Ilustrasi satwa liar di dalam kandang (Sumber gambar/Unsplash: Ghiffary Ridhwan)

Hypereport:  Egoisme Manusia di Balik Konten Medsos Satwa Liar

11 March 2023   |   09:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Dahulu, orang-orang memelihara satwa liar hanya untuk dijadikan peliharaan. Sekarang, tidak cukup hanya peliharaan. Hewan-hewan tersebut juga dijadikan konten media sosial. Tingkah mereka di dalam kurungan, yang tidak lepas dari riuhnya hutan beton, dianggap menjadi tontonan menarik bagi sebagian orang. 

Padahal, hewan-hewan liar itu seharusnya tinggal di rumah mereka. Bukan rumah manusia. Di habitatnya, hewan-hewan ini memiliki fungsi penting dalam menjaga ekosistem, yang pada hilirnya memberi manfaat pada keberlangsungan hidup manusia. Mirisnya, eksistensi mereka di alam bebas terancam, bahkan tidak sedikit yang kini berada di balik kandang menjadi hewan peliharaan. 
 

Davina Veronica, model yang juga aktivis Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia (KPHI) ini tidak tenang melihat konten-konten satwa liar bertebaran di medsos. Bagi wanita yang juga berprofesi sebagai model ini, mengekspos atau menjadikan hewan liar sebagai konten, bisa menjadi efek domino. 

Hal itu bakal memunculkan permintaan terhadap satwa liar. Pada akhirnya, memicu orang-orang untuk berburu satwa liar demi memenuhi permintaan tersebut. Davina menegaskan bahwa perburuan satwa liar masuk dalam lima kejahatan besar di dunia. 

“Konten satwa liar di medsos ini bisa memicu [perburuan liar], ini seperti lingkaran setan dari yang namanya pemburu, pedagang, pembeli. Selama permintaan ada, maka selamanya satwa liar akan terus diburu,” ujarnya saat dihubungi Hypeabis.id, Rabu (1/3/2023).

Lebih mirisnya lagi, perdagangan satwa liar seakan sudah menjadi rahasia umum. Di Pasar Parmuka, praktik tersebut terang-terangan terjadi.  Veronica terperanjat ketika berkunjung ke pasar tersebut untuk mengetahui hewan apa saja yang dijual. 
 

Davina (Sumber gambar: Dok. Pribadi)

Davina (Sumber gambar: Dok. Pribadi)

Sedih, kesal, dan marah membuncah ketika melihat para hewan berjejal sesak di kandang kecil sepanjang waktu hingga akhirnya dibeli untuk dipelihara. Namun, emosi itu tidak bisa tersalurkan karena dia sedang menyamar. 

“Sudah pengetahuan dasar atau umum bahwa satwa liar ya harusnya hidup bebas di alam. Secara alamiah mereka berburu untuk mendapat makanan dan menjalani mobilitas berpuluh-puluh kilometer secara individual maupun kelompok,” ujarnya. 

Hewan liar bukan untuk didomestikasi, terlebih mereka memiliki peran penting memberikan keseimbangan pada ekosistem. Ketika ekosistem dan alam itu lestari, toh manusia yang menjadi penerima manfaatnya. “Yang memelihara dan merawat alam, satwa liar itu. Itu pendidikan, logika dasar,” sebut Veronica.

Memang, menurutnya, di dalam regulasi disebutkan untuk memelihara satwa liar, perlu memperhatikan kesejahteraannya. Pada Pasal 83 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, dijelaskan kesejahteraan hewan dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan hewan yang meliputi bebas dari rasa lapar dan haus; dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dari rasa takut dan tertekan; dan untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Akan tetapi, di mata Veronica, kesejahteraan itu tetap bersifat semu. Dia menilai kesejahteraan hewan liar hanya bisa dicapai ketika mereka hidup di alam. Tidak akan pernah bisa manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Justru banyak kerugian yang didapat hewan tersebut jika dipelihara. 

Selain kehilangan dan dipisahkan dari induk, keluarga, hingga kelompoknya, mereka pastinya tidak bisa hidup bebas sebagaimana mestinya. “Kalau dipelihara itu hal yang egois dan manusia sampai kapanpun tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar satwa liar, titik,” ujarnya. 

Kecuali, hewan yang masuk ke dalam pusat rehabilitasi dan konservasi dengan tujuan dilepasliarkan kembali. Hal itu pun ada yang terpaksa harus menetap karena tidak lagi punya kemampuan bertahan hidup di alam bebas. 

Menurutnya jika para influencer maupun artis mengaku sebagai pecinta hewan liar, seharusnya rasa cinta atau sayang itu tidak disalah artikan dengan memelihara mereka. Cinta itu sejatinya ditunjukkan dengan membiarkan hewan liar bebas di alam. 

“Kalau benar peduli, tertarik, ya jadi salah satu peneliti, ahli konservasi, atau kalau mau lihat saja, bisa liat dokumenter, enggak perlu masukin ke area, di tangkar. Bayangin hewan liar di satu tempat itu saja, it’s not fair for them,” tuturnya.


Regulasi Perlu Diubah

Menurut Veronica, merujuk pada regulasi yang ada, tidak dipungkiri masih ada celah untuk masyarakat memelihara satwa liar. Bahkan, satwa dilindungi dari negara endemiknya. Dia berpendapat sudah saatnya dibuat ulang peraturan bahwa satwa liar dari negara manapun asalnya, tidak boleh dijadikan peliharaan. 

Di beberapa negara, ketika menemukan hewan liar yang dilindungi dari negara lain, pemerintah setempat akan langsung mengembalikannya. Seperti aksi yang sempat dilakukan Davina bersama NGO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) pada beberapa waktu lalu. 

Dia dan para aktivis tersebut pernah menemukan orang utan di Kuwait. Oleh karena mengetahui orang utan merupakan hewan dilindungi, endemik, dan terancam punah di Indonesia, akhirnya dikembalikan ke Tanah Air. 

Kalau pun berlindung dari alasan bahwa hewan tersebut  sudah keturunan ketiga jadi boleh dipelihara, Davina menilai hal tersebut tetap tidak dibenarkan. “Untuk apa sih? For your ego, for your status, atau for your fame atau untuk apa?  Kenapa rasa cinta atau rasa sayang diartikan salah?” ujarnya bertanya-tanya.

Pemerintah menurutnya memiliki peran besar melindungi hewan liar yang merupakan aset negara. Pemerintah harus mulai menanggapi hal ini lebih serius dengan menerapkan hukum yang jelas dan ketat. 

Veronica meminta agar penanganan harus kepada tingkat yang paling dasar seperti memberi pesan ke masyarakat bahwa eksploitasi, penyiksaan, dan perdagangan satwa liar adalah tindakan yang tidak baik dan tidak boleh ditoleransi  “Jangan sampai alam dieksploitasi terus tanpa berikan waktu untuk regenerasi. Itu tidak seimbang,” ucapnya memperingatkan. 

Perlu pendidikan dan kampanye kesadaran yang tepat agar bisa membangun karakter masyarakat yang lebih peduli kepada hewan domestik atau liar. “Buat undang-undang baru itu satu keharusan, dimana tidak ada celah untuk menyakiti, mengeksploitasi hewan ini,” katanya.

Namun, diperlukan peran segala level untuk melindungi hewan liar untuk hidup di alamnya dan bebas dari perburuan. Bukan hanya tugas dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat seperti KPHI, tetapi juga masyarakat. 

Veronica menyampaikan gerakan ini bukan sebatas mencegah penderitaan kepada hewan, melainkan mencegah tumbuh kembangnya masyarakat Indonesia yang tanpa belas kasihan dan pelaku kejahatan kepada manusia. 

Dia menyampaikan dalam sebuah penelitian psikologi terhadap pembunuh dan pemerkosa, ternyata pelaku memiliki sejarah mengeksploitasi dan menyiksa hewan. “Ketika kamu bisa seenaknya pada hewan, kamu juga bisa seenaknya ke manusia,” imbuhnya.


Tak Boleh Asal Pelihara

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Spesies Genetik (KKHGS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Exsploitasia,  mengatakan, sudah semestinya satwa liar dibiarkan hidup di habitatnya, dan menjalankan fungsinya sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem di alam. 

Kendati demikian, memang tidak ada larangan untuk memelihara satwa liar khususnya yang tidak dilindungi. Hal ini sesuai dengan PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Tergambar rigid pada Pasal 37 ayat 1 yang menyebut setiap orang dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan. Akan tetapi, dengan syarat, tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan diperoleh dari hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam, sesuai Pasal 39 ayat 1 pada regulasi tersebut. 

Pemeliharaan juga tidak asal. Satwa liar harus terjamin kesehatan, kenyamanan, dan keamanannya. Pemilik harus menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan. "Memelihara satwa liar harus mengantongi izin," ujar Indra dikutip Hypeabis.id melalui pernyataannya.

Menanggapi banyaknya satwa liar yang dijadikan konten medsos yang dilakukan influencer hingga selebriti, menurutnya bisa menjadi pemicu bagi para follower mereka untuk memelihara satwa liar dilindungi. “Sehingga banyak pihak yang mengkhawatirkan terjadinya perburuan liar untuk mendapatkan satwa liar dilindungi,” tutur Indra.

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Cerita Coki Anwar Menemukan Lucu dari Persona Komika Kuat

BERIKUTNYA

Cek Jadwal & Tata Cara Penukaran Tiket Konser Arctic Monkeys

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: