Asyik, Setelah Absen Setengah Abad Indonesia Bakal Punya Pabrik Vinil Lagi
21 April 2023 |
15:44 WIB
Sejarah Vinil di Indonesia
Perkembangan musik di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan dari piringan hitam. Format cakram berwarna hitam ini memang sudah hampir setua usia industri musik Indonesia itu sendiri.
Diketahui, format piringan hitam shellac 10” dengan kecepatan rotasi 78 rpm (rotation per minute) sudah hadir di Indonesia sejak 1920-an. Pada waktu itu format tersebut banyak merekam musik-musik tonil, keroncong dan musik tradisional di Tanah Air.
Namun, Shellac hanya bisa dicetak di Jerman, Inggris atau paling dekat di India. Hal ini bermula saat label-label besar dunia seperti Columbia, Odeon, Ultraphon mengirimkan teknisinya ke Indonesia untuk merekam musik-musik ini di lapangan sebelum merilisnya untuk pasar global.
Menurut beberapa penelitian, kira-kira sudah terbit 18.500 rekaman komersial dalam format 78 rpm di Hindia Belanda dari awal dekade 1920-an sampai sebelum tahun 1942. Adapun, upaya pertama untuk mengIndonesiakan musik Indonesia dilakukan oleh seorang perwira Angkatan Udara bernama Sujoso Karsono.
Sujoso atau yang akrab disapa Mas Yos itu diketahui mendirikan label legendaris Bernama Irama Records ltd di Jakarta.Label inilah yang kelak melahirkan nama-nama legendaris seperti Bing Slamet, Adi Karso, Kus Bersaudara sampai O.M. Kelana Ria.
Berdiri pada 1951, awalnya Irama mencetak piringan hitamnya di Belanda atau yang paling dekat dari India. Namun, Mas Yos membuat gebrakan pada t953, tepat 70 tahun yang lalu, dengan membuka sendiri pabrik piringan hitam di Jakarta Pusat.
Dari sinilah perlahan produksi vinil terus berkembang pesat di Indonesia. Bahkan, pada periode 1961-1963 Irama sempat mencetak 30.000 keping vinyl per bulan, sebuah angka yang fantastis pada zamannya di negeri yang masih seumur jagung.
Kemudian, ketika Irama tutup pada 1967, label-label besar seperti Lokananta, Remaco, Mesra Dimita, Metropolitan (Musica) lalu melanjutkan estafet produksi vinil di sepanjang dekade 1970an. Namun, perlahan popularitas piringan hitam mulai memudar, hingga Lokananta tutup pada 1974.
Pasalnya, setelah hampir tiga dekade mendominasi format fisik, vinyl 12” dengan kecepatan 33 rpm mulai digantikan oleh format pita kaset yang lebih praktis, murah dan portable. Medium fisik muncul di pasar pada awal dekade 1970-an dan mendominasi di akhir dekade dan awal dasawarsa 1980an.
Kini, setelah 49 tahun berlalu, PHR Pressing pun berupaya menjadi penerus tradisi merilis musik dalam format fisik piringan hitam di Indonesia. Jadi, apakah Genhype berminat untuk kembali mendengarkan musik dalam format tersebut?
Perkembangan musik di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan dari piringan hitam. Format cakram berwarna hitam ini memang sudah hampir setua usia industri musik Indonesia itu sendiri.
Diketahui, format piringan hitam shellac 10” dengan kecepatan rotasi 78 rpm (rotation per minute) sudah hadir di Indonesia sejak 1920-an. Pada waktu itu format tersebut banyak merekam musik-musik tonil, keroncong dan musik tradisional di Tanah Air.
Namun, Shellac hanya bisa dicetak di Jerman, Inggris atau paling dekat di India. Hal ini bermula saat label-label besar dunia seperti Columbia, Odeon, Ultraphon mengirimkan teknisinya ke Indonesia untuk merekam musik-musik ini di lapangan sebelum merilisnya untuk pasar global.
Menurut beberapa penelitian, kira-kira sudah terbit 18.500 rekaman komersial dalam format 78 rpm di Hindia Belanda dari awal dekade 1920-an sampai sebelum tahun 1942. Adapun, upaya pertama untuk mengIndonesiakan musik Indonesia dilakukan oleh seorang perwira Angkatan Udara bernama Sujoso Karsono.
Sujoso atau yang akrab disapa Mas Yos itu diketahui mendirikan label legendaris Bernama Irama Records ltd di Jakarta.Label inilah yang kelak melahirkan nama-nama legendaris seperti Bing Slamet, Adi Karso, Kus Bersaudara sampai O.M. Kelana Ria.
Suyoso Karsono atau kerap dipanggil Mas Yos atau Didi oleh teman dekatnya. Lahir di Tanjungpandan, Bangka, 18 Juli 1921. Setelah menyelesaikan sekolah dagang pada 1942, ia masuk Tjodantjo lalu menjadi penerbang Angkatan Udara RI hingga berpangkat Komodor & pensiun pada 1952. pic.twitter.com/fnajaiXIZ0
— Irama Nusantara (@IramaNusantara) January 25, 2022
Berdiri pada 1951, awalnya Irama mencetak piringan hitamnya di Belanda atau yang paling dekat dari India. Namun, Mas Yos membuat gebrakan pada t953, tepat 70 tahun yang lalu, dengan membuka sendiri pabrik piringan hitam di Jakarta Pusat.
Dari sinilah perlahan produksi vinil terus berkembang pesat di Indonesia. Bahkan, pada periode 1961-1963 Irama sempat mencetak 30.000 keping vinyl per bulan, sebuah angka yang fantastis pada zamannya di negeri yang masih seumur jagung.
Kemudian, ketika Irama tutup pada 1967, label-label besar seperti Lokananta, Remaco, Mesra Dimita, Metropolitan (Musica) lalu melanjutkan estafet produksi vinil di sepanjang dekade 1970an. Namun, perlahan popularitas piringan hitam mulai memudar, hingga Lokananta tutup pada 1974.
Pasalnya, setelah hampir tiga dekade mendominasi format fisik, vinyl 12” dengan kecepatan 33 rpm mulai digantikan oleh format pita kaset yang lebih praktis, murah dan portable. Medium fisik muncul di pasar pada awal dekade 1970-an dan mendominasi di akhir dekade dan awal dasawarsa 1980an.
Kini, setelah 49 tahun berlalu, PHR Pressing pun berupaya menjadi penerus tradisi merilis musik dalam format fisik piringan hitam di Indonesia. Jadi, apakah Genhype berminat untuk kembali mendengarkan musik dalam format tersebut?
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.