Hypereport: Mencoba Tetap Berkelas Walau dengan Barang Bekas
11 June 2023 |
22:30 WIB
Interaksi dunia digital dengan manusia telah merubah banyak hal, termasuk gaya hidup di kalangan anak muda. Tak dapat dipungkiri, keberadaan media sosial kini telah menjadi salah satu perangkat bagi seseorang untuk membangun personal branding melalui tampilan modis mereka saat mencari pengakuan sosial di dunia simulakra.
Seiring meningkatnya pendapatan di kalangan milenial dan Z, mereka pun berlomba-lomba mengubah personanya dengan memakai barang-barang mewah. Keberadaan berbagai jenama tersebut mereka siasati dengan memburunya dari thrift shop agar mendapat harga yang lebih pas di kantong tapi tetap menjunjung orisinalitas dan tampilan.
Baca juga:
Perilaku ini memang jauh berbeda bila dibanding generasi sebelumnya. Alih-alih membeli barang tiruan, mereka justru memilih untuk membelanjakan uang pada barang mewah bekas tapi original. Tren ini pun berlaku di hampir sebagian besar anak-anak muda yang melek teknologi guna menunjukan eksistensi dan mendapat prestise sosial.
Berdasarkan data Boston Consulting Group (BCG), pasar barang mewah bekas memiliki nilai US$120 miliar secara global pada 2022. Dalam survei yang melibatkan 7.000 responden yang dilakukan sejak 2020, BCG mengungkapkan bahwa pasar barang mewah bekas terus naik dalam tiga tahun ke depan, dengan kenaikan rata-rata 25 persen per tahun.
Alasan keberlanjutan diyakini sebagai faktor utama yang mendorong kenaikan tren barang bekas mewah dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, menurut data BCG, mayoritas konsumen menyukai luxury preloved karena harganya yang terjangkau, ketersediaan pilihan, keunikan barang, dan aspek sustainability dari produk tersebut.
Adalah Irsyad (23), lelaki yang mukim di Jakarta Selatan itu lebih cenderung berburu barang mewah second ketimbang membeli baru tapi tiruan. Pasalnya dengan cara seperti ini dia dapat menghemat belanja keuangan sekaligus mendapat keuntungan bila nanti barang tersebut diminati orang lain saat dipacak di laman medsosnya.
Menurutnya, originalitas memang diperlukan saat ingin tampil lebih trendi dan meyakinkan. Selain dapat mengangkat personal brandingnya, karyawan swasta ini juga mengaku kualitas barang ori sangat jauh berbeda kualitasnya bila dibandingkan yang palsu. Mencintai sneakers sejak remaja di pun memiliki banyak koleksi Air Jordan dari berbagai tipe dan series.
"Kebetulan koleksi sepatu saya memang banyak yang second, karena harga baru dan harga bekasnya cukup berbeda jauh. Aku memilih sneakers ini [Air Jordan] karena memang banyak peminatnya selain juga kualitas dan legenda dari pemain basketnya sendiri," papar Irsyad.
Sebagai generasi muda, dia mengaku bahwa jenama tersebut memang sudah sangat dikenal. Terlebih Nike, perusahan yang memproduksi sepatu tersebut karib di masyarakat sebagai sponsorshipnya pemain basket terkenal Michael Jordan. Sehingga sudah dipastikan sneakers tersebut sangat mumpuni baik dari segi desain dan kualitas.
Irsyad mengatakan keberadaan barang-barang tiruan di pasar sebenarnya ibarat dua sisi mata uang. Sebab, dengan keberadaan produk tersebut tentunya akan semakin memopulerkan jenama yang ditiru meski diproduksi melalui jalur ilegal. Namun di sisi lain hal itu tidak berdampak pada brand, karena sejauh ini mereka pun acuh tak acuh terhadap keberadaan barang-barang tersebut.
