Menyingkap Industri Duplikasi Tas Branded dan Tren Konsumen Indonesia
18 May 2023 |
16:00 WIB
Menarik untuk melihat cara selebriti bergaya. Mereka bersinar dengan pakaian dan aksesoris berharga selangit, melenggang di gelaran karpet merah dan melemparkan senyum manis pada setiap kamera yang menangkap setiap gerak-gerik mereka.
Belakangan ini Genhype mungkin familiar dengan istilah 'airport fashion' di mana para pesohor datang ke bandar udara dengan padu padan pakaian terbaik mereka yang total harganya setara dengan satu unit mobil listrik keluaran terbaru.
Tidak hanya pakaian, tapi aksesoris yang mereka kenakan mulai dari tas, jam tangan, sepatu hingga kacamata hitam dengan harga selangit jadi pembahasan di media sosial. Tampilan mereka sedikit banyak turut memengaruhi kecenderungan penggemar untuk memiliki barang yang sama.
Baca juga: 7 Hierarki Brand Mewah, dari Everyday Luxury hingga Bespoke
Menterengnya tas-tas itu menggelitik rasa penasaran banyak orang. Bagaimana sebuah Bottega Veneta Desiree Bag yang dibawa Dua Lipa di gelaran Met Gala 2023 begitu menyita perhatian? Atau Coachtopia, tas daur ulang yang dibawa Maya Penn yang belakangan berhasil menyedot perhatian Gen Z? Rumbai baguette fringes klasik dari brand Fendi yang dibawa Delfina Delettrez juga tak kalah unik.
Namun, yang paling mengejutkan adalah jenis tas tangan yang dibawa putri miliarder India, Isha Ambani. Sebuah tas karya Karl Lagerfeld yang terinspirasi dari boneka Matryoshka Rusia itu punya harga yang bikin mulut menganga.
Dalam kurs saat ini, Chanel Doll Purse ditaksir seharga US$60.000 atau setara Rp885 juta. Eksklusivitas dan harga selangit membuat publik gelap mata. Mereka juga ingin terlihat sama mahalnya dengan tampilan selebriti. Ada dunia yang mau menjawab rasa haus itu.
Gilanya era duplikasi lahir sebagai jawaban yang menggelitik fakta. Metode yang awalnya diciptakan untuk tujuan perlindungan justru menjatuhkan para kreator asli. Bak imajinasi yang dijarah, penyalahgunaan duplikasi bukan bicara soal cuan saja.
Ini terkait dengan kekayaan intelektual di mana banyak negara di dunia sudah mengambil konsentrasi penuh. Hanya saja, dibalik segudang aturan tertulis mengenai kekayaan intelektual, penegasan untuk pelanggaran seperti ini masih carut marut.
Curi mencuri, bajak membajak, ambil mengambil kekayaan intelektual sudah biasa terjadi dalam dunia mode. Duplikasi sepihak dalam industri fesyen bak melibas jerih payah rumah mode dalam menggaungkan produknya.
Produk-produk palsu menjadi surga bagi para pengejar status sosial. Tak menampik, sebagian orang mungkin membutuhkan validasi sosial untuk terlihat berkelas di muka publik. Orang-orang seperti ini berusaha mencari alternatif untuk memenuhi nafsunya yang tak bisa memberi produk orisinal.
Produk mewah berangkat dengan kaitan emosional pelanggannya untuk pemenuhan aktualisasi. Selain soal kualitas dan kenyamanan, mereka punya strategi pemasaran untuk menggaungkan jika eksklusivitas menjadi kunci untuk segera membeli suatu produk. Ini turut menciptakan persaingan di antara target pasar mereka. Sayangnya, dunia mode mewah ini teracak-acak dari sisi pasar lain.
Industri gelap duplikasi produk fesyen menjawab kebutuhan konsumen ini. Mereka menggelar karpet merah, menjaring pasar dan mempersilahkan mereka melihat-lihat hingga akhirnya kepincut dengan harga yang murah.
Siapa tak mau bergaya dan melenggang di mall mewah sambil menjinjing tas bermerek dari rumah mode ternama? Banyak yang memilih merahasiakan soal keaslian tas-tas itu. Toh, tak sedikit produk yang tampilannya sekilas sangat mirip dengan yang asli.
Produk palsu bersaing dengan cara yang tidak tanggung-tanggung. Pabriknya mengklasifikasi jenis-jenis barang palsu dengan beberapa tingkatan. Tentu ini membutuhkan perhatian khusus. Istilah KW sering dipakai untuk menggambarkan kualitas barang palsu.
Barang palsu yang dibuat dengan material ramah di kantong disebut sebagai KW 2. Di atasnya, KW 1, memperhatikan bagaimana tampilan yang sedemikian mungkin mirip dengan barang asli tapi tak memperhatikan bagaimana kualitas materialnya.
Tingkatan itu terus merangkak naik hingga KW Super, KW Super Premium, dan jenis KW lainnya yang dibedakan secara dasar dari bentuk tampilan barang dan material bahan. Semakin rupa dan kualitasnya mirip dengan yang asli, maka barangnya akan semakin mahal. Belakangan, kualitas mirror 1:1 bahkan diklaim memiliki kualitas dan tampilan yang hampir mirip persis dengan aslinya.
Menggunakan produk palsu memang bermain gengsi-gengsian. Pasarnya akan selalu ada meski menutup mulut ketika ditanya soal keaslian. Begitulah bagaimana industri mode orisinal terjarah setidaknya dalam beberapa dekade terakhir. Kebanggaan menggunakan tas branded mendorong sebagian konsumen gelap mata. Industri ini sudah ada sejak lama, membuntuti setiap produk baru incaran konsumen yang tak mampu membeli produk orisinal.
Adapun Jakarta menjadi pasar empuk bagi industri tas branded palsu. Kota metropolitan ini punya banyak persaingan kelas sosial yang memantik nilai kebanggaan dengan penggunaan suatu produk. Bagi yang tak mampu mengeluarkan uang puluhan juta, mereka bisa saja berangkat ke kawasan mall di sudut-sudut kota. ITC Mangga Dua, ITC Depok, dan Blok M Square merupakan tiga di antara surga produk palsu dengan pedagang yang terang-terangan menjajakan produknya di etalase toko.
Suatu sore, Hypeabis.id mencoba menjajal Blok M Square untuk melihat-lihat bagaimana produk palsu menarik minat pembeli. Bukan hanya sepatu-sepatu dengan merk branded palsu, tas-tas yang menyematkan logo-logo produk high end pun menyebar di sudut-sudut pusat perbelanjaan ini.
Memang tak sebanyak yang dijajakan di ITC Mangga Dua, tetapi lokasi tengah kota membuat tempat ini sempurna menjadi surga orang bergaya selangit dengan produk murah. Tak cocok dengan harganya, tawar terus saja hingga uangnya sesuai dengan kocek.
Di sana, tas-tas mengkilap dengan ornamen Celine, Dior, Gucci, hingga Hermes tertata sempurna di etalase toko. Beberapa di antaranya tampak sangat mirip dari kejauhan. Hypeabis.id memperhatikan satu demi satu pelanggan masuk dan melihat-lihat tas Coach. Mata mereka berbinar membolak-balik tas itu, memperhatikan setiap detail agar benar-benar terlihat sama dengan aslinya. Silih berganti orang tanya-tanya harga. Rasa penasaran cukup menggelitik pikiran.
Suasana mal saat itu cukup ramai. Terjadi tawar menawar harga di sudut etalase yang menjajakan Hermes palsu di lantai 1. Ekor mata pun langsung terpancing dengan Hermes Mini Evelyn di sudut atas rak. Setelah melihat-lihat di internet sebelumnya , sekilas ada beberapa detail visual yang berbeda dengan produk asli yang ada di situs resmi Hermes.
Hypeabis.id pun mendapatkan informasi bahwa satu tas cantik itu dihargai sebesar Rp550.000 atau 1,78 persen dari harga aslinya yakni US$2.050 atau setara dengan Rp30,2 juta. Ketika ditanyai soal kualitas, pria paruh baya yang juga penjaga toko dengan senyuman menjawab bahwa itu adalah tas grade ori yang diimpor dari China.
