Sutradara Shalahuddin Siregar memiliki latar belakang sebagai akuntan (Sumber gambar: Bioskop Online)

Berkenalan dengan Shalahuddin Siregar, Sutradara Film Pesantren

22 May 2023   |   16:33 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Film Pesantren akan tayang di platform over the top (OTT) Bioksop Online pada 24 Mei 2023. Film yang telah memperoleh sejumlah penghargaan ini merupakan karya Sutradara Shalahuddin Siregar atau di kalangan sineas muda lebih akrab disapa Udin, yang dikenal lewat film-film dokumenternya.

Sutradara Shalahuddin Siregar memiliki sejumlah karya dokumenter yang memiliki ciri khas dan beberapa di antaranya memenangkan sejumlah penghargaan, sebelum mengarahkan penggarapan film Pesantren.

Udin memiliki latar belakang sebagai seorang akuntan. Profesi itu tidak membuatnya mengalami kesulitan dalam membuat sejumlah film. Bukan tanpa sebab, sejumlah lokakarya diikutinya untuk menambah kemampuannya di bidang perfilman seperti Berlinale Talents, IDFA Academy, Tokyo Talents, dan sebagainya.

Baca juga: 5 Karya Terbaik Sutradara Wes Anderson yang Wajib Ditonton

Selain Pesantren, dia tercatat telah menyutradarai dan memproduksi tiga film panjang dokumenter. Semua karyanya telah diputar di beberapa festival film internasional. Salah satunya di ajang International Documentary Film Festival Amsterdam dan Dok-Leipzig.

Sementara itu, salah satu film dokumenter garapannya adalah berjudul Negeri di Bawah Kabut. Film dokumenter tersebut dirilis pada 2011 ldan bercerita tentang kehidupan masyarakat petani di sebuah desa di bawah kaki Gunung Merbabu, yakni Desa Genikan.

Ide cerita film itu muncul saat dia melihat salah seorang warga desa yang memilih menghancurkan hasil panennya sendiri berupa sayur kubis. Langkah itu dilakukan karena harga jual di pasar yang anjlok, yakni hanya Rp150 per kilogram.

Negeri di Bawah Kabut berhasil memenangkan Muhr Asia Africa Special Jury Prize, Dubai International Film Festival untuk kategori film dokumenter. Sementara di ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2012, karyanya itu memenangkan beberapa penghargaan, seperti Geber Award, NETPAC Award, dan Special Mention.

Film dokumenter lain yang dibuat oleh Udin adalah berjudul Lagu untuk Anakku. Karya ini film ini berkisah tentang para penyintas tragedi 1965. Dahulu, para penyintas ini diasingkan atau dipenjara. Selama di penjara, sebagian dari mereka aktif menulis lagu tentang ibu, anak, dan kisah cinta.

Lebih dari 50 tahun kemudian, sekelompok penyintas tersebut mendirikan paduan suara bernama Dialita. Mereka fokus menyanyikan lagu-lagu yang dibuat selama di penjara dan lagu-lagu yang pernah dibungkam pada masa Orde Baru. Para penyintas itu berharap dapat meneruskan hidup dan mengubah sejarah kelam di Indonesia kepada generasi muda yang sampai saat ini tidak pernah usai.

Kemampuan sang sutradara memproduksi film tidak hanya sebatas pada genre dokumenter. Udin juga pernah membuat karya film antologi berjudul Lima bersama dengan Lola Amaria, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo.

Film Lima memiliki kaitan yang erat dengan Pancasila. Karya yang ditayangkan pada 31 Mei 2018 atau satu hari sebelum Hari Lahir Pancasila itu memiliki cerita yang berbeda-beda dari para pemainnya.

Pertama adalah tentang pemakaman seorang ibu dari keluarga yang berbeda keyakinan. Kedua, ujian seorang pelatih atlet yang menghadapi masalah SARA. Terakhir, kasus perundungan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tidak berperikemanusiaan lainnya.

Karya terbarunya, yakni film Pesantren tidak dapat dilepaskan dari film Negeri di Bawah Kabut. Menurut Udin, dalam film Negeri di Bawah Kabut terdapat karakter bernama Arifin yang telah berusia 12 tahun.

Sang anak ingin masuk sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Namun, kondisi ekonomi keluarga membuatnya tidak mampu membayar biaya registrasi. “Akhirnya mereka mengirim Arifin ke pesantren,” katanya.

Ketika film ini dirilis, ada yang menyayangkan keputusan cerita untuk mengirimkan Arifin ke pesantren karena mereka mengira karakter itu akan dididik menjadi teroris. Tidak hanya itu, pesantren juga sering dituduh kolot dan tidak berkembang.

Stigma yang ada itu membuatnya terganggu. Namun, dia tidak memiliki pengatahuan yang cukup tentang pesantrean meskipun beragama Islam. Kondisi ini yang membuat sang sutradara membuat film dokumenter Pesantren.

Dia berharap dapat mengetahui kehidupan sebenarnya yang terjadi di sana. Pesantren Pondok Kebon Jambu di Cirebon yang merupakan pesantren tradisional di Indonesia menjadi pilhan. Tempat itu dinilainya istimewa karena dipimpin oleh perempuan. Kondisi ini adalah sesuatu yang jarang ditemukan di dalam sebuah pesantren dengan santri laki-laki dan perempuan.

Film Pesantren mendapatkan sambutan dari para penontonnya dan terpilih di kompetisi XXI Asiatica Film Festival 2020 dan International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019. Film ini juga telah tayang di Madani International Film Festival dan sempat ditayangkan di The University of British Columbia pada Maret 2022.

Karya ini merupakan film dokumenter yang mengajak penonton untuk menyelami kehidupan para penghuni Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, salah satu pesantren tradisional terbesar di Cirebon. Para santri di pesantren ini dididik untuk berpikir kritis, mendukung kesetaraan gender, dan menghargai keberagaman.

Baca juga: Sandiaga Uno hingga Lukman Sardi Apresiasi Film Kabut Berduri Besutan Sutradara Edwin

Penggambaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi orang yang penuh perasaan atau perempuan mampu menjadi pemimpin membuat film ini berhasil menampilkan kehidupan di dalam pesantren dari sudut pandang berbeda.

Tidak hanya itu, film ini juga disebut mengajarkan banyak nilai baik tentang Islam, yakni damai, sejuk, moderat, toleran dan merangkul. Menurutnya, sosok dalam film bisa menjadi harapan baru untuk Indonesia.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

7 Fakta Tjio Wie Tay, Pendiri Toko Buku Gunung Agung yang Bermodal Mimpi

BERIKUTNYA

Rekomendasi Kuliner Jepang ala Kaki Lima yang Viral di Jakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: