Siniar Salihara Buat Diskusi Kiprah 4 Sastrawan Perempuan, Siti Rukiah hingga Toeti Heraty
13 May 2023 |
20:17 WIB
1
Like
Like
Like
Program Siniar Salihara hadir kembali tahun ini dalam dua edisi. Pada edisi perdananya, Siniar Salihara mengangkat tema Penulis Perempuan. Seperti temanya, Siniar ini menghadirkan diskusi menarik tentang kiprah empat nama pengarang perempuan yang penting dalam khazanah sastra Indonesia.
Keempat pengarang wanita tersebut adalah Soewarsih Djojopuspito, Saadah Alim, Siti Rukiah dan Toeti Heraty. Di tengah gempuran karya sastra Indonesia awal abad 20-an yang banyak didominasi oleh sastrawan laki-laki, apa yang dikerjakan oleh keempat tokoh ini dinilai layak untuk diperbincangkan kembali.
Baca juga: Kiprah Sastrawan Soewarsih Djojopuspito, Perjuangkan Pendidikan bagi Perempuan
Sama seperti musim sebelumnya, Siniar ini akan dipandu oleh Ibrahim Soetomo dan ditemani oleh berbagai narasumber yang kredibel dan kompeten untuk membicarakan tokoh tersebut. Untuk Genhype yang ingin memperdalam khazanah seputar sastra Indonesia, berikut adalah 4 episode Siniar Salihara yang bisa kalian dengarkan.
Soewarsih Djojopuspito adalah pengarang Indonesia pertama yang menulis roman dalam bahasa Belanda. Sebagai satu-satunya pengarang perempuan yang menulis roman dalam bahasa Belanda, Soewarsih adalah anomali sekaligus harapan dalam dunia sastra Tanah Air.
Di tengah pergaulan kesusastraan yang didominasi oleh kaum laki-laki, Soewarsih justru mengambil alih posisi pengarang perempuan yang penting. Dia membangun hubungan yang baik dengan E. Du Perron, mentor untuk sejumlah seniman dan cendekiawan masa 1930-an. Romannya, Buiten het Garrel ditulis dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda atas usulan Du Peron pada 1940.
Baru pada 1975, Soewarsih menerjemahkan sendiri romannya itu dan terbit dengan judul Manusia Bebas. Selain itu, banyak aspek menarik dari diri Soewarsih yang dibahas dalam siniar ini termasuk keterlibatannya dalam pergerakan nasional.
Saadah Alim adalah pengarang Indonesia yang telah berproses sejak dasawarsa pertama abad ke-20. Pada mulanya, dia adalah seorang guru dan wartawan, tetapi kemudian dia menulis sejumlah cerita dan naskah drama, di samping menerjemahkan sejumlah karangan dari bahasa Inggris dan Belanda.
Sebagai wartawan, dia adalah redaktur yang menerbitkan sejumlah tulisan penulis muda yang kemudian menjadi tokoh penting, di antaranya Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Adi Negoro dan Bahder Djohan—di samping mendirikan koran dan menjadi penulis untuk sejumlah terbitan.
Saadah juga dikenal akan karyanya yang menyuarakan penentangannya pada tradisi poligami dan kawin karena perjodohan dalam budaya Minangkabau. Dia mengajukan pemikiran tentang perlunya kebebasan bagi perempuan dalam menentukan hidupnya, baik dalam rumah tangga maupun dunia kerja.
Siti Rukiah Kertapati adalah seorang pengarang Indonesia yang berkembang pada masa Kemerdekaan hingga 1965. Dia menulis puisi, novel dan cerita anak-anak. Di luar pekerjaannya sebagai seorang penulis, Rukiah adalah seorang guru, redaktur dan aktivis politik.
Sebagai penulis yang muncul pada masa dominasi Angkatan 45, puisi-puisi Rukiah, sedikit banyak, mendapat pengaruh dari Chairil Anwar. Puisinya yang berjudul Pahlawan misalnya, sangat dipengaruhi oleh puisi Diponegoro karya Chairil Anwar.
Hal itu juga terlihat pada sejumlah frasa pendek tentang bercermin dalam puisi Pulasan Hidup yang mengingatkan pada puisi Selamat Tinggal karya Chairil Anwar. Rukiah sempat ditangkap atas keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) saat peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Toeti Heraty adalah penyair perempuan yang mulai muncul pada awal 1960-an dan mendapat pengakuan dalam dunia sastra pada 1970-1980-an. Dia merupakan seorang pembelajar sekaligus doktor filsafat.
Perhatiannya pada filsafat membuat kepengarangan Toeti menjadi berbeda dari pengarang-pengarang perempuan sebelum dan sezamannya. Jika meminjam terminologi Subagio Sastrowardoyo, Toeti bukanlah “pengarang bakat alam”, melainkan “pengarang intelektual”.
Puisi-puisi Toeti dinilai sebagai sebuah perkembangan lain dari puisi lirik yang ditulis dalam bahasa Indonesia pada 1960-an. Jika para penyair laki-laki dan perempuan sebelumnya kelewat banyak mengandalkan keharuan dan ilham dalam penulisan puisi, pada Toeti mulai muncul siasat untuk membunyikan perenungan atau meditasi intelektual, yang kemudian membuat puisi-puisinya terasa lebih diskursif daripada liris dan dipenuhi pernyataan feminisme.
Adapun, semua diskusi lengkap terkait empat pengarang perempuan ini dapat kalian dengar melalui Siniar Salihara di Spotify, Apple Podcast dan aplikasi NOICE, serta dapat ditonton di kanal YouTube Komunitas Salihara.