"Ini sebenarnya merusak citra dari brand itu sendiri walau perusahaan mereka tetap maju. Namun saat ada yang tidak mampu membeli produk brand tersebut dan akhirnya memaksa beli tiruan aku kira kurang sedap saja kecuali dia memang tidak tahu," paparnya.
Kegemaran anak-anak muda mengoleksi barang-barang branded bekas dilihat peluangnya oleh Irsyad. Ceruk pasar yang menggiurkan itu pun akhirnya dia gali dengan menjual barang-barang high end, termasuk sneakers Air Jordan limited edition yang dibanderol mulai dari Rp6,5 juta hingga Rp22 juta di laman Instagramnya @syd.company.
Namun, dia tak hanya mengoleksi dan menjual sneakers. Sesekali Irsyad juga memacak busana mewah sweatshirt dari Supreme hingga Stone Island, sebuah jenama pakaian dan aksesoris pria mewah asal Italia. Tak tanggung-tanggung, saat dilakukan pengecekan di loka pasar, jaket dari brand tersebut dibanderol hingga ratusan juta rupiah.
Lain ladang lain belalang, peluang maraknya generasi muda dalam mencari barang mewah second juga dilihat oleh Kahfi. Namun, lelaki berumur 28 itu lebih condong pada bisnis sepatu Docmart yang belakangan juga digandrungi banyak kalangan di Tanah Air.
Lelaki yang juga mengoleksi berbagai jenis sepatu high end itu biasanya mencari barang preloved dengan berselancar di medsos. Setelah mendapat barang yang diinginkan dan bisa memakainya untuk mengangkat personal brandingnya, Kahfi biasanya akan melepas sepatu tersebut bila ada yang menawar.
"Ceruk bisnis sneakers ini untung-untungan sih, aku pernah dapat sepatu dengan harga Rp300.000, tapi karena langka pas aku jual lagi bisa laku sampai Rp1,8 juta, ya sangat menguntungkan jadinya," papar Kahfi.
Adapun, mengenai omset, dia mengaku bisa bisa mengeruk keuntungan hingga Rp10 juta per bulan, baik pada pembeli domestik dan mancanegara lewat akun Instagramnya @bonaaa12. Keuntungan lain dari mengoleksi sepatu tersebut adalah selain sebagai investasi, perputaran uang dalam bisnis ini juga cukup cepat dan untung yang menggiurkan dari selisih harga beli dan jual.
Pakar digital branding Soegimitro mengatakan, seiring perkembangan teknologi masyarakat memang kian cerdas dalam membangun persona mereka. Dukungan penampilan dengan memakai barang-barang mewah merupakan salah satu instrumen untuk masuk ke dalam komunitas sosial tertentu.
Tujuannya tentu saja adalah saat mereka bernegosiasi agar lebih bisa dihargai dan mendapat jaringan yang lebih besar. Bahkan, urusan primer seperti kepemilikan rumah mungkin bisa bergeser menjadi sekunder hanya untuk mengejar validasi tersebut, yang dalam satu sisi kini sudah diangap wajar di masyarakat.
"Tapi kalau anak muda sekarang ini terpengaruh gengsi sih untuk membangun personal branding. Bahkan banyak negatifnya, karena memaksakan diri hingga ada kasus bunuh diri karena enggak mampu, dan ada juga yang sampai hutang pinjol, itu yang bahaya," ucap Soegimitro.
Namun, dia juga tidak mau menggeneralisasi fenomena tersebut, pasalnya ada juga beberapa kasus kalangan kelas atas yang justru tidak mau kelihatan jetset dengan memakai busana dan barang-barang biasa. Hal ini tentu saja mereka ingin bergaul dengan semua orang dan bisa diterima di berbagai kalangan kelas.
Akan tetapi, fenomena tersebut tak hanya terjadi di barang sandang, melainkan juga berbagai perangkat seperti mobil yang di beberapa perusahaan digunakan untuk menunjang validasi saat ingin memenangkan tender. "Misalnya, direksinya disewakan mobil Ferrari, bukan beli. Jadi mereka menyewa sebulan lalu menggantinya dengan mobil yang lain agar terlihat lebih prestise,"imbuhnya.
Seiring meningkatnya pendapatan di kalangan milenial dan Z, mereka pun berlomba-lomba mengubah personanya dengan memakai barang-barang mewah. Keberadaan berbagai jenama tersebut mereka siasati dengan memburunya dari thrift shop agar mendapat harga yang lebih pas di kantong tapi tetap menjunjung orisinalitas dan tampilan.
Baca juga:
- Hypereport: Saat Barang Mewah Jadi Tolak Ukur dan Validasi Eksistensi
- Hypereport: Value Tinggi di Balik Preloved Luxury Brand
Perilaku ini memang jauh berbeda bila dibanding generasi sebelumnya. Alih-alih membeli barang tiruan, mereka justru memilih untuk membelanjakan uang pada barang mewah bekas tapi original. Tren ini pun berlaku di hampir sebagian besar anak-anak muda yang melek teknologi guna menunjukan eksistensi dan mendapat prestise sosial.
Berdasarkan data Boston Consulting Group (BCG), pasar barang mewah bekas memiliki nilai US$120 miliar secara global pada 2022. Dalam survei yang melibatkan 7.000 responden yang dilakukan sejak 2020, BCG mengungkapkan bahwa pasar barang mewah bekas terus naik dalam tiga tahun ke depan, dengan kenaikan rata-rata 25 persen per tahun.
Alasan keberlanjutan diyakini sebagai faktor utama yang mendorong kenaikan tren barang bekas mewah dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, menurut data BCG, mayoritas konsumen menyukai luxury preloved karena harganya yang terjangkau, ketersediaan pilihan, keunikan barang, dan aspek sustainability dari produk tersebut.
Adalah Irsyad (23), lelaki yang mukim di Jakarta Selatan itu lebih cenderung berburu barang mewah second ketimbang membeli baru tapi tiruan. Pasalnya dengan cara seperti ini dia dapat menghemat belanja keuangan sekaligus mendapat keuntungan bila nanti barang tersebut diminati orang lain saat dipacak di laman medsosnya.
Menurutnya, originalitas memang diperlukan saat ingin tampil lebih trendi dan meyakinkan. Selain dapat mengangkat personal brandingnya, karyawan swasta ini juga mengaku kualitas barang ori sangat jauh berbeda kualitasnya bila dibandingkan yang palsu. Mencintai sneakers sejak remaja di pun memiliki banyak koleksi Air Jordan dari berbagai tipe dan series.
"Kebetulan koleksi sepatu saya memang banyak yang second, karena harga baru dan harga bekasnya cukup berbeda jauh. Aku memilih sneakers ini [Air Jordan] karena memang banyak peminatnya selain juga kualitas dan legenda dari pemain basketnya sendiri," papar Irsyad.
Sebagai generasi muda, dia mengaku bahwa jenama tersebut memang sudah sangat dikenal. Terlebih Nike, perusahan yang memproduksi sepatu tersebut karib di masyarakat sebagai sponsorshipnya pemain basket terkenal Michael Jordan. Sehingga sudah dipastikan sneakers tersebut sangat mumpuni baik dari segi desain dan kualitas.
Irsyad mengatakan keberadaan barang-barang tiruan di pasar sebenarnya ibarat dua sisi mata uang. Sebab, dengan keberadaan produk tersebut tentunya akan semakin memopulerkan jenama yang ditiru meski diproduksi melalui jalur ilegal. Namun di sisi lain hal itu tidak berdampak pada brand, karena sejauh ini mereka pun acuh tak acuh terhadap keberadaan barang-barang tersebut.
"Ini sebenarnya merusak citra dari brand itu sendiri walau perusahaan mereka tetap maju. Namun saat ada yang tidak mampu membeli produk brand tersebut dan akhirnya memaksa beli tiruan aku kira kurang sedap saja kecuali dia memang tidak tahu," paparnya.
