Menikmati Pameran The Paper Menagerie, Saat Ekspresi Seni Dituang Lewat Kertas
26 March 2025 |
18:53 WIB
Sebuah lukisan bergambar kelimun wajah tertempel di salah satu dinding di sebuah galeri di bilangan Jakarta Pusat. Ibarat pohon kehidupan, gambar tersebut mengimak pelbagai raut yang dijajar di atas gedebog, atau batang pisang dalam lakon wayang.
Bagian yang mengusik mata adalah bentuk dari wajah yang dilukis. Menggunakan medium gouache di atas kertas, puluhan orang tersebut nampak bercengkrama satu sama lain. Judulnya pun menarik, yakni Orang-orang Tercinta.
Lukisan karya seniman senior Jumaadi bertitimangsa 2025 itu, memang berkisah tentang liyan. Mungkin, di sana ada sejumlah wajah orang yang mengisi hari-harinya sewaktu masih di Jogja dan Bali, sebelum dia hijrah ke Sydney.
Baca juga: Pameran Marine Ships Must Be Tampilkan Foto Sejarah Diplomasi Indonesia-Rusia
Di sudut ruang pamer lain, karya perupa Mujahidin Nurrahman juga menghiasi sebuah partisi. Lewat judul Where does all this beauty come from? Seniman asal Bandung, itu seperti sedang memprotes peang yang terus berkecamuk di dunia.
Menggunakan idiom senapan serbu AK-47, Mujahidin mencukil kertas menjadi sebuah gambar yang presisi. Terdiri dari 3 seri, karya berdimensi 30 x 42 cm, itu menggambarkan berbagai siluet bunga hingga mandala yang dikenal sebagai simbol perdamaian.
Karya puluhan seniman berbasis kertas itu, kini tengah dipamerkan di ISA Art Gallery, Jakarta pada 27 Februari sampai 4 April 2025. Berjudul The Paper Menagerie, kurator pameran Kenenza Michiko, memilih karya para seniman yang serba kertas.
Tidak selalu bermedia kertas, karya yang terkait dengan persoalan kertas pun jadi. Fotografer Hardi Budi, misalnya membuat karya foto kaki penari balet bertajuk Dance Like There is No Tomorrow, yang dicetak pada medium art paper, bertarikh 2023.
Seniman lain yang berpartisipasi di antaranya Ruth Marbun, A.Sebastianus, Adi Sundoro, Anang Saptoto, Anastasia Astika, dan Arahmaiani. Umumnya karya yang ditampilkan berupa gambar (drawing), lukisan, sketsa, ada juga kolase, grafis, dan cyanotype.
Kenenza mengatakan, kertas telah dimanfaatkan sebagai medium seni sejak berabad silam. Material dari serat tanaman seperti bambu dan rami ini, bahkan telah dijadikan sebagai bidang untuk seni lukis mulai dari kaligrafi atau karya cetak.
Namun, seiring berjalannya waktu, kertas juga terus dieksplorasi dengan cara baru dalam menyampaikan bahasa rupa. Kertas digunakan bukan hanya sebagai media lukisan, tetapi juga bahan dasar untuk seni tiga dimensi dengan corak yang khas.
"Selain sebagai media untuk menulis dan mendokumentasikan, kertas juga digunakan sebagai sarana bercerita, mulai dari manuskrip Jawa hingga seni pemotongan kertas Tiongkok Jianzhi," katanya.
Dalam tradisi di Nusantara misal. Kertas juga dikenal dengan nama deluang/jeluang yang dibuat dari tumbuhan Broussonetia Papyrifera. Kala itu, medium ini kerap digunakan sebagai pengganti media tulis dan gambar di Jawa dan beberapa pulau lain, termasuk pula wayang beber.
Pada pameran ini, metode pembuatan kertas dengan mengandalkan bahan alami seperti bambu, daun pohon hujan, hingga serat abaka, juga digunakan Widi Pangestu. Perupa asal Bandung, Jawa Barat itu, memboyong 3 karya untuk membuka wacana baru dalam melihat kertas sebagai medium karya.
Salah satunya dalam karya bertajuk Contour yang menampilkan tekstur mentah dari serat-serat kertas. Karya berbentuk persegi panjang yang dibuat pada 2025 itu, sepintas menggambarkan buku dengan bentuk pembatas lipatan yang dibuat dari kayu dengan warna yang unik dari serat-serat pohon.
Lain dari itu, publik juga akan melihat corak otentik dari dedaunan yang masih utuh dan menyisakan jaring batang. Padahal, pigmen tersebut dibuat oleh seniman dengan mengeraskan bubur kayu yang yang diolah sendiri dari serat abaka (spesies pisang), dan kulit pohon murbei.
"Selain memikirkan bagaimana kertas berpotensi sebagai karya seni, aku juga mencoba menjadi jembatan dalam memperkenalkan praktek pembuatan kertas tradisional ke publik,"katanya.
Lebih lanjut, Kenenza mengungkap, berbagai refleksi dalam pameran ini, baik tentang identitas, kehilangan, dan ingatan juga mencerminkan sifat kertas itu sendiri, yakni bagaimana kertas merekam, menyerap, dan menjaga, tetapi juga dapat robek, memudar, atau terlupakan.