Tengak-tengok ke etalase di depannya, Hypeabis.id menemukan sebuah Chanel Classic berwarna abu-abu mencoba menggoda mata. Pedagang masih memberikan kisaran harga yang sama dengan sedikit bonus. “Bisa tawar kak,” katanya.
Situs resmi Chanel menunjukkan Channel Classic dijual seharga US$9.600 atau Rp141,6 juta. Setelah coba mengambil foto-foto dari tas itu dengan alasan pertimbangan Hypeabis.id pun memilih untuk melipir ke bilangan Dharmanwangsa untuk bertemu langsung dengan ahlinya.
Tas-tas mewah terbungkus rapi dengan plastik. Para shopping assistant mondar-mandir menata, mengelap, dan mengecek setiap sudut tas dengan detail. Tiba-tiba sebuah Hermes Mini Evelyn mencuri pandangan, tas yang versi palsunya barusan saja ditawarkan dengan harga begitu terjangkau.
Ketika mencoba meraba tekstur tas itu, terdapat sedikit membedakan hal mencolok dari jenis tas yang sama tapi tak serupa. Begitupun dengan sang incaran semua wanita milenial, Chanel Classic berwarna merah di bagian lain etalase.
Hypeabis.id pun berbincang dengan pemilik toko, Marisa Tumbuan, pengusaha ritel yang berkecimpung dalam produk high end lewat toko barang branded tangan kedua, Ginger Lux Things. Dari sekian banyak pertanyaan yang ingin disampaikan, Marisa tampak paham mengapa brand high end seperti Chanel begitu 'pasaran' di sektor produk tiruan.
“Chanel memang konsisten dan selalu diinginkan dalam bisnis wanita,” katanya sembari menuangkan espresso di atas affogato yang dipesannya.
Baginya, industri tas produk high end belakangan ini semakin menarik. Kehadiran brand ambassador dengan ikon-ikon generasi milenial dan Gen Z turut meramu selera pasar anak muda akan jenis produk mewah ini. Ini turut mendorong bisnis preloved produk branded yang dikembangkannya.
Tak banyak orang memicingkan mata lagi dengan produk tangan kedua atau preloved. Bukan soal gengsi-gengsian, barang preloved justru dianggap sebagai cara memperpanjang masa hidup suatu produk, dengan catatan produk yang memang dibuat berkualitas sejak awal.
“Banyak anak muda yang meneruskan tas-tas mewah dari mamanya, dalam arti ini bisa digunakan untuk beberapa generasi dan jadi tren keberlanjutan. Makanya pasar preloved di kita juga banyak yang minat,” kata Marisa.
Apalagi, banyak tas-tas branded punya harga yang begitu dinamis. Misalnya, Lady Dior keluaran 1995 dengan harga yang cenderung stabil menanjak. Tas itu pernah terjual dengan harga US$5000 atau setara Rp73,7 juta. Namun saat ini, jenis tas yang dibawa Putri Diana pada Met Gala 1996 itu terus menanjak mencapai harga Rp90 jutaan.
Sembari menyeruput minumannya, Marisa menjelaskan jika memang begitulah realita dunia mode. Berbeda dengan teknologi yang mengalami depresiasi, fesyen punya gejolaknya sendiri. Kehadiran model-model baru tidak serta merta membuat harganya lebih mahal dibanding model lama.
Itu semua tidak lepas dari proses branding dan pemasaran yang dilakukan oleh tiap-tiap rumah mode. Belum lagi jika desainer tas tersebut memiliki nama yang bagus, didukung dengan deretan selebriti yang memamerkan dan mempublikasinya dimana-mana.
“Seperti ada sebuah cerita abadi untuk para penggemar fesyen,” tegas Marisa menggambarkan. Berbeda dengan kebutuhan primer, tas-tas mewah ini melahirkan kisah yang berjalan. Semakin langka suatu tas, akan selalu ada dua keputusan yang mengisi pasar penikmatnya.
Ada yang mau melepas, ada yang justru tak ingin melepasnya. Benar. Kelangkaan turut memenuhi gejolak emosional para sosialita mengenai barang-barang ini. Bagi yang nafsunya tak sebanding dengan kocek, jalan gelap menawarkan godaan.
Beredarnya tas palsu bukan rahasia umum lagi. Marisa punya penilaian, jika pabrik-pabrik produksi masal di China memang semakin serius memperdalam teknologi untuk menciptakan produk yang amat mirip dengan aslinya. Bak si kembar yang terlihat serupa, pasti ada saja perbedaan yang akhirnya menjawab indera penglihatan kita. Marisa bilang, akan selalu ada celah dari produk palsu asal beberapa titik benar-benar diperhatikan dengan jeli.
“Dari segi bau leather, garis-garis kulit, grafiran di hardware, alur jahitannya, zipper, ketebalan kulit, itu kalau kita pelajari itu pasti ada celahnya,” jawabnya. Balasan Marisa memberi bukti jika pasar tas branded tak main-main soal keaslian barang. Mereka harus benar-benar cerdas dan apik sebelum memutuskan membeli suatu barang. Merabaknya jasa authentication produk branded juga banyak membantu calon pembeli yang tak punya waktu.
Mereka siap menawarkan jasa pengecekan keaslian produk dari rumah mode tertentu dengan jaminan yang tak tanggung-tanggung. “Autentication service bahkan memberi jaminan penggantian unit dengan produk orisinal apabila terdapat kesalahan autentikasi dari sertifikasi yang mereka berikan,” terang Marisa menutup obrolan kami di sore itu.
Dalam perjalanan, jari terasa tergelitik untuk membuka galeri smartphone guna melihat-lihat dokumentasi tas-tas tiruan dan versi aslinya. Berkali-kali zoom in dan zoom out dilakukan untuk mendapatkan gambaran detail setiap tas-tas itu.
Apakah benar orang-orang kesulitan menemukan perbedaannya? Apakah kolektor pernah punya keresahan yang sama? Jika memang bisa dibedakan, mengapa masih banyak yang tertipu?
Baca juga: Mengenal 5 Kasta Brand Mewah Dunia
Malamnya, Hypeabis.id mencoba menghubungi seorang dokter sekaligus sosok yang dikenal sebagai sosialita, Rininta Christabella. Dia sangat menyukai koleksi Hermes dan Chanel. Baginya, kedua brand itu tahan banting dan hal pentingnya, memiliki harga yang stabil.
Hobi koleksi yang dilakukannya dari usia 17 tahun itu memang diperuntukan untuk investasi. Tentu saja, kestabilan harga tas-tas mewah itu jadi hal penting bagi Rininta. Terlebih, dia sengaja memilih koleksi tas yang sederhana dan elegan. “Supaya bisa dipakai ke semua occasion,” katanya menjawab.
Di antara koleksinya yang paling mahal, Rininta menyebut Hermes Himalaya berwarna abu terang menjadi salah satu barang koleksi yang begitu langka. Satu pencetan tombol di mesin pencari pun menunjukkan bahwa tas dari merek bespoke ini ditaksir seharga US$379.261 atau setara Rp5,5 miliar.
Bagaimana para sosialita ini memastikan tas yang dimilikinya asli?
Rininta tak menampik. Dia pernah kesulitan membedakan tas orisinal dan KW saking majunya industri gelap tas-tas palsu itu. Terkadang dia harus benar-benar lihat, pegang, merasakan tekstur tasnya. Namun, wanita berusia 33 tahun itu punya cara pembeda paling utama. “Paling membedakan itu baunya. Bau tas-tas branded itu khas dan sangat sulit ditiru,” katanya.
Tas-tas asli yang dibanderol miliaran rupiah itu dikerjakan melalui buatan tangan secara autentik. Maka jahitan dan grafir dari ornamennya akan terlihat sangat detail. Itu cukup membedakan perbedaanya dengan produk produksi massal yang tak kencang soal tiap elemen tas.
“Selain cek registrasi, bawa aja ke tempat spa tasnya. Misalnya Hermes Spa yang ada di Singapura atau Paris. Di sana tas-tas yang tidak terbukti asli akan langsung digunting,” ujar Rininta menutup obrolan malam kami.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Belakangan ini Genhype mungkin familiar dengan istilah 'airport fashion' di mana para pesohor datang ke bandar udara dengan padu padan pakaian terbaik mereka yang total harganya setara dengan satu unit mobil listrik keluaran terbaru.
Tidak hanya pakaian, tapi aksesoris yang mereka kenakan mulai dari tas, jam tangan, sepatu hingga kacamata hitam dengan harga selangit jadi pembahasan di media sosial. Tampilan mereka sedikit banyak turut memengaruhi kecenderungan penggemar untuk memiliki barang yang sama.
Baca juga: 7 Hierarki Brand Mewah, dari Everyday Luxury hingga Bespoke
Menterengnya tas-tas itu menggelitik rasa penasaran banyak orang. Bagaimana sebuah Bottega Veneta Desiree Bag yang dibawa Dua Lipa di gelaran Met Gala 2023 begitu menyita perhatian? Atau Coachtopia, tas daur ulang yang dibawa Maya Penn yang belakangan berhasil menyedot perhatian Gen Z? Rumbai baguette fringes klasik dari brand Fendi yang dibawa Delfina Delettrez juga tak kalah unik.
Namun, yang paling mengejutkan adalah jenis tas tangan yang dibawa putri miliarder India, Isha Ambani. Sebuah tas karya Karl Lagerfeld yang terinspirasi dari boneka Matryoshka Rusia itu punya harga yang bikin mulut menganga.
Dalam kurs saat ini, Chanel Doll Purse ditaksir seharga US$60.000 atau setara Rp885 juta. Eksklusivitas dan harga selangit membuat publik gelap mata. Mereka juga ingin terlihat sama mahalnya dengan tampilan selebriti. Ada dunia yang mau menjawab rasa haus itu.
Ilustrasi tas mewah. (Sumber foto: Unsplash/Nassim Boughazi)
Ini terkait dengan kekayaan intelektual di mana banyak negara di dunia sudah mengambil konsentrasi penuh. Hanya saja, dibalik segudang aturan tertulis mengenai kekayaan intelektual, penegasan untuk pelanggaran seperti ini masih carut marut.
Curi mencuri, bajak membajak, ambil mengambil kekayaan intelektual sudah biasa terjadi dalam dunia mode. Duplikasi sepihak dalam industri fesyen bak melibas jerih payah rumah mode dalam menggaungkan produknya.
Produk-produk palsu menjadi surga bagi para pengejar status sosial. Tak menampik, sebagian orang mungkin membutuhkan validasi sosial untuk terlihat berkelas di muka publik. Orang-orang seperti ini berusaha mencari alternatif untuk memenuhi nafsunya yang tak bisa memberi produk orisinal.
Produk mewah berangkat dengan kaitan emosional pelanggannya untuk pemenuhan aktualisasi. Selain soal kualitas dan kenyamanan, mereka punya strategi pemasaran untuk menggaungkan jika eksklusivitas menjadi kunci untuk segera membeli suatu produk. Ini turut menciptakan persaingan di antara target pasar mereka. Sayangnya, dunia mode mewah ini teracak-acak dari sisi pasar lain.
Industri gelap duplikasi produk fesyen menjawab kebutuhan konsumen ini. Mereka menggelar karpet merah, menjaring pasar dan mempersilahkan mereka melihat-lihat hingga akhirnya kepincut dengan harga yang murah.
Jargon Produk KW
Siapa tak mau bergaya dan melenggang di mall mewah sambil menjinjing tas bermerek dari rumah mode ternama? Banyak yang memilih merahasiakan soal keaslian tas-tas itu. Toh, tak sedikit produk yang tampilannya sekilas sangat mirip dengan yang asli.Produk palsu bersaing dengan cara yang tidak tanggung-tanggung. Pabriknya mengklasifikasi jenis-jenis barang palsu dengan beberapa tingkatan. Tentu ini membutuhkan perhatian khusus. Istilah KW sering dipakai untuk menggambarkan kualitas barang palsu.
Barang palsu yang dibuat dengan material ramah di kantong disebut sebagai KW 2. Di atasnya, KW 1, memperhatikan bagaimana tampilan yang sedemikian mungkin mirip dengan barang asli tapi tak memperhatikan bagaimana kualitas materialnya.
Tingkatan itu terus merangkak naik hingga KW Super, KW Super Premium, dan jenis KW lainnya yang dibedakan secara dasar dari bentuk tampilan barang dan material bahan. Semakin rupa dan kualitasnya mirip dengan yang asli, maka barangnya akan semakin mahal. Belakangan, kualitas mirror 1:1 bahkan diklaim memiliki kualitas dan tampilan yang hampir mirip persis dengan aslinya.
Menggunakan produk palsu memang bermain gengsi-gengsian. Pasarnya akan selalu ada meski menutup mulut ketika ditanya soal keaslian. Begitulah bagaimana industri mode orisinal terjarah setidaknya dalam beberapa dekade terakhir. Kebanggaan menggunakan tas branded mendorong sebagian konsumen gelap mata. Industri ini sudah ada sejak lama, membuntuti setiap produk baru incaran konsumen yang tak mampu membeli produk orisinal.
Adapun Jakarta menjadi pasar empuk bagi industri tas branded palsu. Kota metropolitan ini punya banyak persaingan kelas sosial yang memantik nilai kebanggaan dengan penggunaan suatu produk. Bagi yang tak mampu mengeluarkan uang puluhan juta, mereka bisa saja berangkat ke kawasan mall di sudut-sudut kota. ITC Mangga Dua, ITC Depok, dan Blok M Square merupakan tiga di antara surga produk palsu dengan pedagang yang terang-terangan menjajakan produknya di etalase toko.
Suatu sore, Hypeabis.id mencoba menjajal Blok M Square untuk melihat-lihat bagaimana produk palsu menarik minat pembeli. Bukan hanya sepatu-sepatu dengan merk branded palsu, tas-tas yang menyematkan logo-logo produk high end pun menyebar di sudut-sudut pusat perbelanjaan ini.
Memang tak sebanyak yang dijajakan di ITC Mangga Dua, tetapi lokasi tengah kota membuat tempat ini sempurna menjadi surga orang bergaya selangit dengan produk murah. Tak cocok dengan harganya, tawar terus saja hingga uangnya sesuai dengan kocek.
Tas Branded KW Lebih Murah dari Pajak Impor
Di sana, tas-tas mengkilap dengan ornamen Celine, Dior, Gucci, hingga Hermes tertata sempurna di etalase toko. Beberapa di antaranya tampak sangat mirip dari kejauhan. Hypeabis.id memperhatikan satu demi satu pelanggan masuk dan melihat-lihat tas Coach. Mata mereka berbinar membolak-balik tas itu, memperhatikan setiap detail agar benar-benar terlihat sama dengan aslinya. Silih berganti orang tanya-tanya harga. Rasa penasaran cukup menggelitik pikiran.Suasana mal saat itu cukup ramai. Terjadi tawar menawar harga di sudut etalase yang menjajakan Hermes palsu di lantai 1. Ekor mata pun langsung terpancing dengan Hermes Mini Evelyn di sudut atas rak. Setelah melihat-lihat di internet sebelumnya , sekilas ada beberapa detail visual yang berbeda dengan produk asli yang ada di situs resmi Hermes.
Hypeabis.id pun mendapatkan informasi bahwa satu tas cantik itu dihargai sebesar Rp550.000 atau 1,78 persen dari harga aslinya yakni US$2.050 atau setara dengan Rp30,2 juta. Ketika ditanyai soal kualitas, pria paruh baya yang juga penjaga toko dengan senyuman menjawab bahwa itu adalah tas grade ori yang diimpor dari China.
Tengak-tengok ke etalase di depannya, Hypeabis.id menemukan sebuah Chanel Classic berwarna abu-abu mencoba menggoda mata. Pedagang masih memberikan kisaran harga yang sama dengan sedikit bonus. “Bisa tawar kak,” katanya.
