Hypereport: Dilema Gaya Hidup Wah di Balik Barang Mewah
13 June 2023 |
06:21 WIB
1
Like
Like
Like
Dalam konteks budaya populer, simbolisme sebagai wujud eksistensi diri menjadi sebuah perkara penting untuk mengukuhkan identitas dan kelas sosial tertentu. Salah satunya direpresentasikan dalam kepemilikan terhadap barang-barang konsumen yang dicitrakan sebagai merek mewah (luxury brand).
Jika pada dekade 90-an penguasaan terhadap merek-merek papan atas itu hanya dapat diakses oleh kelompok jetset dari kalangan mapan berusia di atas 40. Pada dekade ini, perburuan terhadap produk luks itu telah bergeser ke level menengah bawah, bahkan pada rentang usia yang lebih muda, terutama dari kalangan milenial dan generasi Z.
Ada banyak faktor yang memicunya, mulai dari perkembangan media sosial yang begitu pesat dan meluas serta membuka kesempatan setiap orang untuk tampil serba sempurna, hingga dinamika kaum urban yang berbaur dari berbagai kelas sosial dan memaksa sebagiannya untuk beradaptasi terhadap kelompok atas di lingkungan pergaulannya.
Motivasinya pun sangat bervariatif baik sekadar membangun citra diri, pamer kemewahan (flexing), jadi social climber untuk masuk ke lingkungan sosialita tertentu, mencari validasi sosial, atau sebagian mencoba memaknainya ke dalam gaya hidup minimalis dengan cara hanya mengoleksi sedikit barang-barang mewah tertentu.
Bagi milenial dan genZ, memiliki barang mewah tiruan tentu menjadi aib tersendiri, meskipun secara finansial sangat tidak memungkinkan untuk memiliki barang-barang mewah asli. Fenomena ini pun melahirkan bisnis baru yang menjual barang-barang mewah seken yang dijamin asli, untuk membidik kelas sosial tersebut.
Tapi bagi sebagian lagi, tidak sedikit mereka yang membeli barang tiruan karena merasa tertekan untuk terus mengikuti tren terkini. Tekanan ini makin mendisrupsi dengan kehadiran media sosial yang kerap mempromosikan gaya hidup mewah nan impulsif.
Potret dunia simbolisme ini pun menjadi semacam arena pelombaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Apalagi di tengah tuntutan ekonomi yang makin berat dan biaya hidup perkotaan yang tinggi.
Bagaimana milenial dan gen Z mencoba terus mengejar kemewahan sekaligus menghadapi dilema kehidupan pribadi yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi finansialnya? Bagaimana pula pelaku bisnis jeli menangkap fenomena ini? Adakah gaya hidup alternatif yang dapat mewakili simbol kemewahan tersebut? Hypeabis.id mencoba mengungkapnya dalam seri laporan khusus berikut ini.
Setidaknya, produk high end sudah satu maju langkah lebih dahulu sebelum penggunanya mengeluarkan pernyataan apa pun. Pengamat fesyen, Sonny Muchlison setuju jika fesyen merupakan bahasa tanpa kata. Gaya berpakaian seseorang bisa menjadi alat komunikasi terbaik tanpa memerlukan satu patah kata pun.
Bahkan, sosialita yang juga berprofesi sebaegai dokter, Rininta Christabella pun memvalidasinya. Baginya, dua brand kesukaannya yakni Hermes dan Chanel sangat mendukung penampilan sehari-harinya. Sejak berusia 17 tahun, Rininta sudah mewarisi hobi koleksi tas dari ibunya.
Koleksi tas branded yang dijajal Rininta tidak semata dilakukan untuk menunjang penampilan. Lebih jauh, Rininta berpikir jika koleksi tas branded merupakan investasi jangka panjang yang menyenangkan.
Barang fesyen preloved alias bekas pakai semakin digemari dalam beberapa tahun terakhir. Kesadaran akan sustainable atau keberlanjutan untuk meminimalisir pencemaran lingkungan dengan memperpanjang usia pakai barang semakin tumbuh, terutama di kalangan generasi muda.
Co-founder dan COO Tinkerlust, Aliya Amitra, mengatakan barang preloved menjadi tren bagi kalangan generasi Z yang sudah sadar akan bahaya limbah fashion. Tidak dipungkiri, mengutip laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), industri fesyen menjadi penyumbang pencemaran lingkungan kedua di dunia.
Industri ini menghasilkan 8 persen dari emisi karbon, 20 persen limbah air, dan seperlima dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun pada skala global. Sementara itu, laporan dari Morgan McFall-Johnson di Weforum, industri tekstil menghabiskan 79 miliar kubik air pada 2017.
Jika Tinkerlust berbentuk platform atau marketplace, Irresistible Bazaar menjadi bazar preloved luxury terbesar di Indonesia yang sudah melaksanakan lebih dari 30 kali event sejak berdiri 2015 lalu. Founder Irresistible Bazaar dan Irress Urban Bazaar, Marisa Tumbuan menyebut lebih dari 80 seller atau tenant menyediakan produk preloved barang fesyen mewah dari desainer lokal maupun internasional pada setiap acara yang dibuatnya.
Seiring meningkatnya pendapatan di kalangan milenial dan Z, mereka pun berlomba-lomba mengubah personanya dengan memakai barang-barang mewah. Keberadaan berbagai jenama top tersebut disiasati dengan berburunya dari thrift shop agar mendapat harga yang lebih pas di kantong tapi tetap menjunjung orisinalitas dan tampilan.
Perilaku ini memang jauh berbeda bila dibanding generasi sebelumnya. Alih-alih membeli barang tiruan, mereka justru memilih untuk membelanjakan uang pada barang mewah bekas tapi original. Tren ini pun berlaku di hampir sebagian besar anak-anak muda yang melek teknologi guna menunjukan eksistensi dan mendapat prestise sosial.
Irsyad (23) misalnya, lelaki yang mukim di Jakarta Selatan itu lebih cenderung berburu barang mewah second ketimbang membeli baru tapi tiruan. Pasalnya dengan cara seperti ini dia dapat menghemat belanja keuangan sekaligus mendapat keuntungan bila nanti barang tersebut diminati orang lain saat dipacak di laman medsosnya.
Nama-nama merek premium lokal yang sudah tidak asing bagi para pencinta fesyen antara lain Niluh Djelantik, Jetalla’ Anneiu, Zilia Leather, dan masih banyak lagi.
Harga produk yang ditawarkan oleh brand-brand asal Indonesia seperti Niluh Djelantik dan Jetalla’ Anneiu beragam, yakni dari jutaan rupiah sampai dengan puluhan juta rupiah. Tidak hanya itu, mereka juga memastikan bahwa produk yang dibuat merupakan buatan tangan atau handmade dengan bahan atau material berkualitas yang terjaga.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Jika pada dekade 90-an penguasaan terhadap merek-merek papan atas itu hanya dapat diakses oleh kelompok jetset dari kalangan mapan berusia di atas 40. Pada dekade ini, perburuan terhadap produk luks itu telah bergeser ke level menengah bawah, bahkan pada rentang usia yang lebih muda, terutama dari kalangan milenial dan generasi Z.
Ada banyak faktor yang memicunya, mulai dari perkembangan media sosial yang begitu pesat dan meluas serta membuka kesempatan setiap orang untuk tampil serba sempurna, hingga dinamika kaum urban yang berbaur dari berbagai kelas sosial dan memaksa sebagiannya untuk beradaptasi terhadap kelompok atas di lingkungan pergaulannya.
Motivasinya pun sangat bervariatif baik sekadar membangun citra diri, pamer kemewahan (flexing), jadi social climber untuk masuk ke lingkungan sosialita tertentu, mencari validasi sosial, atau sebagian mencoba memaknainya ke dalam gaya hidup minimalis dengan cara hanya mengoleksi sedikit barang-barang mewah tertentu.
Bagi milenial dan genZ, memiliki barang mewah tiruan tentu menjadi aib tersendiri, meskipun secara finansial sangat tidak memungkinkan untuk memiliki barang-barang mewah asli. Fenomena ini pun melahirkan bisnis baru yang menjual barang-barang mewah seken yang dijamin asli, untuk membidik kelas sosial tersebut.
Tapi bagi sebagian lagi, tidak sedikit mereka yang membeli barang tiruan karena merasa tertekan untuk terus mengikuti tren terkini. Tekanan ini makin mendisrupsi dengan kehadiran media sosial yang kerap mempromosikan gaya hidup mewah nan impulsif.
Potret dunia simbolisme ini pun menjadi semacam arena pelombaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Apalagi di tengah tuntutan ekonomi yang makin berat dan biaya hidup perkotaan yang tinggi.
Bagaimana milenial dan gen Z mencoba terus mengejar kemewahan sekaligus menghadapi dilema kehidupan pribadi yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi finansialnya? Bagaimana pula pelaku bisnis jeli menangkap fenomena ini? Adakah gaya hidup alternatif yang dapat mewakili simbol kemewahan tersebut? Hypeabis.id mencoba mengungkapnya dalam seri laporan khusus berikut ini.