"Pameran ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kertas membentuk kehidupan. Kertas bukan sekadar medium, tetapi juga wadah bagi cerita, peta emosi, dan arsip dari momen-momen yang cepat berlalu,"jelasnya.
Baca juga: Menyaksikan Wajah Irlandia dalam Pameran Ireland's Eye di WTC 2 Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Bagian yang mengusik mata adalah bentuk dari wajah yang dilukis. Menggunakan medium gouache di atas kertas, puluhan orang tersebut nampak bercengkrama satu sama lain. Judulnya pun menarik, yakni Orang-orang Tercinta.
Lukisan karya seniman senior Jumaadi bertitimangsa 2025 itu, memang berkisah tentang liyan. Mungkin, di sana ada sejumlah wajah orang yang mengisi hari-harinya sewaktu masih di Jogja dan Bali, sebelum dia hijrah ke Sydney.
Baca juga: Pameran Marine Ships Must Be Tampilkan Foto Sejarah Diplomasi Indonesia-Rusia
Di sudut ruang pamer lain, karya perupa Mujahidin Nurrahman juga menghiasi sebuah partisi. Lewat judul Where does all this beauty come from? Seniman asal Bandung, itu seperti sedang memprotes peang yang terus berkecamuk di dunia.
Menggunakan idiom senapan serbu AK-47, Mujahidin mencukil kertas menjadi sebuah gambar yang presisi. Terdiri dari 3 seri, karya berdimensi 30 x 42 cm, itu menggambarkan berbagai siluet bunga hingga mandala yang dikenal sebagai simbol perdamaian.
Karya puluhan seniman berbasis kertas itu, kini tengah dipamerkan di ISA Art Gallery, Jakarta pada 27 Februari sampai 4 April 2025. Berjudul The Paper Menagerie, kurator pameran Kenenza Michiko, memilih karya para seniman yang serba kertas.
Karya Mujahidin Nurrahman bertajuk Where does all this beauty come from? dalam pameran The Paper Menagerie di ISA Art Gallery, Jakarta (Sumber gambar: dok. ISA Art Gallery, Jakarta)
Seniman lain yang berpartisipasi di antaranya Ruth Marbun, A.Sebastianus, Adi Sundoro, Anang Saptoto, Anastasia Astika, dan Arahmaiani. Umumnya karya yang ditampilkan berupa gambar (drawing), lukisan, sketsa, ada juga kolase, grafis, dan cyanotype.
Kenenza mengatakan, kertas telah dimanfaatkan sebagai medium seni sejak berabad silam. Material dari serat tanaman seperti bambu dan rami ini, bahkan telah dijadikan sebagai bidang untuk seni lukis mulai dari kaligrafi atau karya cetak.
Namun, seiring berjalannya waktu, kertas juga terus dieksplorasi dengan cara baru dalam menyampaikan bahasa rupa. Kertas digunakan bukan hanya sebagai media lukisan, tetapi juga bahan dasar untuk seni tiga dimensi dengan corak yang khas.
"Selain sebagai media untuk menulis dan mendokumentasikan, kertas juga digunakan sebagai sarana bercerita, mulai dari manuskrip Jawa hingga seni pemotongan kertas Tiongkok Jianzhi," katanya.
Dalam tradisi di Nusantara misal. Kertas juga dikenal dengan nama deluang/jeluang yang dibuat dari tumbuhan Broussonetia Papyrifera. Kala itu, medium ini kerap digunakan sebagai pengganti media tulis dan gambar di Jawa dan beberapa pulau lain, termasuk pula wayang beber.
Pada pameran ini, metode pembuatan kertas dengan mengandalkan bahan alami seperti bambu, daun pohon hujan, hingga serat abaka, juga digunakan Widi Pangestu. Perupa asal Bandung, Jawa Barat itu, memboyong 3 karya untuk membuka wacana baru dalam melihat kertas sebagai medium karya.
Karya Widi Pangestu (baris tengah) dalam pameran The Paper Menagerie di ISA Art Gallery, Jakarta (sumber gambar: dok. ISA Art Gallery, Jakarta)
Lain dari itu, publik juga akan melihat corak otentik dari dedaunan yang masih utuh dan menyisakan jaring batang. Padahal, pigmen tersebut dibuat oleh seniman dengan mengeraskan bubur kayu yang yang diolah sendiri dari serat abaka (spesies pisang), dan kulit pohon murbei.
"Selain memikirkan bagaimana kertas berpotensi sebagai karya seni, aku juga mencoba menjadi jembatan dalam memperkenalkan praktek pembuatan kertas tradisional ke publik,"katanya.
Lebih lanjut, Kenenza mengungkap, berbagai refleksi dalam pameran ini, baik tentang identitas, kehilangan, dan ingatan juga mencerminkan sifat kertas itu sendiri, yakni bagaimana kertas merekam, menyerap, dan menjaga, tetapi juga dapat robek, memudar, atau terlupakan.
"Pameran ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kertas membentuk kehidupan. Kertas bukan sekadar medium, tetapi juga wadah bagi cerita, peta emosi, dan arsip dari momen-momen yang cepat berlalu,"jelasnya.
Baca juga: Menyaksikan Wajah Irlandia dalam Pameran Ireland's Eye di WTC 2 Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.