Melihat Puisi & Karya Visual Goenawan Mohamad dalam Buku Antologi Puisi Di Ujung Bahasa
16 March 2023 |
13:54 WIB
1
Like
Like
Like
Sastrawan Goenawan Mohamad kembali meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya bertajuk Di Ujung Bahasa. Buku ini memuat 115 puisi yang dibuat dalam kurun waktu enam dasawarsa terakhir tepatnya sejak 1961 hingga 2022. Buku antologi puisi ini berisikan puisi Goenawan yang pernah terbit di buku sebelumnya dan yang belum pernah diterbitkan.
Sebanyak 53 puisi diantaranya telah termuat dalam buku Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001, 38 karya dalam The Blindfolded Queen, dan 40 karya dalam Trigis. Adapun, dua puisi dalam antologi ini, Dans Ma Rue dan Transit, keduanya ditulis pada tahun 2022 dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
Ya, sebelum akhirnya turut menggeluti dunia seni rupa, seniman kelahiran Batang, Jawa Tengah, itu memang lebih dikenal terlebih dahulu sebagai penyair sekaligus esais terkemuka di Indonesia. Karya-karya puisinya pertama kali dikenal dalam kumpulan puisi Manifestasi yang diterbitkan dalam rubrik kebudayaan Harian Abadi pada 1960-an.
Baca juga: Melihat Karya Seni Cetak Surealistik Nan Sugestif Goenawan Mohamad dalam Pameran Kitab Hewan
Sejak saat itu, dia produktif meluncurkan buku kumpulan puisi yang hingga kini terhitung sudah sekitar enam dasawarsa dia menggeluti dunia kepenyairan. Sejumlah karyanya diantaranya Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001 (2001), 70 Puisi (2011), Gandari (2013), dan Tigris (2019).
Laksmi Pamuntjak, sastrawan sekaligus kurator mengatakan selain menghadirkan puisi-puisi yang dianggap terbaik selama 61 tahun terakhir dalam masa kepenyairan Goenawan Mohamad, buku antologi puisi Di Ujung Bahasa juga hendak membantu pembaca menilik pertumbuhan teknik, estetik, dan filosofis sang penyair dari waktu ke waktu.
Dari puisi-puisi yang yang ada, katanya, buku antologi ini dianggap dapat mewakili kedalaman, kebernasan, dan keotentikan Goenawan sebagai satu-satunya penyair Tanah Air terkemuka dari generasinya yang masih hidup dan berkarya.
"Melalui sidik jari kepenyairannya, tak saja telah memperkaya tradisi puisi lirik tapi juga memberdayakan dan memperbaharui bahasa Indonesia dalam enam puluh tahun terakhir," kata penulis novel Amba itu.
Laksmi menjelaskan elemen terpenting dalam buku antologi ini yang tak hadir dalam kumpulan-kumpulan sebelumnya adalah karya visual Goenawan. Karya-karya ini berupa sejumlah gambar, sketsa, dan lukisan pilihan untuk menunjukkan kaitan instrinsik antara sang penyair dan sang pelukis dari diri Goenawan. "Dengan kata lain, antara kata dan imaji, irama dan warna, nada dan senyap," ujarnya.
Dengan karya puisi dan esainya yang berlimpah, nama Goenawan Mohamad--selanjutnya disebut GM---memang telah mempunyai posisi yang penting dalam percaturan sastra Indonesia. Dia adalah penyair pemikir. Sebagai penyair, dia memiliki visi kepenyairan yang tegas. Menurut sastrawan Zen Hae, secara umum, puisi-puisi GM merupakan kelanjutan puitika dari Chairil Anwar yang dicap sebagai pelopor puisi Indonesia modern.
Puisi-puisinya kental melukiskan suasana dengan teknik yang sama seperti puisi-puisi Indonesia modern atau yang disebut juga sebagai puisi suasana. Cirinya, puisi yang melukiskan suasana tertentu, dimana subjek dalam puisinya itu kerap absen. Misalnya yang tampak pada sajak Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi dan Di Muka Jendela.
Selain itu, permainan bunyi akhir atau rima juga menjadi hal yang cukup mencolok dalam puisi-puisi GM. Menurut Zen, GM kerap menggunakan rima dengan pola a-b-a-b, yang kerap digunakan dalam pantun. "Mas Goen mewarisi semangat puitika Chairil Anwar dalam bentuk dan semangat," katanya.
Secara isi, sebagai puisi suasana, citraan atau penggambaran alam menjadi tema yang sering tampil dalam puisi-puisi GM, dengan suasana kemurungan atau melankolia seolah tidak ada kecerahan. Selain itu, manusia dengan eksistensinya, mitologi Jawa, hingga politik juga menjadi hal-hal tak luput dalam eksplorasi syair-syairnya.
"Hampir seluruh aspek dalam kehidupan kita sebenarnya itu ditulis dalam sajak-sajaknya Mas Goen," jelasnya.
Pada kesempatan terpisah, Sastrawan sekaligus Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani menilai sajak-sajak GM berhasil menawarkan estetika yang khas dan berbeda. Sajak-sajaknya dinilai selalu bisa menempatkan alusi atau kiasan yang mula-mula membuat pembaca berpikir, membangun kompleksitas, lalu sampai pada makna yang hendak disampaikan.
Menurutnya, sajak-sajak GM bukan syair yang berteriak atau bersuara nyaring. Senada dengan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, syair-syair GM juga menawarkan fakta-fakta, nama, peristiwa, kiasan, yang boleh jadi dipengaruhi karena pengalamannya di dunia jurnalistik. Hal itu tak jarang mengajak pembaca memikirkan atau paling tidak merenungkan apa makna dari peristiwa itu.