Kreativitas Menggali Ceruk Pasar
Kegemaran anak-anak muda mengoleksi barang-barang branded bekas dilihat peluangnya oleh Irsyad. Ceruk pasar yang menggiurkan itu pun akhirnya dia gali dengan menjual barang-barang high end, termasuk sneakers Air Jordan limited edition yang dibanderol mulai dari Rp6,5 juta hingga Rp22 juta di laman Instagramnya @syd.company.Namun, dia tak hanya mengoleksi dan menjual sneakers. Sesekali Irsyad juga memacak busana mewah sweatshirt dari Supreme hingga Stone Island, sebuah jenama pakaian dan aksesoris pria mewah asal Italia. Tak tanggung-tanggung, saat dilakukan pengecekan di loka pasar, jaket dari brand tersebut dibanderol hingga ratusan juta rupiah.
Lain ladang lain belalang, peluang maraknya generasi muda dalam mencari barang mewah second juga dilihat oleh Kahfi. Namun, lelaki berumur 28 itu lebih condong pada bisnis sepatu Docmart yang belakangan juga digandrungi banyak kalangan di Tanah Air.
Lelaki yang juga mengoleksi berbagai jenis sepatu high end itu biasanya mencari barang preloved dengan berselancar di medsos. Setelah mendapat barang yang diinginkan dan bisa memakainya untuk mengangkat personal brandingnya, Kahfi biasanya akan melepas sepatu tersebut bila ada yang menawar.
"Ceruk bisnis sneakers ini untung-untungan sih, aku pernah dapat sepatu dengan harga Rp300.000, tapi karena langka pas aku jual lagi bisa laku sampai Rp1,8 juta, ya sangat menguntungkan jadinya," papar Kahfi.
Adapun, mengenai omset, dia mengaku bisa bisa mengeruk keuntungan hingga Rp10 juta per bulan, baik pada pembeli domestik dan mancanegara lewat akun Instagramnya @bonaaa12. Keuntungan lain dari mengoleksi sepatu tersebut adalah selain sebagai investasi, perputaran uang dalam bisnis ini juga cukup cepat dan untung yang menggiurkan dari selisih harga beli dan jual.
Tidak Sebatas Fesyen
Pakar digital branding Soegimitro mengatakan, seiring perkembangan teknologi masyarakat memang kian cerdas dalam membangun persona mereka. Dukungan penampilan dengan memakai barang-barang mewah merupakan salah satu instrumen untuk masuk ke dalam komunitas sosial tertentu.Tujuannya tentu saja adalah saat mereka bernegosiasi agar lebih bisa dihargai dan mendapat jaringan yang lebih besar. Bahkan, urusan primer seperti kepemilikan rumah mungkin bisa bergeser menjadi sekunder hanya untuk mengejar validasi tersebut, yang dalam satu sisi kini sudah diangap wajar di masyarakat.
"Tapi kalau anak muda sekarang ini terpengaruh gengsi sih untuk membangun personal branding. Bahkan banyak negatifnya, karena memaksakan diri hingga ada kasus bunuh diri karena enggak mampu, dan ada juga yang sampai hutang pinjol, itu yang bahaya," ucap Soegimitro.
Namun, dia juga tidak mau menggeneralisasi fenomena tersebut, pasalnya ada juga beberapa kasus kalangan kelas atas yang justru tidak mau kelihatan jetset dengan memakai busana dan barang-barang biasa. Hal ini tentu saja mereka ingin bergaul dengan semua orang dan bisa diterima di berbagai kalangan kelas.
Akan tetapi, fenomena tersebut tak hanya terjadi di barang sandang, melainkan juga berbagai perangkat seperti mobil yang di beberapa perusahaan digunakan untuk menunjang validasi saat ingin memenangkan tender. "Misalnya, direksinya disewakan mobil Ferrari, bukan beli. Jadi mereka menyewa sebulan lalu menggantinya dengan mobil yang lain agar terlihat lebih prestise,"imbuhnya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.