Hypereport: Saat Barang Mewah Jadi Tolok Ukur dan Validasi Eksistensi
10 June 2023 |
20:20 WIB
Dari generasi ke generasi, manusia telah memantapkan dirinya di sekitar hal-hal duniawi dan materialistis. Barang-barang mahal yang berasal dari merek ternama tidak hanya menawarkan kualitas terbaik tetapi juga kepuasan bagi pemiliknya. Tak heran jika kemewahan ini jadi alat untuk mendapatkan validasi dan meningkatkan status sosial.
Setidaknya, produk high end sudah satu maju langkah lebih dahulu sebelum penggunanya mengeluarkan pernyataan apa pun. Pengamat fesyen, Sonny Muchlison setuju jika fesyen merupakan bahasa tanpa kata. Gaya berpakaian seseorang bisa menjadi alat komunikasi terbaik tanpa memerlukan satu patah kata pun.
“Apa yang ditampilkan itu yang tampak, yang bisa diperbincangkan orang lain. Tidak usah banyak bicara ketika kita muncul dengan simbol produk mahal maka dia dengan sendirinya berbicara,” ujar Sonny kepada Hypeabis.id.
Baca juga:
1. Hypereport: Value Tinggi di Balik Preloved Luxury Brand
2. Hypereport: Mencoba Tetap Berkelas Walau dengan Barang Bekas
3. Hypereport: Kelokalan & Autentik jadi Kekuatan Brand Premium Tanah Air
Menurut Sonny, bahasa tanpa kata melalui gaya berpakaian yang turut mendorong menggeloranya tren penggunaan barang mewah. Setiap orang bisa menunjukkan siapa dirinya dengan cara yang mudah hanya lewat penampilan.
“Ini cara paling musah supaya penggunanya bisa ditandai oleh orang lain. Justru peran fesyen di sini nyata bahwa kenapa kita memperhatikan penampilan karena dengan sergap bisa dibaca orang lain dan pesan kita langsung sampai. Tidak ada komunikasi yang jauh lebih efektif daripada pakaian," tambahnya.
Pada kesempatan lain, sosialita yang juga berprofesi sebaegai dokter, Rininta Christabella pun melontarkan pernyataan senada. Baginya, dua brand kesukaannya yakni Hermes dan Chanel sangat mendukung penampilan sehari-harinya. Sejak berusia 17 tahun, Rininta sudah mewarisi hobi koleksi tas dari ibunya.
Koleksi tas branded yang dijajal Rininta tidak semata dilakukan untuk menunjang penampilan. Lebih jauh, Rininta berpikir jika koleksi tas branded merupakan investasi jangka panjang yang menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan, wanita berusia 33 tahun tersebut bisa menikmati hobinya di samping menjajal bisnis jual beli tas langka yang menggiurkan.
Hermes Himalaya, salah satu koleksi termahal Rininta ditaksir mencapai US$379.261 atau setara Rp5,5 miliar. Satu tas seharga properti itu saja bisa menjadi jaminan masa depan bagi Rininta. Wanita asli Surabaya ini tak menampik jika penggunaan barang branded masih dinilai sebagai cerminan strata sosial, khususnya di Asia. Namun, baginya penggunaan barang berkelas itu tak serta merta menentukan harga diri seseorang.
Namun, tak semut bila tak ada gula. Hingga kini, produk KW masih terus diincar oleh pasar penggunanya. Konsep klasik di mana penawaran akan tetap datang karena adanya permintaan. Laporan dari organisasi ekonomi OECD menyebut jika tren penjualan produk KW dan bajakan mewakili sekitar 3,3 persen dari semua perdagangan internasional.
Ini menandakan pasar penggunanya tak segan dalam menggunakan produk palsu. Sonny berpendapat, masih banyak yang abai dengan penggunaan produk KW. Lagian, tak semua orang sibuk mendeteksi keaslian produk high end.
“Ketidakpedulian ini membuat mereka berani saja menggunakan produk KW di tengah acara misalnya. Belum lagi produk KW sekelebat memiliki rupa yang sama produk asli,” jelas Sonny.
