Hypereport: Kerja Tidak Sesuai Jurusan Enggak Masalah, Selagi Karier Lancar
25 June 2023 |
17:00 WIB
Sudah bukan rahasia lagi, jika di dunia kerja kita sering menemukan seseorang berkarier tak sesuai dengan background pendidikannya. Sejauh ini, tidak ada peraturan tertulis dari Pemerintah yang mewajibkan perusahaan mempekerjakan karyawan berdasarkan latar belakang pendidikannya.
Asalkan, si karyawan tersebut mampu menunjukkan kompetensi dan pengalaman yang dibutuhkan perusahaan, maka dia berhak mendapatkan pekerjaan.Situasi ini berlaku buat seluruh angkatan kerja, mulai dari generasi X hingga Z.
Baca juga:
Beberapa generasi Z pun menyiasati hal tersebut dengan memperhatikan pasar dunia kerja dan potensi yang dimiliki. Omar Adibaskoro, contohnya. Dia memilih untuk bekerja di bidang yang kurang populer bagi generasi Z, walaupun tidak sesuai dengan program studi yang diambilnya.
Kondisi ini selaras dengan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Dia mengatakan hanya ada maksimal 20 persen lulusan mahasiswa yang bekerja sesuai dengan program studinya. Sedangkan 80 persen sisanya, bekerja di luar prodi mereka.
Omar merupakan lulusan Bahasa Jepang di kampus ternama. Saat banyak temannya menjadi penerjemah, dan guru bahasa, dia lebih memilih untuk bekerja di bidang jurnalistik dan media.
Selain ada ketertarikan pribadi, menurutnya sektor ini masih awam di kalangan generasi Z. Dia menyebut bidang yang diminati generasi Z saat ini antara lain copy writer, UI/UX designer, digital marketing, hingga SEO Specialist. “Untuk masuk ke situ saingannya berat. Peluang saya kerja jadi jurnalis lebih besar. Jarang orang yang mau ambil dan jarang yang passionnya ada di situ,” ungkapnya.
Memang sejak SMA Omar terbilang sangat tertarik dengan bahasa asing, terutama Jepang, Korea, dan China. Dia lantas belajar bahasa lebih intens dibandingkan mata pelajaran lainnya. Ketika hendak kuliah di Universitas Indonesia, dia mendaftar ke tiga jurusan sastra itu. Omar kemudian terpilih belajar di jurusan Sastra Jepang.
Selama kuliah, justru gairah untuk memperdalam ilmu jurnalistik dan media tumbuh ketika dia memiliki tugas menelaah teks koran Jepang dan melakukan peliputan berbahasa Jepang. Seakan didukung, dia ditawari menjadi staf himpunan mahasiswa dan masuk divisi informasi, komunikasi, dan media. Di situlah Omar belajar lebih dalam caranya membuat buletin dan mengelola akun resmi himpunan mahasiswa.
Lulus beberapa waktu lalu, Omar lantas mencari peruntungan dengan magang menjadi scirpt writer di perusahaan periklanan. Namun baru-baru ini, dia diterima magang di sebuah perusahaan media besar di Jakarta. “Akhirnya menggali potensi, mulai dari dukungan tugas, matkul, magang, aku menemukan pasion di bidang jurnalis dan komunikasi,” tegas Omar yang mengaku mendapat banyak tawaran kerja sebagai penerjemah hingga guru les bahasa Jepang.
Gairahnya untuk bekerja di bidang jurnalistik dan media untungnya didukung orang tua. Walaupun, sesekali kritik dari keluarga besar datang dan memintanya untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) saja dengan iming-iming gaji yang lebih besar.
Dia teguh untuk memperdalam dunia jurnalistik yang terbilang menantang karena terkadang liputan yang ditugaskan tidak sesuai harapan. Omar mengaku akan terus fokus belajar untuk memenuhi passionnya kendatipun gaji yang didapat saat ini belum sesuai ekspektasi.
“Aku tipe yang suka tantangan dan harus dicoba dulu sebelum protes,” tambah pria yang mengutamakan kenyamanan dalam bekerja itu.
Sementara itu, Reno Febrianto (32) yang merupakan sarjana teknik mengaku betah bekerja di ranah media. Sudah 10 tahun dia berkecimpung di sektor ini.
Terjunnya Reno ke dunia media ini tidak lepas karena tuntutan untuk mencari uang guna membiayai semesteran di kampus. Memiliki sedikit keahlian menulis yang didapatkan dari organisasi kampus di sekolah, dia nekat untuk bekerja di bidang media.
Siapa sangka, Reno diterima pada sebuah media kecil di Jakarta. Ibarat sudah ke cemplung, dia melanjutkan profesinya tersebut hingga saat ini memiliki posisi yang cukup mumpuni.
Dia sudah beberapa kali ganti perusahaan, namun tetap setia pada bidang yang sama. Bisa dikatakan, bermula dari cari uang, akhirnya dia menemukan passion di bidang ini. “Bersyukur kerja di media walaupun dulu lulusan teknik,” ucapnya.
Di sisi lain, ada Hanum Indra Sari. Seperti Omar dan Reno, wanita berkerudung ini juga bekerja tidak sesuai jurusan kuliah yang diambil sebelumnya.
Sarjana Ilmu Komunikasi jurusan Jurnalistik ini menjalani peran sebagai guru untuk anak-anak pra-sekolah. Selama 13 tahun sudah dia setia dengan profesinya itu.
Hanum menemukan passion-nya di dunia pendidikan ketika lulus kuliah. Bermula dari ajakan seorang teman untuk mengajar di sebuah kelas prasekolah, akhirnya dia kecanduan. Dia sempat berhenti mengajar setelah 6 tahun bekerja sebagai guru. Namun, gairahnya untuk kembali ke dunia pendidikan begitu tinggi.
Menjadi guru di Sekolah Montessori belasan tahun, baru-baru ini dia lebih fokus ke kelas bermain an anak yang waktunya lebih flexible. Kelas ini terbilang tidak memiliki jadwal seperti di sekolah. Anak-anak akan diajari sesuai minat mereka. “Tetap ngajar di dunia anak-anak. Usianya dari bayi sampai 6 tahun,” jelasnya.
Bekerja di dunia pendidikan terutama untuk anak-anak pra-sekolah memberi pengalaman menarik untuk hidup Hanum. Dia sangat senang hadir di masa-masa emas usia mereka.
Menjadi orang pertama di lingkungan keluarga yang membuat anak-anak di usia tersebut belajar mandiri, bersikap baik, mempelajari beberapa pengetahuan yang sesuai dengan usia dan minatnya.
Banyak momen berharga yag didapatkannya. “Aku ngajar dari bayi 6 bulan sampai mereka lulus preschool. Selama 4 tahun, mereka jauh berkembang. Itu touching momen buat aku,” ulas Hanum.
Sementara itu, Hanum mengaku sangat senang membantu para orang tua untuk mengembangkan minat dan bakat anak mereka, walapun terkadang para ibu dan ayah anak-anak itu ngeyel karena termakan informasi yang kurang tepat dari internet. “Tetapi masih banyak orang tua yang baik, respect, percaya, jadi teman ngobrol, sampai anaknya sekolah di luar negeri,” cerita Hanum.
Serius di dunia pendidikan, wanita yang tergolong generasi milenial ini berencana ingin membuat sekolah montessori dalam 5-10 tahun mendatang. Oleh karena itu, Hanum akan memperdalam ilmunya dengan mengambil kelas tenaga pendidik. Menurutnya, pengalaman dan teori harus berjalan berdampingan.
Sebagai generasi Milenial, Hanum tidak terlalu takut dengan hadirnya generasi Z maupun lulusan baru. Dia berpendapat, dalam bekerja ada hal-hal dasar yang kerap menjadi acuan yakni atitude, etos kerja, dan kemampuan diri. “Selama punya tiga hal itu aku ga takut bersaing sama siapa-siapa,” tegasnya dengan percaya diri.
