7 Fakta Tjio Wie Tay, Pendiri Toko Buku Gunung Agung yang Bermodal Mimpi
22 May 2023 |
17:21 WIB
1
Like
Like
Like
Masa kejayaan Toko Buku Gunung Agung telah berakhir. Berdiri sejak 1953, direksi PT GA Tiga Belas memutuskan untuk menutup seluruh gerai toko buku ini pada akhir 2023 karena mengalami kerugian operasional yang besar selain karena pandemi Covid-19.
Salah satu toko buku tertua di Indonesia ini didirikan oleh seorang keturunan Tionghoa, Tjio Wie Tay yang mengubah namanya menjadi Masagung pada 26 Agustus 1963. Bermodalkan pinjaman, kegigihan, dan kepiawaian berdagang, siapa sangka dia menjadi salah satu pebisnis sukses di masanya.
Namun demikian, warisannya kini terancam gulung tikar. Kondisi ini tidak lepas dari perkembangan zaman di tengah gempuran teknologi dan perubahan perilaku masyarakat.
Baca juga: Toko Buku Gunung Agung Tutup Seluruh Outlet Akhir Tahun, Ini Penyebabnya
Seperti apa sosok Tjio Wie Tay alias Masagung semasa hidupnya? Simak fakta-faktanya berikut ini yuk, Genhype.
Lahir 8 September 1927 di Jatinegara, Tjio Wie Tay merupakan keturunan etnis Tionghoa. Dalam sebuah wawancara lawas yang disiarkan channel YouTube Ketut Masagung, disampaikan bahwa leluhurnya merupakan orang Tiongkok pertama yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Sementara neneknya, merupakan orang Bali.
Pria yang mengganti nama menjadi Masagung itu menyebut bahwa dia sudah menjadi yatim sejak usia 4 tahun. Lupa bagaimana sosoknya, Masagung hanya mengingat bahwa ayahnya merupakan seorang ahli listrik. Sementara itu, ibunya hanya wanita biasa.
Sebagai orang tua tunggal, ibunya cukup tertatih membesarkan kelima anaknya. “Saya bersaudara lima, saya nomor 4. Saudara saya yang meninggal 2,” sebut Masagung.
Masagung mengungkapkan dirinya tidak pernah lulus sekolah dasar (SD) dan pernah diusir dari sekolah. “Saya ingat dua kali ya, mungkin dianggap nakal,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan saat masih kecil, kakinya pernah dirantai karena nakal. Tindakan ini dilakukan ibunya supaya tidak keluar rumah.
Pendiri Gunung Agung ini mulai berdagang sejak zaman penjajaan Jepang. “Berhenti sekolah, terus berusaha dagang. Saya memang betul-betul modal dengkul,” tegasnya.
Dia meminjam uang dari kakak atau ibunya sebesar Rp50 untuk membeli cerutu atau rokok, kemudian dijual per batang di jalanan secara asongan. Memiliki modal lebih, dia kemudian secara kaki lima di daerah Senen, Jakarta Pusat. Tjio Wie Tay akhirnya membeli meja dan berjualan di pinggir jalan daerah Glodok. Dia memutuskan untuk kembali ke wilayah Senen dan membuka toko kecil.
Salah satu toko buku tertua di Indonesia ini didirikan oleh seorang keturunan Tionghoa, Tjio Wie Tay yang mengubah namanya menjadi Masagung pada 26 Agustus 1963. Bermodalkan pinjaman, kegigihan, dan kepiawaian berdagang, siapa sangka dia menjadi salah satu pebisnis sukses di masanya.
Namun demikian, warisannya kini terancam gulung tikar. Kondisi ini tidak lepas dari perkembangan zaman di tengah gempuran teknologi dan perubahan perilaku masyarakat.
Baca juga: Toko Buku Gunung Agung Tutup Seluruh Outlet Akhir Tahun, Ini Penyebabnya
Seperti apa sosok Tjio Wie Tay alias Masagung semasa hidupnya? Simak fakta-faktanya berikut ini yuk, Genhype.
1. Anak Yatim yang Hidup Prihatin
Lahir 8 September 1927 di Jatinegara, Tjio Wie Tay merupakan keturunan etnis Tionghoa. Dalam sebuah wawancara lawas yang disiarkan channel YouTube Ketut Masagung, disampaikan bahwa leluhurnya merupakan orang Tiongkok pertama yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Sementara neneknya, merupakan orang Bali. Pria yang mengganti nama menjadi Masagung itu menyebut bahwa dia sudah menjadi yatim sejak usia 4 tahun. Lupa bagaimana sosoknya, Masagung hanya mengingat bahwa ayahnya merupakan seorang ahli listrik. Sementara itu, ibunya hanya wanita biasa.
Sebagai orang tua tunggal, ibunya cukup tertatih membesarkan kelima anaknya. “Saya bersaudara lima, saya nomor 4. Saudara saya yang meninggal 2,” sebut Masagung.
2. Diusir dari Sekolah
Masagung mengungkapkan dirinya tidak pernah lulus sekolah dasar (SD) dan pernah diusir dari sekolah. “Saya ingat dua kali ya, mungkin dianggap nakal,” ungkapnya. Dia juga mengatakan saat masih kecil, kakinya pernah dirantai karena nakal. Tindakan ini dilakukan ibunya supaya tidak keluar rumah.
3. Mulai dari Dagang Cerutu
Pendiri Gunung Agung ini mulai berdagang sejak zaman penjajaan Jepang. “Berhenti sekolah, terus berusaha dagang. Saya memang betul-betul modal dengkul,” tegasnya.Dia meminjam uang dari kakak atau ibunya sebesar Rp50 untuk membeli cerutu atau rokok, kemudian dijual per batang di jalanan secara asongan. Memiliki modal lebih, dia kemudian secara kaki lima di daerah Senen, Jakarta Pusat. Tjio Wie Tay akhirnya membeli meja dan berjualan di pinggir jalan daerah Glodok. Dia memutuskan untuk kembali ke wilayah Senen dan membuka toko kecil.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.