Baca juga: Mengenang Toeti Heraty, Sosok Cendekiawan Perempuan & Patron Seni Rupa Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Keempat pengarang wanita tersebut adalah Soewarsih Djojopuspito, Saadah Alim, Siti Rukiah dan Toeti Heraty. Di tengah gempuran karya sastra Indonesia awal abad 20-an yang banyak didominasi oleh sastrawan laki-laki, apa yang dikerjakan oleh keempat tokoh ini dinilai layak untuk diperbincangkan kembali.
Baca juga: Kiprah Sastrawan Soewarsih Djojopuspito, Perjuangkan Pendidikan bagi Perempuan
Sama seperti musim sebelumnya, Siniar ini akan dipandu oleh Ibrahim Soetomo dan ditemani oleh berbagai narasumber yang kredibel dan kompeten untuk membicarakan tokoh tersebut. Untuk Genhype yang ingin memperdalam khazanah seputar sastra Indonesia, berikut adalah 4 episode Siniar Salihara yang bisa kalian dengarkan.
1. Soewarsih dan Dilema Kaum Pergerakan
Soewarsih Djojopuspito adalah pengarang Indonesia pertama yang menulis roman dalam bahasa Belanda. Sebagai satu-satunya pengarang perempuan yang menulis roman dalam bahasa Belanda, Soewarsih adalah anomali sekaligus harapan dalam dunia sastra Tanah Air.Di tengah pergaulan kesusastraan yang didominasi oleh kaum laki-laki, Soewarsih justru mengambil alih posisi pengarang perempuan yang penting. Dia membangun hubungan yang baik dengan E. Du Perron, mentor untuk sejumlah seniman dan cendekiawan masa 1930-an. Romannya, Buiten het Garrel ditulis dalam bahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda atas usulan Du Peron pada 1940.
Baru pada 1975, Soewarsih menerjemahkan sendiri romannya itu dan terbit dengan judul Manusia Bebas. Selain itu, banyak aspek menarik dari diri Soewarsih yang dibahas dalam siniar ini termasuk keterlibatannya dalam pergerakan nasional.
2. Saadah Alim: Perlawanan dan Kepatuhan
Saadah Alim adalah pengarang Indonesia yang telah berproses sejak dasawarsa pertama abad ke-20. Pada mulanya, dia adalah seorang guru dan wartawan, tetapi kemudian dia menulis sejumlah cerita dan naskah drama, di samping menerjemahkan sejumlah karangan dari bahasa Inggris dan Belanda.Sebagai wartawan, dia adalah redaktur yang menerbitkan sejumlah tulisan penulis muda yang kemudian menjadi tokoh penting, di antaranya Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Adi Negoro dan Bahder Djohan—di samping mendirikan koran dan menjadi penulis untuk sejumlah terbitan.
Saadah juga dikenal akan karyanya yang menyuarakan penentangannya pada tradisi poligami dan kawin karena perjodohan dalam budaya Minangkabau. Dia mengajukan pemikiran tentang perlunya kebebasan bagi perempuan dalam menentukan hidupnya, baik dalam rumah tangga maupun dunia kerja.
3. Rukiah: Yang Menuai di Ladang Tandus
Siti Rukiah Kertapati adalah seorang pengarang Indonesia yang berkembang pada masa Kemerdekaan hingga 1965. Dia menulis puisi, novel dan cerita anak-anak. Di luar pekerjaannya sebagai seorang penulis, Rukiah adalah seorang guru, redaktur dan aktivis politik.Sebagai penulis yang muncul pada masa dominasi Angkatan 45, puisi-puisi Rukiah, sedikit banyak, mendapat pengaruh dari Chairil Anwar. Puisinya yang berjudul Pahlawan misalnya, sangat dipengaruhi oleh puisi Diponegoro karya Chairil Anwar.
Hal itu juga terlihat pada sejumlah frasa pendek tentang bercermin dalam puisi Pulasan Hidup yang mengingatkan pada puisi Selamat Tinggal karya Chairil Anwar. Rukiah sempat ditangkap atas keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) saat peristiwa Gerakan 30 September 1965.
4. Toeti Heraty: Manifesto, Filsafat, dan Puisi
Toeti Heraty adalah penyair perempuan yang mulai muncul pada awal 1960-an dan mendapat pengakuan dalam dunia sastra pada 1970-1980-an. Dia merupakan seorang pembelajar sekaligus doktor filsafat.Perhatiannya pada filsafat membuat kepengarangan Toeti menjadi berbeda dari pengarang-pengarang perempuan sebelum dan sezamannya. Jika meminjam terminologi Subagio Sastrowardoyo, Toeti bukanlah “pengarang bakat alam”, melainkan “pengarang intelektual”.
Puisi-puisi Toeti dinilai sebagai sebuah perkembangan lain dari puisi lirik yang ditulis dalam bahasa Indonesia pada 1960-an. Jika para penyair laki-laki dan perempuan sebelumnya kelewat banyak mengandalkan keharuan dan ilham dalam penulisan puisi, pada Toeti mulai muncul siasat untuk membunyikan perenungan atau meditasi intelektual, yang kemudian membuat puisi-puisinya terasa lebih diskursif daripada liris dan dipenuhi pernyataan feminisme.
Adapun, semua diskusi lengkap terkait empat pengarang perempuan ini dapat kalian dengar melalui Siniar Salihara di Spotify, Apple Podcast dan aplikasi NOICE, serta dapat ditonton di kanal YouTube Komunitas Salihara.
Baca juga: Mengenang Toeti Heraty, Sosok Cendekiawan Perempuan & Patron Seni Rupa Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.