Seniman Nunung W.S Memberikan Warna Berbeda dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia
16 June 2023 |
11:00 WIB
2
Likes
Like
Likes
Ketika banyak seniman abstrak menggoreskan karya dengan gaya spontan, kerap tidak terukur, dan tidak teratur, Nunung W.S tidak melakukannya dan menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Lukisan abstrak gayanya melalui sebuah proses penciptaan yang ekspresif, teratur, terukur, sehingga memberi warna terhadap seni rupa Indonesia.
Gaya abstrak itu diperoleh oleh sang seniman dalam proses yang cukup panjang. Berbagai pengalaman dan penciptaan karya telah dilaluinya. Sebelum mencapai pada saat ini, dia juga pernah memiliki karya dengan gaya realis dan abstrak yang berbeda dengan saat ini.
Dalam pameran bertajuk The Spirit Within yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia, perjalanan berkesenian wanita seniman kelahiran Lawang, Jawa Timur, itu dimulai dari karya dengan gaya realis. Karya berjudul Awal Perjalanan (70x88 cm, oil on canvas, 1977).
Baca juga: Karya Retrospektif Seniman Nunung W.S. Hadir dalam Pameran The Spirit Within
Lukisan itu menjadi salah satu karya titik balik Nunung untuk menjadi lebih yakin berprofesi sebagai seorang seniman. Dari karya itu, sang seniman terlihat mendapatkan sedikit pengaruh dari seniman Nashar dengan warna pastel, deduksi objek, dan sebagainya yang memunculkan komposisi tidak biasa.
Karya ini akan jauh berbeda dengan karya berjudul Verzon (2009) yang terdiri dari 7 panel dengan ukuran 150 x 150 cm dengan medium akrilik di atas kanvas. Dalam karya ini terlihat bahwa Nunung menggunakan bidang–bidang warna dan garis vertikal dan horizontal dalam berkespresi.
Dalam membuat karya itu, Candi Borobudur sebagai inspirasi dilihatnya sebagai kubis dan garis. Dengan begitu, maka berbagai objek seperti pintu, undakan, dan sebagainya yang terdapat di salah satu keajaiban dunia itu diekspresikannya melalui garis dan bidang berbentuk kubis.
Garis – garis dan palet warna yang disematkan dalam karya berjudul Verzon sangat tegas dan efisien. Kondisi ini berbeda dengan garis dalam lukisan realis berjudul Awal Perjalanan.
Nunung mengungkapkan perubahan gaya dari realis menuju abstrak terjadi setelah melalui proses yang tidak sebentar. Penggunaan gaya abstrak dalam melukis pada saat ini juga tidak pernah terpikirkan pada saat itu.
Dalam kenyataannya, seiring proses berkarya, benda-benda, objek, dan pemandangan alam atau lansekap yang berada di sekitarnya mengalami penyederhanaan yang berlangsung selama beberapa tahun sampai pada akhirnya menjadi abtrak.
“Saya mengatakan diri saya abstrak 1990an,” katanya.
Baginya, gaya abstrak menjadi tahapan selanjutnya lantaran merasa sudah cukup melihat realis yang ada di sekitarnya. Meskipun begitu, dia mengatakan bahwa realis tentang bentuk dan objek itu ada dalam dirinya.
Garis vertikal dan horizontal yang kerap tertuang dalam karyanya merupakan bentuk pemahamannya tentang pertemuan antara manusia dengan sang pencipta dan membuatnya menemukan ruang transenden yang ada di dalam diri.
Pada usianya yang tidak lagi muda, dia masih tidak dapat memastikan apakah gaya abstrak yang dimiliki pada saat ini menjadi akhir pencariannya atau tidak.
Kurator pameran Chabib Duta Hapsoro mengatakan bahwa ekspresi abstrak dalam lukisan seniman Nunung W.S berbeda dari seniman pada umumnya, sehingga memperkaya perbendaharaan visual dalam seni rupa Indonesia.
Karya abstrak dari wanita yang kini berusia 75 tahun itu memiliki suasana yang berbeda. Dia menjadi satu-satunya seniman abstrak dengan gaya yang digunakan saat ini.
Menurutnya, pencapaian gaya abstrak khas seniman yang telah berpameran di dalam dan luar negeri itu tidak terlepas dari pengaruh organik yang didapatnya dari mana saja. Selain itu, kematangan dan kedewasaan sang seniman juga menjadi bagian yang memengaruhi proses berkaryanya.
“Aspek fisik juga. Karena sudah senior, dia tidak bisa lagi mengerjakan yang sifatnya on the spot. Namun, lebih banyak di studio, merenung dan mencari spiritual,” ujarnya.
Pengaruh seniman Nashar dalam karya Nunung tidak lagi terlihat pada saat ini. Namun, spirit dan dedikasi dari sang maestro terhadap profesi dan karya seni masih tertinggal dalam diri seniman yang lahir pada 1948 silam. Kondisi itu dapat terlihat dari eksistensinya dalam dunia seni rupa meskipun usia tidak lagi muda.
Nashar merupakan guru bagi sang seniman pada periode awal berkarier. Dia yang merasa tidak puas terhadap proses pendidikan seni rupa di Akademisi Seni Rupa (Aksera) Surabaya dan berada pada masa kebimbangan merasa nyaman dan cocok belajar dari Nashar.
Salah satu alasannya memiliki rasa nyaman dan cocok adalah sikap sang guru yang memandangnya sebagai rekan sederajat dan tidak canggung dengan gender Nunung sebagai perempuan.
Di bawah bimbingan Nashar, kesadarannya mengalami perubahan. Benda-benda, objek, dan pemandangan di sekitarnya mulai diwujudkan dalam sejumlah penyederhanaan yang bebas. Tidak jarang dia melanggar kaidah bentuk dan anatomi figuratif dan komposisi rupa yang membidang dengan warna pastel yang tegas.
“Akan tetapi, rupa dalam lukisan itu tidak hadir kepada karya-karya gambar Nunung. Di sini, dia justru lebih eksrepsif dan efisien dalam mengelola tinta cina, arang, dan cat air atau akrilik di atas kertas,” katanya dalam pengantar kuratorial.
Gambar-gambar dari Nunung mewujud dengan tarikan senapas melalui medium cat air dengan sejumlah palet warna seperti biru, kuning, dan merah muda yang ringan serta diiringi goresan arang. Dia mengimbau lebih menyukai objek-objek yang menggetarkan hati.
Periode ini merupakan yang pertama tubuh-tubuh kekaryaan sang seniman jika dijajarkan secara runut. Sementara itu, periode kedua adalah masa sang seniman berkutat dengan ekspresi gestural. Periode ini tercermin dalam sapuan kuas yang kian ekspresif dan marak.
Pada masa ini, penghayatannya kian mendalam terhadap benda-benda dan alam di sekitarnya yang justru dalam manifestasiya makin menjauhi bentuk atau figur yang dilihat di alam. Kondisi ini bertolak dari penjiwaan Nunung terhadap alam dan kehidupan sekeliling yang kian tumbuh.
“Nunung juga makin terobsesi dengan warna. Palet warna-warnya makin beragam. Persepsinya terhadap warna memperlihatkan juga bagaimana warna menyatu dengan dirinya atau menjadi perpanjangan atas indra atau dirinya sendiri,” katanya.
Warna menjadi media untuk ungkapan yang liris. Sementara itu, dia juga meneladani ekspresi khas kaligrafi dalam menjelajahi ekspresi gestural. Ekspresi ini kian menuntunnya kepada pencarian pengalaman spiritual.
Pada periode ketiga, dirinya menemukan gaya pengungkapan lain yang memungkinkan diri terhubung kepada pengalaman spiritual secara lain. Dia mulai mengembangkan bidang warna dan tumpukan-tumpukannya.
Perbedaan mendasar dari ekspresi pada periode yang lalu adalah sang seniman banyak menghabiskan waktu untuk merenung dan membuat rancangan sebelum mengeksekusi sebuah karya. Pada periode abstrak gestural atau periode kedua, dia lebih banyak mengandalkan spontanitas dan intuisi.
Sementara pada periode yang berlangsung dari 1990an sampai sekarang, karya-karyanya hadir dengan palet warna yang efisien. Goresan-goresannya kian membentuk bidang dengan palet warna yang juga kian cermat. Bidang-bidang itu bertumpuk dengan batas yang menyugestikan suasana ambang.
