalau dibilang loyal, saya enggak tahu apakah saya ini loyal bekerjanya. Saya hanya menjalani apa yang saya suka, nyaman, dan menghasilkan saja. Itu sudah cukup,” katanya.
 
Baca juga: Hypereport: Dilema Gaya Hidup Wah di Balik Barang Mewah

Baik Untung maupun Sudarnoto menilai kebiasaan karyawan pada setiap generasi bukan untuk dibanding-bandingkan. Setiap era memiliki jalannya. Mungkin milenial dihadapkan dengan pilihan kerja yang lebih banyak di zaman serba terbuka seperti saat ini.

Sah-sah saja untuk berpindah kerja, asal tidak tergesa-gesa. Faktor seperti tujuan, peluang, motif, dan batas toleransi tentu mengambil ruang sendiri dalam perjalanan karier setiap orang. Pilihan untuk loyal di satu perusahaan atau jadi job-hopping masing-masing memiliki konsekuensinya.
 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Duh, Jadwal Konser Coldplay di GBK Bakal Bentrok dengan Piala Dunia U-17

BERIKUTNYA

6 Fakta Menarik tentang Kondisi Usaha Kecil di Indonesia Menurut Studi Terbaru

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: