Hypereport: Sinergitas Pengendalian Satwa Invasif di Indonesia
11 March 2023 |
18:26 WIB
1
Like
Like
Like
Penemuan ikan Arapaima Gigas di Garut, Jawa Barat usai banjir bandang akibat meluapnya Sungai Cipeujeuh pada 2022 membuat masyarakat geger. Sebab, ikan raksasa itu bukanlah hewan endemik sungai Cipeujeuh, melainkan dari sungai-sungai di kawasan Amerika Selatan.
Tiga tahun sebelumnya, warga Jawa Timur juga dihebohkan dengan temuan serupa. Sepanjang 2018, bahkan telah ditangkap 8 ekor ikan predator di aliran Sungai Brantas yang mengancam ekosistem satwa endemik di sungai tersebut karena menjadi mangsa dari Arapaima.
Tak hanya Arapaima, beberapa spesies asing sebelumnya pun telah menginvasi alam Indonesia. Seperti red devil, ikan nila, dan keong mas. Keberadaan satwa tersebut sangat membahayakan hewan endemik, karena tingkat agresivitas mereka lebih berbahaya dibandingkan dengan satwa pribumi.
Pokok persoalan dari maraknya satwa invasif ini adalah kehadiran hewan-hewan itu tidak dengan sendirinya. Melainkan berawal dari hobi, yang karena kewalahan saat memeliharanya, hewan tersebut lalu dilepas ke alam liar begitu saja oleh pemilik.
Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton mengatakan, maraknya satwa invasif di alam Indonesia disebabkan lemahnya pengawasan dari pemerintah. Rendahnya sosialisasi dan literasi juga membuat hewan tersebut kian marak dijumpai di masyarakat.
Sejauh ini, Ecoton pun terus berupaya mengembalikan populasi satwa endemik di Sungai Brantas lewat pelepasan ikan-ikan lokal. Tak hanya itu, berkolaborasi dengan masyarakat mereka pun terus memantau pergerakan satwa invasif aliran anak-anak Sungai Brantas.
"Selain Arapaima ada juga ikan invasif yang ditemukan di Sungai Brantas, yakni ikan Aligator. Ini kita ketahui setelah bekerjasama dengan komunitas pemancing dan nelayan. Selain itu kita juga setahun sekali melakukan sensus satwa endemik pada Agustus-September," papar Prigi saat dihubungi Hypeabis.id pada Kamis, (4/3/23).
Sementara itu, Fathur (27), seorang pegiat hewan mengatakan, Arapaima di negara asalnya sebenarnya dipakai sebagai ajang olahraga memancing atau dikonsumsi. Namun, lambat laun ada influencer yang memeliharanya di akuarium dan membuat khalayak fomo atau ikut-ikutan memelihara tanpa didasari literasi yang tepat.
Terlebih saat pemelihara ikan tersebut ingin mendapat pengakuan status sosial karena dapat memelihara Arapaima meski dilarang oleh pemerintah. Ini juga yang berimbas dengan melonjaknya harga ikan tersebut di jalur ilegal yang malah membuat khalayak penasaran.
Oleh karena itu, kewajiban pertama seseorang saat ingin memelihara hewan-hewan yang bersifat invasif adalah komitmen. Namun, yang sering diabaikan adalah kesanggupan dari anggota keluarga di rumah tempat spesies itu dipelihara agar nantinya tidak menjadi invasif dan tidak dilepas begitu saja ke alam liar.
"Dari beberapa kasus beberapa pegiat hewan memang ada yang berkomitmen memelihara binatang peliharaan [invasif], tapi keluarganya tidak mendukung. Jadi, saat ditinggal kerja atau pergi keluar kota hewan itu terlantar, mati, bahkan akhirnya dilepas begitu saja ke alam liar," papar Fathur.
Sebagai pegiat sekaligus pebisnis, Fathur memang tidak menampik bahwa setiap penjual spesies hewan impor peduli terhadap kelestarian satwa endemik. Namun, dia mengklaim selalu memberi edukasi pada konsumennya mulai dari perawatan sampai risiko yang harus diambil saat memelihara satwa-satwa tersebut.
"Ada tiga golongan yang memelihara hewan invasif ini, satu yang benar-benar hobi, kedua karena fomo, dan ketiga adalah yang ingin menaikan status sosial. Namun karena kewalahan dengan biaya pakan yang semakin besar kemudian dilepas begitu saja ke sungai,"papar penjual satwa di Instagram @specialist.exo itu.