Situs resmi Chanel menunjukkan Channel Classic dijual seharga US$9.600 atau Rp141,6 juta. Setelah coba mengambil foto-foto dari tas itu dengan alasan pertimbangan Hypeabis.id pun memilih untuk melipir ke bilangan Dharmanwangsa untuk bertemu langsung dengan ahlinya.
Perbedaan Hermes Mini Evelyn asli dan palsu. (Sumber foto: Hypeabis.id/Indah Permata Hati)
Tas-tas mewah terbungkus rapi dengan plastik. Para shopping assistant mondar-mandir menata, mengelap, dan mengecek setiap sudut tas dengan detail. Tiba-tiba sebuah Hermes Mini Evelyn mencuri pandangan, tas yang versi palsunya barusan saja ditawarkan dengan harga begitu terjangkau.
Ketika mencoba meraba tekstur tas itu, terdapat sedikit membedakan hal mencolok dari jenis tas yang sama tapi tak serupa. Begitupun dengan sang incaran semua wanita milenial, Chanel Classic berwarna merah di bagian lain etalase.
Hypeabis.id pun berbincang dengan pemilik toko, Marisa Tumbuan, pengusaha ritel yang berkecimpung dalam produk high end lewat toko barang branded tangan kedua, Ginger Lux Things. Dari sekian banyak pertanyaan yang ingin disampaikan, Marisa tampak paham mengapa brand high end seperti Chanel begitu 'pasaran' di sektor produk tiruan.
“Chanel memang konsisten dan selalu diinginkan dalam bisnis wanita,” katanya sembari menuangkan espresso di atas affogato yang dipesannya.
Baginya, industri tas produk high end belakangan ini semakin menarik. Kehadiran brand ambassador dengan ikon-ikon generasi milenial dan Gen Z turut meramu selera pasar anak muda akan jenis produk mewah ini. Ini turut mendorong bisnis preloved produk branded yang dikembangkannya.
Tak banyak orang memicingkan mata lagi dengan produk tangan kedua atau preloved. Bukan soal gengsi-gengsian, barang preloved justru dianggap sebagai cara memperpanjang masa hidup suatu produk, dengan catatan produk yang memang dibuat berkualitas sejak awal.
Perbedaan Chanel Classic asli dan palsu. (Sumber foto: Hypeabis.id/Indah Permata Hati)
“Banyak anak muda yang meneruskan tas-tas mewah dari mamanya, dalam arti ini bisa digunakan untuk beberapa generasi dan jadi tren keberlanjutan. Makanya pasar preloved di kita juga banyak yang minat,” kata Marisa.
Apalagi, banyak tas-tas branded punya harga yang begitu dinamis. Misalnya, Lady Dior keluaran 1995 dengan harga yang cenderung stabil menanjak. Tas itu pernah terjual dengan harga US$5000 atau setara Rp73,7 juta. Namun saat ini, jenis tas yang dibawa Putri Diana pada Met Gala 1996 itu terus menanjak mencapai harga Rp90 jutaan.
Sembari menyeruput minumannya, Marisa menjelaskan jika memang begitulah realita dunia mode. Berbeda dengan teknologi yang mengalami depresiasi, fesyen punya gejolaknya sendiri. Kehadiran model-model baru tidak serta merta membuat harganya lebih mahal dibanding model lama.
Itu semua tidak lepas dari proses branding dan pemasaran yang dilakukan oleh tiap-tiap rumah mode. Belum lagi jika desainer tas tersebut memiliki nama yang bagus, didukung dengan deretan selebriti yang memamerkan dan mempublikasinya dimana-mana.
“Seperti ada sebuah cerita abadi untuk para penggemar fesyen,” tegas Marisa menggambarkan. Berbeda dengan kebutuhan primer, tas-tas mewah ini melahirkan kisah yang berjalan. Semakin langka suatu tas, akan selalu ada dua keputusan yang mengisi pasar penikmatnya.
Ada yang mau melepas, ada yang justru tak ingin melepasnya. Benar. Kelangkaan turut memenuhi gejolak emosional para sosialita mengenai barang-barang ini. Bagi yang nafsunya tak sebanding dengan kocek, jalan gelap menawarkan godaan.