Justru Hanum menilai Gen Z harus dijadikan partner kerja. Para generasi Milenial lah yang harus menjadi contoh baik bagi mereka yang kerap dicap bermental ‘tempe’.
Baca juga: 5 Langkah Membangun Karier yang Lebih Gemilang
Editor: Dika Irawan
Asalkan, si karyawan tersebut mampu menunjukkan kompetensi dan pengalaman yang dibutuhkan perusahaan, maka dia berhak mendapatkan pekerjaan.Situasi ini berlaku buat seluruh angkatan kerja, mulai dari generasi X hingga Z.
Baca juga:
- Hypereport: Kiat Menemukan Karier yang Tepat Bagi Fresh Graduate
- Hypereport: Potret Pekerja Loyal, Mendedikasikan Separuh Umur di Satu Perusahaan
- Hypereport: Tidak Sekedar Mencari Penghasilan yang Lebih Tinggi
Beberapa generasi Z pun menyiasati hal tersebut dengan memperhatikan pasar dunia kerja dan potensi yang dimiliki. Omar Adibaskoro, contohnya. Dia memilih untuk bekerja di bidang yang kurang populer bagi generasi Z, walaupun tidak sesuai dengan program studi yang diambilnya.
Kondisi ini selaras dengan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim beberapa waktu lalu. Dia mengatakan hanya ada maksimal 20 persen lulusan mahasiswa yang bekerja sesuai dengan program studinya. Sedangkan 80 persen sisanya, bekerja di luar prodi mereka.
Omar merupakan lulusan Bahasa Jepang di kampus ternama. Saat banyak temannya menjadi penerjemah, dan guru bahasa, dia lebih memilih untuk bekerja di bidang jurnalistik dan media.
Selain ada ketertarikan pribadi, menurutnya sektor ini masih awam di kalangan generasi Z. Dia menyebut bidang yang diminati generasi Z saat ini antara lain copy writer, UI/UX designer, digital marketing, hingga SEO Specialist. “Untuk masuk ke situ saingannya berat. Peluang saya kerja jadi jurnalis lebih besar. Jarang orang yang mau ambil dan jarang yang passionnya ada di situ,” ungkapnya.
Memang sejak SMA Omar terbilang sangat tertarik dengan bahasa asing, terutama Jepang, Korea, dan China. Dia lantas belajar bahasa lebih intens dibandingkan mata pelajaran lainnya. Ketika hendak kuliah di Universitas Indonesia, dia mendaftar ke tiga jurusan sastra itu. Omar kemudian terpilih belajar di jurusan Sastra Jepang.
Selama kuliah, justru gairah untuk memperdalam ilmu jurnalistik dan media tumbuh ketika dia memiliki tugas menelaah teks koran Jepang dan melakukan peliputan berbahasa Jepang. Seakan didukung, dia ditawari menjadi staf himpunan mahasiswa dan masuk divisi informasi, komunikasi, dan media. Di situlah Omar belajar lebih dalam caranya membuat buletin dan mengelola akun resmi himpunan mahasiswa.
Omar saat bekerja. (Sumber gambar: /Hypeabis.id/Desyinta Nuraini)
Gairahnya untuk bekerja di bidang jurnalistik dan media untungnya didukung orang tua. Walaupun, sesekali kritik dari keluarga besar datang dan memintanya untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) saja dengan iming-iming gaji yang lebih besar.
Dia teguh untuk memperdalam dunia jurnalistik yang terbilang menantang karena terkadang liputan yang ditugaskan tidak sesuai harapan. Omar mengaku akan terus fokus belajar untuk memenuhi passionnya kendatipun gaji yang didapat saat ini belum sesuai ekspektasi.
“Aku tipe yang suka tantangan dan harus dicoba dulu sebelum protes,” tambah pria yang mengutamakan kenyamanan dalam bekerja itu.
Sementara itu, Reno Febrianto (32) yang merupakan sarjana teknik mengaku betah bekerja di ranah media. Sudah 10 tahun dia berkecimpung di sektor ini.
Terjunnya Reno ke dunia media ini tidak lepas karena tuntutan untuk mencari uang guna membiayai semesteran di kampus. Memiliki sedikit keahlian menulis yang didapatkan dari organisasi kampus di sekolah, dia nekat untuk bekerja di bidang media.
Siapa sangka, Reno diterima pada sebuah media kecil di Jakarta. Ibarat sudah ke cemplung, dia melanjutkan profesinya tersebut hingga saat ini memiliki posisi yang cukup mumpuni.
Dia sudah beberapa kali ganti perusahaan, namun tetap setia pada bidang yang sama. Bisa dikatakan, bermula dari cari uang, akhirnya dia menemukan passion di bidang ini. “Bersyukur kerja di media walaupun dulu lulusan teknik,” ucapnya.
Di sisi lain, ada Hanum Indra Sari. Seperti Omar dan Reno, wanita berkerudung ini juga bekerja tidak sesuai jurusan kuliah yang diambil sebelumnya.
Sarjana Ilmu Komunikasi jurusan Jurnalistik ini menjalani peran sebagai guru untuk anak-anak pra-sekolah. Selama 13 tahun sudah dia setia dengan profesinya itu.
Hanum menemukan passion-nya di dunia pendidikan ketika lulus kuliah. Bermula dari ajakan seorang teman untuk mengajar di sebuah kelas prasekolah, akhirnya dia kecanduan. Dia sempat berhenti mengajar setelah 6 tahun bekerja sebagai guru. Namun, gairahnya untuk kembali ke dunia pendidikan begitu tinggi.
Menjadi guru di Sekolah Montessori belasan tahun, baru-baru ini dia lebih fokus ke kelas bermain an anak yang waktunya lebih flexible. Kelas ini terbilang tidak memiliki jadwal seperti di sekolah. Anak-anak akan diajari sesuai minat mereka. “Tetap ngajar di dunia anak-anak. Usianya dari bayi sampai 6 tahun,” jelasnya.
Bekerja di dunia pendidikan terutama untuk anak-anak pra-sekolah memberi pengalaman menarik untuk hidup Hanum. Dia sangat senang hadir di masa-masa emas usia mereka.
Menjadi orang pertama di lingkungan keluarga yang membuat anak-anak di usia tersebut belajar mandiri, bersikap baik, mempelajari beberapa pengetahuan yang sesuai dengan usia dan minatnya.
Banyak momen berharga yag didapatkannya. “Aku ngajar dari bayi 6 bulan sampai mereka lulus preschool. Selama 4 tahun, mereka jauh berkembang. Itu touching momen buat aku,” ulas Hanum.
Hanum saat mengajari anak-anak prasekolah. (Sumber gambar : Istimewa)
Serius di dunia pendidikan, wanita yang tergolong generasi milenial ini berencana ingin membuat sekolah montessori dalam 5-10 tahun mendatang. Oleh karena itu, Hanum akan memperdalam ilmunya dengan mengambil kelas tenaga pendidik. Menurutnya, pengalaman dan teori harus berjalan berdampingan.
Sebagai generasi Milenial, Hanum tidak terlalu takut dengan hadirnya generasi Z maupun lulusan baru. Dia berpendapat, dalam bekerja ada hal-hal dasar yang kerap menjadi acuan yakni atitude, etos kerja, dan kemampuan diri. “Selama punya tiga hal itu aku ga takut bersaing sama siapa-siapa,” tegasnya dengan percaya diri.
Justru Hanum menilai Gen Z harus dijadikan partner kerja. Para generasi Milenial lah yang harus menjadi contoh baik bagi mereka yang kerap dicap bermental ‘tempe’.
Baca juga: 5 Langkah Membangun Karier yang Lebih Gemilang
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.