Baca juga Hypereport kami:
- Hypereport: Egoisme Manusia di Balik Konten Medsos Satwa Liar
- Hypereport: Ujung Tombak dan Potensi Domestikasi Hewan di Indonesia
- Hypereport: Memaksimalkan Potensi Pariwisata Alam Liar di Indonesia
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Pamuji Lestari mengatakan, penanganan spesies invasif merupakan isu lintas sektoral. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang mempunyai kewenangan terkait pengelolaan spesies asing invasif.
Aturan memelihara satwa invasif salah satunya tertuang dalam Undang-undang 31 Tahun 2004 yang diubah menjadi Undang-undang 45 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014. Namun, Perpu tersebut menurutnya belum cukup mengatur introduksi, penyebaran dan pengendalian ikan predator di Tanah Air.
"Dengan Perpu lintas sektoral mengenai spesies asing invasif diharapkan nantinya pengendaliannya dapat dilakukan secara lebih sangkil dan mangkus oleh masing-masing sektor. Tentu saja sesuai kewenangannya tapi tetap terintegrasi secara nasional," papar Pamuji Lestari dalam wawancara tertulis.
Adapun, upaya untuk mengendalikan satwa-satwa invasif yang sudah masuk ke Indonesia adalah melakukan eradikasi ikan invasif. Tak hanya itu, KKP juga melakukan pelepasan ikan endemik yang telah dilakukan oleh BKIPM bekerja sama dengan pihak dan instansi terkait di beberapa wilayah Indonesia.
"Beberapa di antaranya termasuk penangkapan dan eradikasi ikan Red Devil di Waduk Sermo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebanyak 500 kg, serta dilanjutkan dengan pelepasan Ikan Tawes dan Nilem sebanyak 1,2 juta ekor pada 2019," kata Pamuji.
Dari hulu, KKP juga terus mengawasi dan mencegah masuknya satwa-satwa invasif. Termasuk penyusunan perangkat dan peningkatan kapasitas personil untuk mengidentifikasi jenis ikan bersifat invasif atau berpotensi jenis ikan bersifat invasif di gerbang pintu masuk Indonesia.
"Lewat nota kesepahaman dengan PT Angkasa Pura kami juga memanfaatkan X-ray dalam rangka pemeriksaan untuk pengeluaran, pemasukan atau transit media pembawa [satwa invasif], termasuk penyediaan dan pemanfaatan fasilitas pemeriksaan fisik di terminal penumpang dan kargo," jelas Pamuji.
Baca juga: Mau Selamatkan Satwa Liar yang Dilindungi? Ikuti 5 Langkah Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Tiga tahun sebelumnya, warga Jawa Timur juga dihebohkan dengan temuan serupa. Sepanjang 2018, bahkan telah ditangkap 8 ekor ikan predator di aliran Sungai Brantas yang mengancam ekosistem satwa endemik di sungai tersebut karena menjadi mangsa dari Arapaima.
Tak hanya Arapaima, beberapa spesies asing sebelumnya pun telah menginvasi alam Indonesia. Seperti red devil, ikan nila, dan keong mas. Keberadaan satwa tersebut sangat membahayakan hewan endemik, karena tingkat agresivitas mereka lebih berbahaya dibandingkan dengan satwa pribumi.
Pokok persoalan dari maraknya satwa invasif ini adalah kehadiran hewan-hewan itu tidak dengan sendirinya. Melainkan berawal dari hobi, yang karena kewalahan saat memeliharanya, hewan tersebut lalu dilepas ke alam liar begitu saja oleh pemilik.
Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton mengatakan, maraknya satwa invasif di alam Indonesia disebabkan lemahnya pengawasan dari pemerintah. Rendahnya sosialisasi dan literasi juga membuat hewan tersebut kian marak dijumpai di masyarakat.
Sejauh ini, Ecoton pun terus berupaya mengembalikan populasi satwa endemik di Sungai Brantas lewat pelepasan ikan-ikan lokal. Tak hanya itu, berkolaborasi dengan masyarakat mereka pun terus memantau pergerakan satwa invasif aliran anak-anak Sungai Brantas.
"Selain Arapaima ada juga ikan invasif yang ditemukan di Sungai Brantas, yakni ikan Aligator. Ini kita ketahui setelah bekerjasama dengan komunitas pemancing dan nelayan. Selain itu kita juga setahun sekali melakukan sensus satwa endemik pada Agustus-September," papar Prigi saat dihubungi Hypeabis.id pada Kamis, (4/3/23).
Sementara itu, Fathur (27), seorang pegiat hewan mengatakan, Arapaima di negara asalnya sebenarnya dipakai sebagai ajang olahraga memancing atau dikonsumsi. Namun, lambat laun ada influencer yang memeliharanya di akuarium dan membuat khalayak fomo atau ikut-ikutan memelihara tanpa didasari literasi yang tepat.
Terlebih saat pemelihara ikan tersebut ingin mendapat pengakuan status sosial karena dapat memelihara Arapaima meski dilarang oleh pemerintah. Ini juga yang berimbas dengan melonjaknya harga ikan tersebut di jalur ilegal yang malah membuat khalayak penasaran.
Oleh karena itu, kewajiban pertama seseorang saat ingin memelihara hewan-hewan yang bersifat invasif adalah komitmen. Namun, yang sering diabaikan adalah kesanggupan dari anggota keluarga di rumah tempat spesies itu dipelihara agar nantinya tidak menjadi invasif dan tidak dilepas begitu saja ke alam liar.
"Dari beberapa kasus beberapa pegiat hewan memang ada yang berkomitmen memelihara binatang peliharaan [invasif], tapi keluarganya tidak mendukung. Jadi, saat ditinggal kerja atau pergi keluar kota hewan itu terlantar, mati, bahkan akhirnya dilepas begitu saja ke alam liar," papar Fathur.
Sebagai pegiat sekaligus pebisnis, Fathur memang tidak menampik bahwa setiap penjual spesies hewan impor peduli terhadap kelestarian satwa endemik. Namun, dia mengklaim selalu memberi edukasi pada konsumennya mulai dari perawatan sampai risiko yang harus diambil saat memelihara satwa-satwa tersebut.
"Ada tiga golongan yang memelihara hewan invasif ini, satu yang benar-benar hobi, kedua karena fomo, dan ketiga adalah yang ingin menaikan status sosial. Namun karena kewalahan dengan biaya pakan yang semakin besar kemudian dilepas begitu saja ke sungai,"papar penjual satwa di Instagram @specialist.exo itu.
Baca juga Hypereport kami:
- Hypereport: Egoisme Manusia di Balik Konten Medsos Satwa Liar
- Hypereport: Ujung Tombak dan Potensi Domestikasi Hewan di Indonesia
- Hypereport: Memaksimalkan Potensi Pariwisata Alam Liar di Indonesia
Penanganan Lintas Sektoral
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Pamuji Lestari mengatakan, penanganan spesies invasif merupakan isu lintas sektoral. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang mempunyai kewenangan terkait pengelolaan spesies asing invasif.Aturan memelihara satwa invasif salah satunya tertuang dalam Undang-undang 31 Tahun 2004 yang diubah menjadi Undang-undang 45 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2014. Namun, Perpu tersebut menurutnya belum cukup mengatur introduksi, penyebaran dan pengendalian ikan predator di Tanah Air.
"Dengan Perpu lintas sektoral mengenai spesies asing invasif diharapkan nantinya pengendaliannya dapat dilakukan secara lebih sangkil dan mangkus oleh masing-masing sektor. Tentu saja sesuai kewenangannya tapi tetap terintegrasi secara nasional," papar Pamuji Lestari dalam wawancara tertulis.
Adapun, upaya untuk mengendalikan satwa-satwa invasif yang sudah masuk ke Indonesia adalah melakukan eradikasi ikan invasif. Tak hanya itu, KKP juga melakukan pelepasan ikan endemik yang telah dilakukan oleh BKIPM bekerja sama dengan pihak dan instansi terkait di beberapa wilayah Indonesia.
"Beberapa di antaranya termasuk penangkapan dan eradikasi ikan Red Devil di Waduk Sermo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebanyak 500 kg, serta dilanjutkan dengan pelepasan Ikan Tawes dan Nilem sebanyak 1,2 juta ekor pada 2019," kata Pamuji.
Dari hulu, KKP juga terus mengawasi dan mencegah masuknya satwa-satwa invasif. Termasuk penyusunan perangkat dan peningkatan kapasitas personil untuk mengidentifikasi jenis ikan bersifat invasif atau berpotensi jenis ikan bersifat invasif di gerbang pintu masuk Indonesia.
"Lewat nota kesepahaman dengan PT Angkasa Pura kami juga memanfaatkan X-ray dalam rangka pemeriksaan untuk pengeluaran, pemasukan atau transit media pembawa [satwa invasif], termasuk penyediaan dan pemanfaatan fasilitas pemeriksaan fisik di terminal penumpang dan kargo," jelas Pamuji.
Baca juga: Mau Selamatkan Satwa Liar yang Dilindungi? Ikuti 5 Langkah Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.