Baca juga: Tua dan Berbeda, Yuk Kenalan dengan 5 Seniman Gaek yang Masih Terus Berkarya Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Gaya abstrak itu diperoleh oleh sang seniman dalam proses yang cukup panjang. Berbagai pengalaman dan penciptaan karya telah dilaluinya. Sebelum mencapai pada saat ini, dia juga pernah memiliki karya dengan gaya realis dan abstrak yang berbeda dengan saat ini.
Dalam pameran bertajuk The Spirit Within yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia, perjalanan berkesenian wanita seniman kelahiran Lawang, Jawa Timur, itu dimulai dari karya dengan gaya realis. Karya berjudul Awal Perjalanan (70x88 cm, oil on canvas, 1977).
Baca juga: Karya Retrospektif Seniman Nunung W.S. Hadir dalam Pameran The Spirit Within
Lukisan itu menjadi salah satu karya titik balik Nunung untuk menjadi lebih yakin berprofesi sebagai seorang seniman. Dari karya itu, sang seniman terlihat mendapatkan sedikit pengaruh dari seniman Nashar dengan warna pastel, deduksi objek, dan sebagainya yang memunculkan komposisi tidak biasa.
Seniman Nunung W.S (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Karya ini akan jauh berbeda dengan karya berjudul Verzon (2009) yang terdiri dari 7 panel dengan ukuran 150 x 150 cm dengan medium akrilik di atas kanvas. Dalam karya ini terlihat bahwa Nunung menggunakan bidang–bidang warna dan garis vertikal dan horizontal dalam berkespresi.
Dalam membuat karya itu, Candi Borobudur sebagai inspirasi dilihatnya sebagai kubis dan garis. Dengan begitu, maka berbagai objek seperti pintu, undakan, dan sebagainya yang terdapat di salah satu keajaiban dunia itu diekspresikannya melalui garis dan bidang berbentuk kubis.
Garis – garis dan palet warna yang disematkan dalam karya berjudul Verzon sangat tegas dan efisien. Kondisi ini berbeda dengan garis dalam lukisan realis berjudul Awal Perjalanan.
Awal Perjalanan, oil on canvas, 70x80 cm, 1977 (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Nunung mengungkapkan perubahan gaya dari realis menuju abstrak terjadi setelah melalui proses yang tidak sebentar. Penggunaan gaya abstrak dalam melukis pada saat ini juga tidak pernah terpikirkan pada saat itu.
Dalam kenyataannya, seiring proses berkarya, benda-benda, objek, dan pemandangan alam atau lansekap yang berada di sekitarnya mengalami penyederhanaan yang berlangsung selama beberapa tahun sampai pada akhirnya menjadi abtrak.
“Saya mengatakan diri saya abstrak 1990an,” katanya.
Baginya, gaya abstrak menjadi tahapan selanjutnya lantaran merasa sudah cukup melihat realis yang ada di sekitarnya. Meskipun begitu, dia mengatakan bahwa realis tentang bentuk dan objek itu ada dalam dirinya.
Garis vertikal dan horizontal yang kerap tertuang dalam karyanya merupakan bentuk pemahamannya tentang pertemuan antara manusia dengan sang pencipta dan membuatnya menemukan ruang transenden yang ada di dalam diri.
Pada usianya yang tidak lagi muda, dia masih tidak dapat memastikan apakah gaya abstrak yang dimiliki pada saat ini menjadi akhir pencariannya atau tidak.
Pengunjung di pameran tunggal Nunung W.S (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Kurator pameran Chabib Duta Hapsoro mengatakan bahwa ekspresi abstrak dalam lukisan seniman Nunung W.S berbeda dari seniman pada umumnya, sehingga memperkaya perbendaharaan visual dalam seni rupa Indonesia.
Karya abstrak dari wanita yang kini berusia 75 tahun itu memiliki suasana yang berbeda. Dia menjadi satu-satunya seniman abstrak dengan gaya yang digunakan saat ini.
Menurutnya, pencapaian gaya abstrak khas seniman yang telah berpameran di dalam dan luar negeri itu tidak terlepas dari pengaruh organik yang didapatnya dari mana saja. Selain itu, kematangan dan kedewasaan sang seniman juga menjadi bagian yang memengaruhi proses berkaryanya.
“Aspek fisik juga. Karena sudah senior, dia tidak bisa lagi mengerjakan yang sifatnya on the spot. Namun, lebih banyak di studio, merenung dan mencari spiritual,” ujarnya.
Pengaruh seniman Nashar dalam karya Nunung tidak lagi terlihat pada saat ini. Namun, spirit dan dedikasi dari sang maestro terhadap profesi dan karya seni masih tertinggal dalam diri seniman yang lahir pada 1948 silam. Kondisi itu dapat terlihat dari eksistensinya dalam dunia seni rupa meskipun usia tidak lagi muda.
Nashar merupakan guru bagi sang seniman pada periode awal berkarier. Dia yang merasa tidak puas terhadap proses pendidikan seni rupa di Akademisi Seni Rupa (Aksera) Surabaya dan berada pada masa kebimbangan merasa nyaman dan cocok belajar dari Nashar.
Bunga Kuning, 2002, Akrilik dalam kanvas 125x160 cm (Sumber gambar: Galeri Nasional Indonesia)
Salah satu alasannya memiliki rasa nyaman dan cocok adalah sikap sang guru yang memandangnya sebagai rekan sederajat dan tidak canggung dengan gender Nunung sebagai perempuan.
Di bawah bimbingan Nashar, kesadarannya mengalami perubahan. Benda-benda, objek, dan pemandangan di sekitarnya mulai diwujudkan dalam sejumlah penyederhanaan yang bebas. Tidak jarang dia melanggar kaidah bentuk dan anatomi figuratif dan komposisi rupa yang membidang dengan warna pastel yang tegas.
“Akan tetapi, rupa dalam lukisan itu tidak hadir kepada karya-karya gambar Nunung. Di sini, dia justru lebih eksrepsif dan efisien dalam mengelola tinta cina, arang, dan cat air atau akrilik di atas kertas,” katanya dalam pengantar kuratorial.
Gambar-gambar dari Nunung mewujud dengan tarikan senapas melalui medium cat air dengan sejumlah palet warna seperti biru, kuning, dan merah muda yang ringan serta diiringi goresan arang. Dia mengimbau lebih menyukai objek-objek yang menggetarkan hati.
Periode ini merupakan yang pertama tubuh-tubuh kekaryaan sang seniman jika dijajarkan secara runut. Sementara itu, periode kedua adalah masa sang seniman berkutat dengan ekspresi gestural. Periode ini tercermin dalam sapuan kuas yang kian ekspresif dan marak.
Pada masa ini, penghayatannya kian mendalam terhadap benda-benda dan alam di sekitarnya yang justru dalam manifestasiya makin menjauhi bentuk atau figur yang dilihat di alam. Kondisi ini bertolak dari penjiwaan Nunung terhadap alam dan kehidupan sekeliling yang kian tumbuh.
“Nunung juga makin terobsesi dengan warna. Palet warna-warnya makin beragam. Persepsinya terhadap warna memperlihatkan juga bagaimana warna menyatu dengan dirinya atau menjadi perpanjangan atas indra atau dirinya sendiri,” katanya.
Warna menjadi media untuk ungkapan yang liris. Sementara itu, dia juga meneladani ekspresi khas kaligrafi dalam menjelajahi ekspresi gestural. Ekspresi ini kian menuntunnya kepada pencarian pengalaman spiritual.
Pada periode ketiga, dirinya menemukan gaya pengungkapan lain yang memungkinkan diri terhubung kepada pengalaman spiritual secara lain. Dia mulai mengembangkan bidang warna dan tumpukan-tumpukannya.
Perbedaan mendasar dari ekspresi pada periode yang lalu adalah sang seniman banyak menghabiskan waktu untuk merenung dan membuat rancangan sebelum mengeksekusi sebuah karya. Pada periode abstrak gestural atau periode kedua, dia lebih banyak mengandalkan spontanitas dan intuisi.
Sementara pada periode yang berlangsung dari 1990an sampai sekarang, karya-karyanya hadir dengan palet warna yang efisien. Goresan-goresannya kian membentuk bidang dengan palet warna yang juga kian cermat. Bidang-bidang itu bertumpuk dengan batas yang menyugestikan suasana ambang.
Baca juga: Tua dan Berbeda, Yuk Kenalan dengan 5 Seniman Gaek yang Masih Terus Berkarya Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.