1. Hypereport: Saat Barang Mewah Jadi Tolok Ukur dan Validasi Eksistensi
Dari generasi ke generasi, manusia telah memantapkan dirinya di sekitar hal-hal duniawi dan materialistis. Barang-barang mahal yang berasal dari merek ternama tidak hanya menawarkan kualitas terbaik tetapi juga kepuasan bagi pemiliknya. Tak heran jika kemewahan ini jadi alat untuk mendapatkan validasi dan meningkatkan status sosial.Setidaknya, produk high end sudah satu maju langkah lebih dahulu sebelum penggunanya mengeluarkan pernyataan apa pun. Pengamat fesyen, Sonny Muchlison setuju jika fesyen merupakan bahasa tanpa kata. Gaya berpakaian seseorang bisa menjadi alat komunikasi terbaik tanpa memerlukan satu patah kata pun.
Bahkan, sosialita yang juga berprofesi sebaegai dokter, Rininta Christabella pun memvalidasinya. Baginya, dua brand kesukaannya yakni Hermes dan Chanel sangat mendukung penampilan sehari-harinya. Sejak berusia 17 tahun, Rininta sudah mewarisi hobi koleksi tas dari ibunya.
Koleksi tas branded yang dijajal Rininta tidak semata dilakukan untuk menunjang penampilan. Lebih jauh, Rininta berpikir jika koleksi tas branded merupakan investasi jangka panjang yang menyenangkan.
2. Hypereport: Value Tinggi di Balik Preloved Luxury Brand
Barang fesyen preloved alias bekas pakai semakin digemari dalam beberapa tahun terakhir. Kesadaran akan sustainable atau keberlanjutan untuk meminimalisir pencemaran lingkungan dengan memperpanjang usia pakai barang semakin tumbuh, terutama di kalangan generasi muda.Co-founder dan COO Tinkerlust, Aliya Amitra, mengatakan barang preloved menjadi tren bagi kalangan generasi Z yang sudah sadar akan bahaya limbah fashion. Tidak dipungkiri, mengutip laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), industri fesyen menjadi penyumbang pencemaran lingkungan kedua di dunia.
Industri ini menghasilkan 8 persen dari emisi karbon, 20 persen limbah air, dan seperlima dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun pada skala global. Sementara itu, laporan dari Morgan McFall-Johnson di Weforum, industri tekstil menghabiskan 79 miliar kubik air pada 2017.
Jika Tinkerlust berbentuk platform atau marketplace, Irresistible Bazaar menjadi bazar preloved luxury terbesar di Indonesia yang sudah melaksanakan lebih dari 30 kali event sejak berdiri 2015 lalu. Founder Irresistible Bazaar dan Irress Urban Bazaar, Marisa Tumbuan menyebut lebih dari 80 seller atau tenant menyediakan produk preloved barang fesyen mewah dari desainer lokal maupun internasional pada setiap acara yang dibuatnya.
3. Hypereport: Mencoba Tetap Berkelas Walau dengan Barang Bekas
Seiring meningkatnya pendapatan di kalangan milenial dan Z, mereka pun berlomba-lomba mengubah personanya dengan memakai barang-barang mewah. Keberadaan berbagai jenama top tersebut disiasati dengan berburunya dari thrift shop agar mendapat harga yang lebih pas di kantong tapi tetap menjunjung orisinalitas dan tampilan.Perilaku ini memang jauh berbeda bila dibanding generasi sebelumnya. Alih-alih membeli barang tiruan, mereka justru memilih untuk membelanjakan uang pada barang mewah bekas tapi original. Tren ini pun berlaku di hampir sebagian besar anak-anak muda yang melek teknologi guna menunjukan eksistensi dan mendapat prestise sosial.
Irsyad (23) misalnya, lelaki yang mukim di Jakarta Selatan itu lebih cenderung berburu barang mewah second ketimbang membeli baru tapi tiruan. Pasalnya dengan cara seperti ini dia dapat menghemat belanja keuangan sekaligus mendapat keuntungan bila nanti barang tersebut diminati orang lain saat dipacak di laman medsosnya.
4. Hypereport: Kelokalan & Autentik jadi Kekuatan Brand Premium Tanah Air
Sejumlah merek premium produk asli Indonesia di bidang fesyen berhasil unjuk gigi, tidak hanya di pasar dalam negeri tapi juga luar negeri. Unsur kelokalan, keunikan, dan ciri khas yang dimiliki menjadi penyebab produk yang dihasilkan banyak digandungi oleh para konsumen.Nama-nama merek premium lokal yang sudah tidak asing bagi para pencinta fesyen antara lain Niluh Djelantik, Jetalla’ Anneiu, Zilia Leather, dan masih banyak lagi.
Harga produk yang ditawarkan oleh brand-brand asal Indonesia seperti Niluh Djelantik dan Jetalla’ Anneiu beragam, yakni dari jutaan rupiah sampai dengan puluhan juta rupiah. Tidak hanya itu, mereka juga memastikan bahwa produk yang dibuat merupakan buatan tangan atau handmade dengan bahan atau material berkualitas yang terjaga.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.