Ilustrasi anak yang bermain media sosia. (Sumber gambar : Freepik)

Dampak Buruk Bermain Roleplay, Psikolog Ingatkan Hal Ini

20 June 2023   |   20:26 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Istilah roleplay atau RP ramai diperbincangkan di media sosial. Walaupun sudah muncul beberapa tahun lalu, namun game ini seketika viral setelah seorang ayah memarahi anak perempuannya yang kedapatan tengah melakukan permainan tersebut. 

Dalam postingan yang viral di TikTok itu, sang anak diketahui masih berusia 11 tahun. Dia melakukan roleplay tidak sesuai usianya dan berinteraksi dengan orang tidak dikenal. 

Baca juga: Hindari Overfeeding, Begini Aturan Makan Anak yang Disarankan

Roleplay merupakan permainan peran. Seorang pemain atau disebut roleplayer bisa berperan sebagai karakter lain. Mereka menjadi tokoh fiksi yang berakting menyerupai sosok tersebut, termasuk dalam sikap, gaya bicara, hingga aktivitas. 

Paling banyak saat ini berperan menjadi aktor atau aktris Korea, anggota girlgroup, boygroup, maupun penyanyi. Tidak sedikit mereka menjadi tokoh publik.

Para roleplayer akan berinteraksi di media sosial dengan saling follow atau mutu Alan, entah itu di TikTok, Facebok, maupun Instagram. Terkadang, mereka menggunakan forum online, ruang obrolan, hingga situs web RP khusus. 

Roleplay atau menjalani karakter seseorang dengan menjadi tokoh fiksi ini tenyata dapat berpengaruh negatif pada tumbuh kembang anak loh, Genhype. Bahkan bisa memunculkan kriminalitas hingga kekerasan seksual. 

Psikolog Anak dan Keluarga dari Universitas Indonesia Rose Mini menyampaikan jika seorang anak berperan atau menghidupkan karakter sebuah film di media sosialnya, terutama tidak sesuai usia, tentu akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya.

Dia menjelaskan anak memiliki masa pertumbuhan dan perkembangan yang bertahap.  Anak TK, kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (SD) masih sangat operasionil. Anak pada masa tersebut belajar sesuatu secara konkret. 

Ketika anak bermain roleplay sesuai karakter film yang ditontonnya, mempraktikkan ke dalam dunia nyata, mereka tidak akan mengerti dampak yang ditimbulkan. Sebagai contoh, ketika mereka menyaksikan adegan kekerasan di film dan kemudian mempraktikkannya, mereka tidak tahu bahwa tindakan tersebut bisa merugikan orang lain bahkan membuat celaka. 

Termasuk adegan yang berbau sensualitas. Anak bisa saja mencontohnya tanpa mengerti dampak yang timbul pada dir mereka. “Roleplay akan menstimulasi anak untuk mencoba. Anak nggak bisa kontrol, nggak bisa dibendung (emosinya), jadi bahaya nantinya,” ujar wanita yang karb disapa Romi ini saat dihubungi Hypeabis.id, Selasa (20/6/2023). 

Dia menyampaikan anak usia dini atau belum sampai remaja belum paham rasa yang timbul akibat bergandengan tangan ataupun dipegang bahunya. Biasanya akan muncul reaksi kimia alami yang muncul pada tubuh seperti merinding. 

“Dia bayangkan itu belum pada tempatnya. Dia belum bisa mengontrol karena rem belum pakem, karena pengalaman hidup mereka masih pendek,” jelasnya. 

Selain tidak mengerti dampaknya, juga timbul berkonflik pada dirinya sendiri. Misal ketika orang tua tidak boleh untuk memukul, tetapi di film diperbolehkan.

Jika dibiarkan terus, roleplay bisa menciptakan adiksi atau kecanduan seperti halnya game. Menurut Romi, jika sudah pada tahap tersebut, mereka sulit untuk meninggalkannya.  “Karena otaknya sudah mengalami masalah. Ada sesuatu yang mendorong dia untuk melihat itu. Sama kaya orang kecanduan film porno,” tuturnya.

Seperti kecanduan game online, anak bisa saja perlahan meninggalkan interaksi hingga kehidupan sosialnya secara nyata. Tidak jarang mereka jadi malas untuk sekolah karena enggan keluar dari kamarnya akibat terlalu asik bermain roleplay, yang faktanya tidak mengenal teman fiksi itu dalam dunia nyata.

Terburuk, kesehatannya bisa terganggu akibat mereka kurang beraktivitas secara fisik. Alhasil ragam risiko penyakit pengintai, salah satu yang paling banyak ditemui yakni obesitas. “Anak SD, SMP masih perlu banyak gerak. Kalau duduk terus, itu enggak ada stimulasi, enggak ada motorik,” tegasnya.

Lantas bagaimana penanganannya? Romi menerangkan orang tua memiliki tanggung jawab melakukan pengawasan termasuk mengecek aktivitasnya di media sosial ataupun secara nyata. Jika kondisinya terlalu parah, sebaiknya segera berkonsultasi dengan pakar, termasuk psikolog. 

Lakukan diet penggunaan perangkat elektronik, dalam hal ini handphone hingga PC yang menjadi media mereka bermain roleplay. Bukan berarti melarang sepenuhnya mereka menggunakan perangkat tesebut, tetapi perlu dibatasi. 

Sebaiknya, orang tua atau pendamping membuat program pengalihan seperti mengajak mereka melakukan kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas fisik seperti olahraga, bela diri, atau mengikuti lomba yang terdiri dari ragam tantangan. Dengan demikian, anak tidak mager karena lebih banyak bergerak.   

Opsi lain menjalani hobi baru yang lebih positif dan sesuai minat mereka. Jika mereka hobi bermain peran, orang tua bisa memasukkan anak ke dalam kelompok teater, tentu disesuaikan dengan usia mereka.

Baca juga: Futsal Dianggap Sebagai Olahraga yang Lebih Rentan Bikin Cedera Anak-anak

Malanya banyak dr pemerintah pendidik, saya edukasi pubertas pada anak. Klo ajarkan pubertas bkn ke hubungan seksual tetapi lebih ke merawat diri,  Apa yg blh dan tidak. Waktu anak disentuh ketika puber berdampak kepada mau aja nanti melakukan. Berikan informasi itu, agar anak paham jangan sampai salah langkah. 

“Anak itu investasi orang tua paling mahal. Begitu salah mendidik, kita lihat kesalahan itu seumur hidup sampai meninggal,” ucap Romi mengingatkan.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

7 Ide Kegiatan Seru Orang Tua dan Anak Untuk Mengisi Liburan Sekolah

BERIKUTNYA

Instagram Punya Fitur Baru Broadcast Channel, Begini Cara Menggunakannya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: