Lagi Viral, Ini Penyebab Hingga Risiko Jika Ogah Nikah & Punya Anak
26 December 2022 |
21:00 WIB
Persoalan usia menikah mencuat dalam beberapa pekan terakhir. Isu ini berkembang dengan ramainya ancaman ‘resesi seks’ di Korea Selatan dan Jepang. Penyebabnya, banyak penduduk di negara Asia itu yang memilih untuk tidak memiliki keturunan atau yang dikenal dengan sebutan child free.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pun menyebut potensi itu bisa terjadi di Indonesia mengingat usia pernikahan yang semakin mundur. Tidak sedikit masyarakat terutama di kota-kota besar yang ingin mengejar karir ketimbang memutuskan untuk menikah atau memiliki anak.
Kendati demikian, potensi itu dirasa masih terlalu dini terjadi di Tanah Air. Sementara itu, dia menyarankan agar masyarakat menikah di bawah usia 35 tahun.
Menikah di atas usia 35 tahun terutama bagi perempuan katanya menimbulkan risiko bagi kehamilan. Beragam masalah bisa muncul, termasuk risiko kecacatan pada kandungan atau bayi. Oleh karena itu, menurutnya usia menikah yang paling ideal yakni di atas 20 tahun.
Baca juga: Ubah Metode Penghitungan Usia, Warga Korsel Bakal Jadi Setahun Lebih Muda
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim menyebut masyarakat atau wanita yang menunda pernikahan biasanya disebabkan beberapa faktor. Diantaranya yani butuh waktu untuk lebih mengenal pasangan, belum siap, hingga fokus pada prioritas hidup yang lain seperti karir.
“Atau punya pertimbangan-pertimbangan dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk aktualisasi diri,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Sementara itu, Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Elsener menilai tuntutan kehidupan di kota besar juga membuat masyarakat yang memilih untuk tidak memiliki anak atau menundanya.
“Faktor yang paling tinggi adalah faktor finansial apalagi kalau dirinya termasuk generasi sandwich yang harus melunasi utang orangtua,” sebutnya.
Tidak sedikit pula masyarakat yang ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Oleh karena itu mereka memilih fokus bekerja hingga mencapai standar kehidupan yang diharapkan.
Faktor psikologis juga memainkan peran. Kata Samanta, semakin banyak masyarakat yang peduli dengan situasi mental dan bagaimana menjalani kehidupan pernikahan serta berkeluarga tidak semudah yang dibayangkan.
Faktor lainnya, mereka ingin merasa lebih bebas tanpa ada ikatan komitmen. Bisa juga karena ada trauma, masalah medis, atau psikologis lainnya yang akhirnya memilih lebih baik hidup sendiri.
“Ada juga yang memiliki ketakutan terhadap kegagalan dalam pernikahan atau mengasuh anak,” tuturnya.
Ketika semakin banyak masyarakat yang memutuskan untuk tidak menikah bahkan enggan memiliki anak, menurut Samanta dampaknya yang akan terjadi sangat besar terhadap keluarga. Banyak anggota keluarga merasa kecewa dan terus bertanya-tanya, sehingga dapat mengganggu privasi seseorang.
Dari sisi negara, saat jumlah orang lansia lebih banyak daripada jumlah penduduk di usia produktif, akan terjadi ketimpangan sumber daya manusia di negara tersebut, pertumbuhan ekonomi, dan kekosongan di suatu kota atau daerah. Dampak lainnya yakni membuat biaya hidup semakin tinggi hingga semakin bergantung pada SDM asing.
“Dampak jangka panjangnya secara psikologis di masa tua bisa merasakan kesepian tanpa adanya keturunan dan keluarga generasi mudanya,” jelas Samanta.
Dampak kesepian ini tampaknya sudah terjadi di Korea Selatan. Beberapa waktu lalu, media di negeri Gingseng tersebut menyampaikan munculnya fenomena godoksa atau meninggal karena kesepian karena hidup sendiri atau putus hubungan dari keluarga maupun kerabat.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel mecatat pada 2021, negaranya mencatat 3..378 orang meninggal dunia akibat godoksa. Terbanyak terjadi pada penduduk berusia 50-an dan 60-an tahun.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pun menyebut potensi itu bisa terjadi di Indonesia mengingat usia pernikahan yang semakin mundur. Tidak sedikit masyarakat terutama di kota-kota besar yang ingin mengejar karir ketimbang memutuskan untuk menikah atau memiliki anak.
Kendati demikian, potensi itu dirasa masih terlalu dini terjadi di Tanah Air. Sementara itu, dia menyarankan agar masyarakat menikah di bawah usia 35 tahun.
Menikah di atas usia 35 tahun terutama bagi perempuan katanya menimbulkan risiko bagi kehamilan. Beragam masalah bisa muncul, termasuk risiko kecacatan pada kandungan atau bayi. Oleh karena itu, menurutnya usia menikah yang paling ideal yakni di atas 20 tahun.
Baca juga: Ubah Metode Penghitungan Usia, Warga Korsel Bakal Jadi Setahun Lebih Muda
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim menyebut masyarakat atau wanita yang menunda pernikahan biasanya disebabkan beberapa faktor. Diantaranya yani butuh waktu untuk lebih mengenal pasangan, belum siap, hingga fokus pada prioritas hidup yang lain seperti karir.
“Atau punya pertimbangan-pertimbangan dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk aktualisasi diri,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Sementara itu, Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Elsener menilai tuntutan kehidupan di kota besar juga membuat masyarakat yang memilih untuk tidak memiliki anak atau menundanya.
“Faktor yang paling tinggi adalah faktor finansial apalagi kalau dirinya termasuk generasi sandwich yang harus melunasi utang orangtua,” sebutnya.
Fenomena godoksa di Korea Selatan terus mengalami peningkatan. (Sumber gambar: Pexels/Martin Péchy)
Faktor psikologis juga memainkan peran. Kata Samanta, semakin banyak masyarakat yang peduli dengan situasi mental dan bagaimana menjalani kehidupan pernikahan serta berkeluarga tidak semudah yang dibayangkan.
Faktor lainnya, mereka ingin merasa lebih bebas tanpa ada ikatan komitmen. Bisa juga karena ada trauma, masalah medis, atau psikologis lainnya yang akhirnya memilih lebih baik hidup sendiri.
“Ada juga yang memiliki ketakutan terhadap kegagalan dalam pernikahan atau mengasuh anak,” tuturnya.
Ketika semakin banyak masyarakat yang memutuskan untuk tidak menikah bahkan enggan memiliki anak, menurut Samanta dampaknya yang akan terjadi sangat besar terhadap keluarga. Banyak anggota keluarga merasa kecewa dan terus bertanya-tanya, sehingga dapat mengganggu privasi seseorang.
Dari sisi negara, saat jumlah orang lansia lebih banyak daripada jumlah penduduk di usia produktif, akan terjadi ketimpangan sumber daya manusia di negara tersebut, pertumbuhan ekonomi, dan kekosongan di suatu kota atau daerah. Dampak lainnya yakni membuat biaya hidup semakin tinggi hingga semakin bergantung pada SDM asing.
“Dampak jangka panjangnya secara psikologis di masa tua bisa merasakan kesepian tanpa adanya keturunan dan keluarga generasi mudanya,” jelas Samanta.
Dampak kesepian ini tampaknya sudah terjadi di Korea Selatan. Beberapa waktu lalu, media di negeri Gingseng tersebut menyampaikan munculnya fenomena godoksa atau meninggal karena kesepian karena hidup sendiri atau putus hubungan dari keluarga maupun kerabat.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel mecatat pada 2021, negaranya mencatat 3..378 orang meninggal dunia akibat godoksa. Terbanyak terjadi pada penduduk berusia 50-an dan 60-an tahun.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.