Motif Baru Batik Magelang Mejeng di IFW 2023, Usung Keberlanjutan Tanpa Potongan Kain
25 February 2023 |
22:38 WIB
Magelang punya desain motif batik baru nih. Lahir dari tangan desainer Adith Hendart, motif yang terinspirasi dari julukan Kota Sejuta Bunga itu hadir dalam panggung Nusantara Heritage di Indonesia Fashion Week, Sabtu (25/2/2023). Wastra ini juga mengusung zero waste dalam proses pembuatannya lho.
Ya, Adith mendesain sendiri corak batik motif sekar jagad dengan bunga yang cenderung besar. Dia menyematkan dengan apik bunga lily dan anggrek ke dalam wastra Nusantara itu. Tidak ketinggalan satwa endemik Magelang, Burung Gelatik Madu.
Baca juga: Desain Filosofis Wastra Nusantara di Tangan Desainer Muda Hadir di IFW 2023
Motifnya pun terbilang tidak terlalu rumit dan ramai seperti batik pada umumnya. Semua disesuaikan dengan selera atau tren generasi milenial dan Z dalam berbusana.
“Bunga-bunganya sesuai imajinasi kita. Saya juga perkenalkan batik yang tidak terlalu rumit. Batik yang terlalu rumit membuat anak muda questioning dan wondering,” ujarnya kepada Hypeabis.id, sesusai menampilkan karyanya dalam panggung JFW 2023 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (25/2/2023).
Adith juga mengaplikasikan motif dengan modern melalui permainan palet warna neon lime green yang cerah dan viva magenta, yang bersemangat serta menyala. Sebagai dasar, dia menggunakan kain berwarna beige.
Warna lime green dan viva magenta yang disematkan Adith dalam koleksi bertajuk Asa itu didapatkan dari bahan alami berupa kulit kayu dan daun. Adith sempat kesulitan untuk mendapatkan warna lime green dari campuran warna biru dan kuning, ketika cuaca alam berubah.
“Ternyata membuat batik harus berdamai dengan alam. Ketika mendung, warna hijaunya jadi butek,” ungkapnya.
Adapun material yang dipakai Adith kali ini berupa linen, katun, silk, dan chiffon organza silk yang terbilang ringan. Semua melebur menjadi sebuah koleksi perayaan akulturasi masa yang beradaptasi dalam garis kepraktisan kekinian khas anak muda masa kini.
“Kita pilih dua yang canting, sisanya print menggunakan mesin itu bahannya silk. Kita punya harapan anak muda mau coba (pakai batik dalam situasi apapun),” tuturnya.
Secara umum, batik Magelangan yang lahir dari tangan Adith memiliki dua filosofi. Pertama, mengusung nilai berahnomnomi, yakni semangat anak muda. Kedua, woh pangolahin budi, yang merupakan hasil olah rasa, pikiran, dan teknologi.
Adith turut menginterpretasikan rekaman memori dan imajinasinya ke berbagai elemen busana dan dalam potongan pola adaptif mulai dari kebaya, kimono, rok sarung, hingga potongan kotak, dan oversized yang modern. Semua disesuaikan dalam proporsi baru yang dilebur bersama permainan motif dan warna, hingga menciptakan olahan baru yang bersemangat, etnik sekaligus kontemporer.
Adapun tema ASA yang dipilih memiliki arti harapan sesuai bahasa sansekerta. Harapan bagaimana bisa beradaptasi, bergerak, dan tetap optimis setelah melalui masa panjang penuh tantangan.
Koleksi yang didukung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Magelang ini juga melibatkan para Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atau penduduk lokal. “Seperti yang mengajar di penjara, hasilnya kita tampilkan di sini. UMKM binaan Deskranasda,” imbuhnya.
Dia juga menerapkan zero waste dengan tidak tidak memotong bahan untuk menjadikan kain sebagai busana dari semua koleksi yang ditampilkan dalam IFW 2023 hari ini. Hal tersebut dilakukannya karena sadar bahwa limbah fesyen merupakan penyumbang polusi terbesar di dunia.
“Zero waste itu lebih kepada peletakan pola dan pola pikir baru, bagaimana menghasilkan karya yang tidak hasilkan limbah,” jelasnya.
Menyiasati potongan, Adith menggunakan teknik drapping alias memutar, mengayunkan, memilin, hingga meremas selembar kain untuk jadi busana yang pas di badan dan eye catching. “Seperti koleksi terakhir ku, Finale. Ada 3 lembar kain batik saya jadikan 1 rok, tidak ada potongan sama sekali, semuanya didraping,” tuturnya.
Baca juga: Eksplorasi Produk Heritage Daerah di Panggung Age of Archipelago IFW 2023
Adith berharap ke depannya akan banyak desainer yang merancang busana yang ramah lingkungan. Aksi itu harus segera dimulai dengan memahami apa saja yang mencemari lingkungan. Kalau pun sudah tau, jangan lakukan hal-hal yang mencemari lingkungan itu.
“Tantangannya, kalau brand semuanya zero waste, itu berat karena ada harga yang harus dibayar, bisa jadi lebih mahal,” tambahnya.
Sementara itu, Adith mengaku tertarik untuk mengolah kembali pakaian atau wastra lama menjadi busana terbaru. Dengan demikian, dia berharap limbah pakaian semakin bisa diminimalisir.
Editor: Fajar Sidik
Ya, Adith mendesain sendiri corak batik motif sekar jagad dengan bunga yang cenderung besar. Dia menyematkan dengan apik bunga lily dan anggrek ke dalam wastra Nusantara itu. Tidak ketinggalan satwa endemik Magelang, Burung Gelatik Madu.
Baca juga: Desain Filosofis Wastra Nusantara di Tangan Desainer Muda Hadir di IFW 2023
Motifnya pun terbilang tidak terlalu rumit dan ramai seperti batik pada umumnya. Semua disesuaikan dengan selera atau tren generasi milenial dan Z dalam berbusana.
“Bunga-bunganya sesuai imajinasi kita. Saya juga perkenalkan batik yang tidak terlalu rumit. Batik yang terlalu rumit membuat anak muda questioning dan wondering,” ujarnya kepada Hypeabis.id, sesusai menampilkan karyanya dalam panggung JFW 2023 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (25/2/2023).
Adith juga mengaplikasikan motif dengan modern melalui permainan palet warna neon lime green yang cerah dan viva magenta, yang bersemangat serta menyala. Sebagai dasar, dia menggunakan kain berwarna beige.
Warna lime green dan viva magenta yang disematkan Adith dalam koleksi bertajuk Asa itu didapatkan dari bahan alami berupa kulit kayu dan daun. Adith sempat kesulitan untuk mendapatkan warna lime green dari campuran warna biru dan kuning, ketika cuaca alam berubah.
“Ternyata membuat batik harus berdamai dengan alam. Ketika mendung, warna hijaunya jadi butek,” ungkapnya.
Adapun material yang dipakai Adith kali ini berupa linen, katun, silk, dan chiffon organza silk yang terbilang ringan. Semua melebur menjadi sebuah koleksi perayaan akulturasi masa yang beradaptasi dalam garis kepraktisan kekinian khas anak muda masa kini.
“Kita pilih dua yang canting, sisanya print menggunakan mesin itu bahannya silk. Kita punya harapan anak muda mau coba (pakai batik dalam situasi apapun),” tuturnya.
Secara umum, batik Magelangan yang lahir dari tangan Adith memiliki dua filosofi. Pertama, mengusung nilai berahnomnomi, yakni semangat anak muda. Kedua, woh pangolahin budi, yang merupakan hasil olah rasa, pikiran, dan teknologi.
Adith, desainer yang menciptakan motif Magelang. (Sumber gambar : Desyinta Nuraini)
Adith turut menginterpretasikan rekaman memori dan imajinasinya ke berbagai elemen busana dan dalam potongan pola adaptif mulai dari kebaya, kimono, rok sarung, hingga potongan kotak, dan oversized yang modern. Semua disesuaikan dalam proporsi baru yang dilebur bersama permainan motif dan warna, hingga menciptakan olahan baru yang bersemangat, etnik sekaligus kontemporer.
Adapun tema ASA yang dipilih memiliki arti harapan sesuai bahasa sansekerta. Harapan bagaimana bisa beradaptasi, bergerak, dan tetap optimis setelah melalui masa panjang penuh tantangan.
Koleksi yang didukung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Magelang ini juga melibatkan para Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atau penduduk lokal. “Seperti yang mengajar di penjara, hasilnya kita tampilkan di sini. UMKM binaan Deskranasda,” imbuhnya.
Mengusung Keberlanjutan
Batik Magelangan karya Adith ternyata turut mengusung keberlanjutan dalam pembuatannya. Selain menggunaan pewarna alam, wastra ini 100 persen terbuat dari katun organik.Dia juga menerapkan zero waste dengan tidak tidak memotong bahan untuk menjadikan kain sebagai busana dari semua koleksi yang ditampilkan dalam IFW 2023 hari ini. Hal tersebut dilakukannya karena sadar bahwa limbah fesyen merupakan penyumbang polusi terbesar di dunia.
“Zero waste itu lebih kepada peletakan pola dan pola pikir baru, bagaimana menghasilkan karya yang tidak hasilkan limbah,” jelasnya.
Menyiasati potongan, Adith menggunakan teknik drapping alias memutar, mengayunkan, memilin, hingga meremas selembar kain untuk jadi busana yang pas di badan dan eye catching. “Seperti koleksi terakhir ku, Finale. Ada 3 lembar kain batik saya jadikan 1 rok, tidak ada potongan sama sekali, semuanya didraping,” tuturnya.
Baca juga: Eksplorasi Produk Heritage Daerah di Panggung Age of Archipelago IFW 2023
Adith berharap ke depannya akan banyak desainer yang merancang busana yang ramah lingkungan. Aksi itu harus segera dimulai dengan memahami apa saja yang mencemari lingkungan. Kalau pun sudah tau, jangan lakukan hal-hal yang mencemari lingkungan itu.
“Tantangannya, kalau brand semuanya zero waste, itu berat karena ada harga yang harus dibayar, bisa jadi lebih mahal,” tambahnya.
Sementara itu, Adith mengaku tertarik untuk mengolah kembali pakaian atau wastra lama menjadi busana terbaru. Dengan demikian, dia berharap limbah pakaian semakin bisa diminimalisir.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.