Beredarnya tas palsu bukan rahasia umum lagi. Marisa punya penilaian, jika pabrik-pabrik produksi masal di China memang semakin serius memperdalam teknologi untuk menciptakan produk yang amat mirip dengan aslinya. Bak si kembar yang terlihat serupa, pasti ada saja perbedaan yang akhirnya menjawab indera penglihatan kita. Marisa bilang, akan selalu ada celah dari produk palsu asal beberapa titik benar-benar diperhatikan dengan jeli.
“Dari segi bau leather, garis-garis kulit, grafiran di hardware, alur jahitannya, zipper, ketebalan kulit, itu kalau kita pelajari itu pasti ada celahnya,” jawabnya. Balasan Marisa memberi bukti jika pasar tas branded tak main-main soal keaslian barang. Mereka harus benar-benar cerdas dan apik sebelum memutuskan membeli suatu barang. Merabaknya jasa authentication produk branded juga banyak membantu calon pembeli yang tak punya waktu.
Mereka siap menawarkan jasa pengecekan keaslian produk dari rumah mode tertentu dengan jaminan yang tak tanggung-tanggung. “Autentication service bahkan memberi jaminan penggantian unit dengan produk orisinal apabila terdapat kesalahan autentikasi dari sertifikasi yang mereka berikan,” terang Marisa menutup obrolan kami di sore itu.
Dalam perjalanan, jari terasa tergelitik untuk membuka galeri smartphone guna melihat-lihat dokumentasi tas-tas tiruan dan versi aslinya. Berkali-kali zoom in dan zoom out dilakukan untuk mendapatkan gambaran detail setiap tas-tas itu.
Apakah benar orang-orang kesulitan menemukan perbedaannya? Apakah kolektor pernah punya keresahan yang sama? Jika memang bisa dibedakan, mengapa masih banyak yang tertipu?
Baca juga: Mengenal 5 Kasta Brand Mewah Dunia
Perbedaan Tory Burch Ella Plaid Tote asli dan palsu. (Sumber foto: Hypeabis.id/Indah Permata Hati)
Malamnya, Hypeabis.id mencoba menghubungi seorang dokter sekaligus sosok yang dikenal sebagai sosialita, Rininta Christabella. Dia sangat menyukai koleksi Hermes dan Chanel. Baginya, kedua brand itu tahan banting dan hal pentingnya, memiliki harga yang stabil.
Hobi koleksi yang dilakukannya dari usia 17 tahun itu memang diperuntukan untuk investasi. Tentu saja, kestabilan harga tas-tas mewah itu jadi hal penting bagi Rininta. Terlebih, dia sengaja memilih koleksi tas yang sederhana dan elegan. “Supaya bisa dipakai ke semua occasion,” katanya menjawab.
Di antara koleksinya yang paling mahal, Rininta menyebut Hermes Himalaya berwarna abu terang menjadi salah satu barang koleksi yang begitu langka. Satu pencetan tombol di mesin pencari pun menunjukkan bahwa tas dari merek bespoke ini ditaksir seharga US$379.261 atau setara Rp5,5 miliar.
Bagaimana para sosialita ini memastikan tas yang dimilikinya asli?
Rininta tak menampik. Dia pernah kesulitan membedakan tas orisinal dan KW saking majunya industri gelap tas-tas palsu itu. Terkadang dia harus benar-benar lihat, pegang, merasakan tekstur tasnya. Namun, wanita berusia 33 tahun itu punya cara pembeda paling utama. “Paling membedakan itu baunya. Bau tas-tas branded itu khas dan sangat sulit ditiru,” katanya.
Tas-tas asli yang dibanderol miliaran rupiah itu dikerjakan melalui buatan tangan secara autentik. Maka jahitan dan grafir dari ornamennya akan terlihat sangat detail. Itu cukup membedakan perbedaanya dengan produk produksi massal yang tak kencang soal tiap elemen tas.
“Selain cek registrasi, bawa aja ke tempat spa tasnya. Misalnya Hermes Spa yang ada di Singapura atau Paris. Di sana tas-tas yang tidak terbukti asli akan langsung digunting,” ujar Rininta menutup obrolan malam kami.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.