Penggunaan produk palsu tampak sebagai perbuatan membohongi publik. Namun bagi Rininta, menggunakan barang KW justru membohongi diri sendiri. Sedih. Kata Rininta tentang sebagian orang yang memilih menggunakan produk KW demi validasi semata. Karena bagi Rininta, ini berkaitan dengan nilai-nilai dari dalam diri sendiri.
Jika menilik lebih dalam, fenomena ini bisa dipandang juga dari sisi psikologi manusia. Psikolog Klinis A. Kasandra Putranto mengatakan, fenomena ini terdorong dari faktor tekanan sosial. Individu merasa dibebankan untuk memenuhi standar konsumsi yang ditetapkan kelompok agar mereka diterima atau diakui.
Menurut Kasandra, ada sebuah tren di mana pembelian barang branded bisa menjadi simbol status sosial tinggi yang akan menandai keamanan finansial dan pencapaian mereka. Namun, pembelian barang branded tak melulu dibutuhkan untuk mengejar validasi. Bentuk penghargaan diri juga bisa mendorong seseorang membeli produk berharga fantastis tersebut. Citra berbagai produk high end akan mempengaruhi preferensi individu dalam membangun citranya.
Di sisi lain, menggeliatnya industri produk high end tiruan mendapatkan tempatnya sendiri sesuai dengan kebutuhan pasarnya. Tekanan sosial mempengaruhi keinginan untuk divalidasi ini mengekor dengan kebutuhan penyesuaian diri terhadap tren.
“Membeli barang KW dapat menjadi upaya untuk menyesuaikan diri dengan tren dan gaya hidup kelompok sosial tertentu. Dan untuk beberapa orang mungkin merasakan tekanan untuk terlihat lebih fashionable atau tren terkini namun mereka mungkin tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk membeli produk asli,” ujar Kasandra.
Maka produk KW dipilih sebagai alternatif yang lebih terjangkau agar tetap bisa tampil modis dan berkelas. Belum lagi, luasnya media sosial saat ini ikut mendorong pengaruh tekanan sosial bertambah besar. Individu akan membandingkan dirinya dengan norma kecantikan dan penampilan yang dipromosikan secara tersirat di media sosial. Lagi-lagi, ini berkaitan dengan kepuasan dari validasi sosial yang memuaskan hasrat pelakunya.
Terlepas dari itu semua, perlu disadari jika produk high end merupakan kebutuhan tersier. Sehingga diperlukan kebijakan dari setiap orang untuk mengontrol dorongan berbelanja agar tidak menjadi impulsif. Meski kerap disebut sebagai sosialita, Rininta pun tetap memperhatikan batas pengeluaran dan penghasilan yang didapat. Baginya, itu merupakan syarat utama memiliki hobi koleksi barang mewah, yakni penghasilan harus lebih besar dari pengeluaran.
Bisa dikatakan, hal itu menjadi titik sadar tentang taraf ekonomi dan finansial yang sedang disandang saat ini. Perlu dipisahkan pula antara produk branded yang akan diputar ulang untuk investasi dan kesenangan pribadi.
"Pakai branded itu harus pintar, mana yang untuk investasi dan mana yang untuk kesenangan sendiri,” tegas Rininta.
Dari sisi psikologi, dorongan impulsif bisa ditekan dengan membentuk kesadaran diri. Salah satu caranya adalah memberikan jeda waktu untuk berpikir ulang sebelum membeli produk tersier. Kasandra menuturkan, berikan diri jendela waktu untuk berpikir secara lebih rasional. Tentukan batasan waktu, misalnya 24 jam atau beberapa hari sebelum benar-benar melakukan pembelian.
Memahami dorongan impulsif juga memberi kesempatan setiap individu untuk berpikir dua kali tentang kondisi finansial, status sosial, dan taraf ekonomi yang sedang disandang. Hasilnya, orang-orang mampu berkaca dengan kemampuan dan prioritas kebutuhannya saat ini.
Seperti kata Rininta, memaksakan diri membeli produk mahal diluar prioritas sama halnya dengan menipu dan membohongi diri sendiri. Pilihan tetap berada di tangan setiap individu. Memaksa diri demi validasi, atau menjaga prioritas sesuai kelas?
Baca juga: Menyingkap Industri Duplikasi Tas Branded dan Tren Konsumen Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Setidaknya, produk high end sudah satu maju langkah lebih dahulu sebelum penggunanya mengeluarkan pernyataan apa pun. Pengamat fesyen, Sonny Muchlison setuju jika fesyen merupakan bahasa tanpa kata. Gaya berpakaian seseorang bisa menjadi alat komunikasi terbaik tanpa memerlukan satu patah kata pun.
“Apa yang ditampilkan itu yang tampak, yang bisa diperbincangkan orang lain. Tidak usah banyak bicara ketika kita muncul dengan simbol produk mahal maka dia dengan sendirinya berbicara,” ujar Sonny kepada Hypeabis.id.
Baca juga:
1. Hypereport: Value Tinggi di Balik Preloved Luxury Brand
2. Hypereport: Mencoba Tetap Berkelas Walau dengan Barang Bekas
3. Hypereport: Kelokalan & Autentik jadi Kekuatan Brand Premium Tanah Air
Menurut Sonny, bahasa tanpa kata melalui gaya berpakaian yang turut mendorong menggeloranya tren penggunaan barang mewah. Setiap orang bisa menunjukkan siapa dirinya dengan cara yang mudah hanya lewat penampilan.
“Ini cara paling musah supaya penggunanya bisa ditandai oleh orang lain. Justru peran fesyen di sini nyata bahwa kenapa kita memperhatikan penampilan karena dengan sergap bisa dibaca orang lain dan pesan kita langsung sampai. Tidak ada komunikasi yang jauh lebih efektif daripada pakaian," tambahnya.
Pada kesempatan lain, sosialita yang juga berprofesi sebaegai dokter, Rininta Christabella pun melontarkan pernyataan senada. Baginya, dua brand kesukaannya yakni Hermes dan Chanel sangat mendukung penampilan sehari-harinya. Sejak berusia 17 tahun, Rininta sudah mewarisi hobi koleksi tas dari ibunya.
Koleksi tas branded yang dijajal Rininta tidak semata dilakukan untuk menunjang penampilan. Lebih jauh, Rininta berpikir jika koleksi tas branded merupakan investasi jangka panjang yang menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan, wanita berusia 33 tahun tersebut bisa menikmati hobinya di samping menjajal bisnis jual beli tas langka yang menggiurkan.
Hermes Himalaya, salah satu koleksi termahal Rininta ditaksir mencapai US$379.261 atau setara Rp5,5 miliar. Satu tas seharga properti itu saja bisa menjadi jaminan masa depan bagi Rininta. Wanita asli Surabaya ini tak menampik jika penggunaan barang branded masih dinilai sebagai cerminan strata sosial, khususnya di Asia. Namun, baginya penggunaan barang berkelas itu tak serta merta menentukan harga diri seseorang.
Produk KW Sebagai Alternatif
Sayangnya, gemerlap barang mewah ini membuat sebagian orang gelap mata. Tak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk tampil trendi. Salah satunya adalah dengan penggunaan barang tiruan atau yang bisa disebut dengan produk KW. Tak jelas kapan pastinya fenomena ini merebak.Namun, tak semut bila tak ada gula. Hingga kini, produk KW masih terus diincar oleh pasar penggunanya. Konsep klasik di mana penawaran akan tetap datang karena adanya permintaan. Laporan dari organisasi ekonomi OECD menyebut jika tren penjualan produk KW dan bajakan mewakili sekitar 3,3 persen dari semua perdagangan internasional.
Ini menandakan pasar penggunanya tak segan dalam menggunakan produk palsu. Sonny berpendapat, masih banyak yang abai dengan penggunaan produk KW. Lagian, tak semua orang sibuk mendeteksi keaslian produk high end.
“Ketidakpedulian ini membuat mereka berani saja menggunakan produk KW di tengah acara misalnya. Belum lagi produk KW sekelebat memiliki rupa yang sama produk asli,” jelas Sonny.
Penggunaan produk palsu tampak sebagai perbuatan membohongi publik. Namun bagi Rininta, menggunakan barang KW justru membohongi diri sendiri. Sedih. Kata Rininta tentang sebagian orang yang memilih menggunakan produk KW demi validasi semata. Karena bagi Rininta, ini berkaitan dengan nilai-nilai dari dalam diri sendiri.
Jika menilik lebih dalam, fenomena ini bisa dipandang juga dari sisi psikologi manusia. Psikolog Klinis A. Kasandra Putranto mengatakan, fenomena ini terdorong dari faktor tekanan sosial. Individu merasa dibebankan untuk memenuhi standar konsumsi yang ditetapkan kelompok agar mereka diterima atau diakui.
Menurut Kasandra, ada sebuah tren di mana pembelian barang branded bisa menjadi simbol status sosial tinggi yang akan menandai keamanan finansial dan pencapaian mereka. Namun, pembelian barang branded tak melulu dibutuhkan untuk mengejar validasi. Bentuk penghargaan diri juga bisa mendorong seseorang membeli produk berharga fantastis tersebut. Citra berbagai produk high end akan mempengaruhi preferensi individu dalam membangun citranya.
Karakter Samantha Jones (Kim Cattrall) memamerkan tas Fendi palsu. (Sumber foto: HBO)
“Membeli barang KW dapat menjadi upaya untuk menyesuaikan diri dengan tren dan gaya hidup kelompok sosial tertentu. Dan untuk beberapa orang mungkin merasakan tekanan untuk terlihat lebih fashionable atau tren terkini namun mereka mungkin tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk membeli produk asli,” ujar Kasandra.
Maka produk KW dipilih sebagai alternatif yang lebih terjangkau agar tetap bisa tampil modis dan berkelas. Belum lagi, luasnya media sosial saat ini ikut mendorong pengaruh tekanan sosial bertambah besar. Individu akan membandingkan dirinya dengan norma kecantikan dan penampilan yang dipromosikan secara tersirat di media sosial. Lagi-lagi, ini berkaitan dengan kepuasan dari validasi sosial yang memuaskan hasrat pelakunya.
Terlepas dari itu semua, perlu disadari jika produk high end merupakan kebutuhan tersier. Sehingga diperlukan kebijakan dari setiap orang untuk mengontrol dorongan berbelanja agar tidak menjadi impulsif. Meski kerap disebut sebagai sosialita, Rininta pun tetap memperhatikan batas pengeluaran dan penghasilan yang didapat. Baginya, itu merupakan syarat utama memiliki hobi koleksi barang mewah, yakni penghasilan harus lebih besar dari pengeluaran.
Bisa dikatakan, hal itu menjadi titik sadar tentang taraf ekonomi dan finansial yang sedang disandang saat ini. Perlu dipisahkan pula antara produk branded yang akan diputar ulang untuk investasi dan kesenangan pribadi.
"Pakai branded itu harus pintar, mana yang untuk investasi dan mana yang untuk kesenangan sendiri,” tegas Rininta.
Dari sisi psikologi, dorongan impulsif bisa ditekan dengan membentuk kesadaran diri. Salah satu caranya adalah memberikan jeda waktu untuk berpikir ulang sebelum membeli produk tersier. Kasandra menuturkan, berikan diri jendela waktu untuk berpikir secara lebih rasional. Tentukan batasan waktu, misalnya 24 jam atau beberapa hari sebelum benar-benar melakukan pembelian.
Memahami dorongan impulsif juga memberi kesempatan setiap individu untuk berpikir dua kali tentang kondisi finansial, status sosial, dan taraf ekonomi yang sedang disandang. Hasilnya, orang-orang mampu berkaca dengan kemampuan dan prioritas kebutuhannya saat ini.
Seperti kata Rininta, memaksakan diri membeli produk mahal diluar prioritas sama halnya dengan menipu dan membohongi diri sendiri. Pilihan tetap berada di tangan setiap individu. Memaksa diri demi validasi, atau menjaga prioritas sesuai kelas?
Baca juga: Menyingkap Industri Duplikasi Tas Branded dan Tren Konsumen Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.