"Sajak yang liris artinya mengajak merasakan tapi juga intelektualis, mengajak [pembaca] berpikir. Saya kira itu salah satu kekuatan sajak GM," ujarnya.
Baca juga: Goenawan Mohamad & Jejak Puitik dalam Pameran Kitab Hewan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Sebanyak 53 puisi diantaranya telah termuat dalam buku Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001, 38 karya dalam The Blindfolded Queen, dan 40 karya dalam Trigis. Adapun, dua puisi dalam antologi ini, Dans Ma Rue dan Transit, keduanya ditulis pada tahun 2022 dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
Ya, sebelum akhirnya turut menggeluti dunia seni rupa, seniman kelahiran Batang, Jawa Tengah, itu memang lebih dikenal terlebih dahulu sebagai penyair sekaligus esais terkemuka di Indonesia. Karya-karya puisinya pertama kali dikenal dalam kumpulan puisi Manifestasi yang diterbitkan dalam rubrik kebudayaan Harian Abadi pada 1960-an.
Baca juga: Melihat Karya Seni Cetak Surealistik Nan Sugestif Goenawan Mohamad dalam Pameran Kitab Hewan
Sejak saat itu, dia produktif meluncurkan buku kumpulan puisi yang hingga kini terhitung sudah sekitar enam dasawarsa dia menggeluti dunia kepenyairan. Sejumlah karyanya diantaranya Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001 (2001), 70 Puisi (2011), Gandari (2013), dan Tigris (2019).
Laksmi Pamuntjak, sastrawan sekaligus kurator mengatakan selain menghadirkan puisi-puisi yang dianggap terbaik selama 61 tahun terakhir dalam masa kepenyairan Goenawan Mohamad, buku antologi puisi Di Ujung Bahasa juga hendak membantu pembaca menilik pertumbuhan teknik, estetik, dan filosofis sang penyair dari waktu ke waktu.
Dari puisi-puisi yang yang ada, katanya, buku antologi ini dianggap dapat mewakili kedalaman, kebernasan, dan keotentikan Goenawan sebagai satu-satunya penyair Tanah Air terkemuka dari generasinya yang masih hidup dan berkarya.
"Melalui sidik jari kepenyairannya, tak saja telah memperkaya tradisi puisi lirik tapi juga memberdayakan dan memperbaharui bahasa Indonesia dalam enam puluh tahun terakhir," kata penulis novel Amba itu.
Laksmi menjelaskan elemen terpenting dalam buku antologi ini yang tak hadir dalam kumpulan-kumpulan sebelumnya adalah karya visual Goenawan. Karya-karya ini berupa sejumlah gambar, sketsa, dan lukisan pilihan untuk menunjukkan kaitan instrinsik antara sang penyair dan sang pelukis dari diri Goenawan. "Dengan kata lain, antara kata dan imaji, irama dan warna, nada dan senyap," ujarnya.
Buku antologi puisi Di Ujung Bahasa (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Puisi Suasana
Dengan karya puisi dan esainya yang berlimpah, nama Goenawan Mohamad--selanjutnya disebut GM---memang telah mempunyai posisi yang penting dalam percaturan sastra Indonesia. Dia adalah penyair pemikir. Sebagai penyair, dia memiliki visi kepenyairan yang tegas. Menurut sastrawan Zen Hae, secara umum, puisi-puisi GM merupakan kelanjutan puitika dari Chairil Anwar yang dicap sebagai pelopor puisi Indonesia modern.Puisi-puisinya kental melukiskan suasana dengan teknik yang sama seperti puisi-puisi Indonesia modern atau yang disebut juga sebagai puisi suasana. Cirinya, puisi yang melukiskan suasana tertentu, dimana subjek dalam puisinya itu kerap absen. Misalnya yang tampak pada sajak Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi dan Di Muka Jendela.
Selain itu, permainan bunyi akhir atau rima juga menjadi hal yang cukup mencolok dalam puisi-puisi GM. Menurut Zen, GM kerap menggunakan rima dengan pola a-b-a-b, yang kerap digunakan dalam pantun. "Mas Goen mewarisi semangat puitika Chairil Anwar dalam bentuk dan semangat," katanya.
Secara isi, sebagai puisi suasana, citraan atau penggambaran alam menjadi tema yang sering tampil dalam puisi-puisi GM, dengan suasana kemurungan atau melankolia seolah tidak ada kecerahan. Selain itu, manusia dengan eksistensinya, mitologi Jawa, hingga politik juga menjadi hal-hal tak luput dalam eksplorasi syair-syairnya.
"Hampir seluruh aspek dalam kehidupan kita sebenarnya itu ditulis dalam sajak-sajaknya Mas Goen," jelasnya.
Pada kesempatan terpisah, Sastrawan sekaligus Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani menilai sajak-sajak GM berhasil menawarkan estetika yang khas dan berbeda. Sajak-sajaknya dinilai selalu bisa menempatkan alusi atau kiasan yang mula-mula membuat pembaca berpikir, membangun kompleksitas, lalu sampai pada makna yang hendak disampaikan.
Menurutnya, sajak-sajak GM bukan syair yang berteriak atau bersuara nyaring. Senada dengan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, syair-syair GM juga menawarkan fakta-fakta, nama, peristiwa, kiasan, yang boleh jadi dipengaruhi karena pengalamannya di dunia jurnalistik. Hal itu tak jarang mengajak pembaca memikirkan atau paling tidak merenungkan apa makna dari peristiwa itu.
"Sajak yang liris artinya mengajak merasakan tapi juga intelektualis, mengajak [pembaca] berpikir. Saya kira itu salah satu kekuatan sajak GM," ujarnya.
Baca juga: Goenawan Mohamad & Jejak Puitik dalam Pameran Kitab Hewan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.