Ilustrasi remaja. (Sumber gambar: Unsplash/Freestocks)

Generasi Z, Ini Tantangan untuk Keluar dari Zona Nyaman

02 March 2023   |   23:56 WIB
Image
Gita Carla Hypeabis.id

Like
Media sosial telah menjadi fenomena yang mengubah cara manusia dalam berinteraksi satu sama lain. Berkat perkembangan teknologi yang makin canggih, media sosial telah menjadi alat yang sangat populer untuk berbagi informasi, penghubung kita dengan teman dan keluarga, serta sebagai alat promosi bisnis.

Namun demikian, patut Genhype sadari bahwa kepopuleran media sosial tidak lepas dari kontroversi dan drama yang terus mengemuka. Setiap hari kita melihat berita tentang orang-orang yang terjebak dalam masalah atau skandal karena kegiatan mereka di media sosial. Inilah mengapa media sosial tampaknya tidak pernah kehabisan drama.

Sudah dengar belum, beberapa minggu belakangan ini dunia media sosial sedang riuh gara-gara seorang anak gen Z berkeluh kesah soal uang sakunya?
 

Twitter

Twitter


Sontak, dong, perasaan para generasi sebelumnya bergejolak. Beragam respons pun muncul jadi bahan canda. “Waduh, pengen gw pites nih bocah”. “Helloo .. kamu bertanyea-tanyeaaa?” “Kamu better cobain kerja dulu , deh, dengan gaji UMR.”

Baca juga: Banyak Gen Z Khawatir dengan Kondisi Keuangan Masa Depannya, Kok Bisa?

Memang benar, besar kecilnya uang saku anak sangat tergantung pada kemampuan finansial orang tua. Sah-sah saja, sih, jika orang tua menyokong, toh itu dana pribadi mereka. Tapi, baikkah perlakuan ini bagi perkembangan mental anak secara jangka panjang? Namun, roda kehidupan selalu berputar. Kita tidak tahu apakah orang tua akan selalu berjaya. Harapan kita tentu jangan sampai berada di titik nadir. Namun, seandainya, jika orang tua penjamin kemudahan bagi anak-anak gen Z itu terkena musibah, mampukah mereka bertahan?

Terdapat temuan sejumlah faktor yang membuat gen Z menjadi konsumtif. Menurut Kupperschmidt (2000), gen Z, atau yang dikenal juga sebagai generasi internet atau i-generation, merupakan generasi yang lahir pada tahun 1995-2010. Di usia remaja mereka saat ini, muncul tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas ego, fase genital perkembangan psikoseksual, serta puncak perkembangan kognitif dan moral (Ericson, dkk. dalam Putro, 2017).

Peer group dan lingkungan cenderung memengaruhi mereka untuk berperilaku konsumtif, membeli barang secara kontinu hanya berdasarkan apa yang diinginkan, bukan karena kebutuhan (Fitriyani, Widodo, & Fauziah, 2013).

Apalagi terpaan mudahnya akses media sosial yang menawarkan produk-produk yang menarik perhatian, mendorong mereka untuk berperilaku menjaga penampilan atau gengsi, membeli, memakai, atau mencoba produk karena follow model iklan atau kelompok sosialnya (Sumartono, 2002). Kendati hanya berskala di kota Samarinda, dari sebuah penelitian bertema Pengaruh Intensitas Penggunaan Media Sosial Instagram dan Konformitas terhadap Perilaku Konsumtif di Kalangan Generasi Z (Riki Khrishananto &  Muhammad Ali Adriansyah, 2021) kita mengetahui sebab fenomena di atas melalui sejumlah temuan berikut.

Pertama, terdapat pengaruh antara intensitas penggunaan media sosial instagram dan konformitas terhadap perilaku konsumtif di kalangan gen Z (remaja). Kedua, terdapat pengaruh antara intensitas penggunaan media sosial instagram terhadap perilaku konsumtif di kalangan gen Z (remaja). Ketiga, terdapat pengaruh antara konformitas terhadap perilaku konsumtif di kalangan gen Z (remaja).

Dari penelitian lain bertitel Pengaruh Penyampaian Informasi pada Aplikasi TikTok terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z (Novia Wijaya & Lusia Savitri Setyo Utami, 2021), aplikasi TikTok juga disebut-sebut cukup memberi efek. Hasil penelitian menunjukkan, terdapat pengaruh penyampaian informasi terhadap perilaku konsumtif gen Z sebesar 37.4 persen. Dimensi yang paling memengaruhi ialah dimensi kejelasan informasi pada variabel penyampaian informasi, sedangkan pada variabel perilaku konsumtif, dimensi yang paling dipengaruhi merupakan dimensi inefisiensi biaya dan mengikuti mode.

Secara psikologis, dalam laporan Asosiasi Psikologis Amerika (APA) pada tahun 2018 disebutkan, 9 dari 10 dewasa muda Gen Z (91 persen) mengatakan mereka telah mengalami setidaknya satu gejala fisik atau emosional karena stres. Mereka merasa tertekan atau sedih (58 persen) atau kurang minat, motivasi, atau energi (55 persen).

Media sosial diklaim memperburuk tingkat stres gen Z. Noreena Hertz, ekonom dan penulis Inggris, mewawancarai 2.000 Gen Z selama 18 bulan dan menemukan generasi ini cenderung lebih mengalami rasa cemas, takut, dan lelah dibandingkan generasi-generasi sebelum mereka.

Hertz mengatakan, gen Z tumbuh dewasa di tengah era serbacepat dengan perkembangan teknologi yang pesat dan dalam bayang-bayang ekonomi, ketidakamanan, persaingan, serta tuntutan pekerjaan. Itulah yang membuat mereka kerap insecure dan overthinking.

Sering kita dengar, orang-orang hebat lahir dari zona tidak nyaman. Kondisi membuat mereka terlatih untuk berjuang keras mengubah keadaan menjadi nyaman. So, for you gen Z, ayo, ubah mind set meskipun banyak jaminan kesenangan yang kalian terima, supaya kalian jadi pribadi yang kuat dan mampu beradaptasi dengan perubahan, termasuk kondisi isi kantong. Step by step, mulai dari sekarang. 

Baca juga: 7 Langkah Mudah Belajar Mengelola Keuangan Bagi Milenial & Gen Z

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Roni Yunianto

SEBELUMNYA

Dorong Kreativitas Wanita Muslim, Indonesia Hijabfest Bakal Digelar untuk ke-11 Kalinya

BERIKUTNYA

Rilis Smartwatch dan TWS, Cek Keunggulan Huawei Watch GT 3 SE & Huawei FreeBuds 5i

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: