Bunda, Ini Zat Paling Penting untuk Mencegah Stunting pada Anak
30 January 2023 |
08:31 WIB
Stunting masih menjadi risiko yang masih terjadi pada bayi dan anak Indonesia hingga saat ini. Bukan hanya soal tumbuh kembang, namun persoalan gizi anak ini berpotensi mengganggu tujuan pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia emas pada 2045. Untuk itu, bayi dan anak perlu mendapatkan gizi yang tepat.
Damayanti Rusli Sjarif, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa hasil penelitian membuktikan zat makanan terpenting untuk mencegah stunting protein. Kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial lengkap dan cukup yang bersumber dari protein hewani.
Baca juga: Viral Bayi Diberi Minum Kopi Kemasan, Ahli Gizi Peringatkan Bahayanya
"Penelitian lebih jauh mengungkap bahwa pangan sumber protein hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan bisa didapatkan dari susu, telur, ikan, ayam dan lainnya,” katanya dalam rilis yang diterima Hypeabis.id.
Damayanti yang juga Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini menuturkan bahwa protein hewani menjadi kunci untuk menurunkan risiko stunting lantaran kelengkapan, kecukupan dan bioavailabilitas asam amino esensial pada protein hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein nabati.
Protein nabati memiliki limiting amino acids yang menghasilkan pembentukan protein misalnya hormon pertumbuhan yang kurang efektif. Meskipun demikian, perlu memperhatikan juga perbandingan protein dan energi untuk mencapai kenaikkan berat badan atau tinggi badan yang cukup.
“Perbandingan protein dan energi sebesar 1,6 gr/100 kcal atau 6,4 persen terbukti secara konsisten menghasilkan penambahan panjang memuaskan pada anak normal, tetapi dalam keadaan malnutrisi mulai dari weight faltering sampai stunting diperlukan perbandingan protein dan energi yang lebih besar dari 10 persen," katanya.
Konsumsi asam amino esensial akan mempengaruhi pembentukan protein dan lemak dalam tubuh, termasuk hormon pertumbuhan.
Di antara sumber protein hewani, susu dan telur mempunyai nilai digestible indispensable amino acid score (DIAAS) tertinggi dan penelitian membuktikan berperan paling penting dalam pencegahan stunting.
Dia menambahkan sebanyak 20 persen anak mulai mengalami stunting sejak lahir, 20 persen pada saat mendapatkan ASI (0-6 bulan), 50 persen pada masa MPASI, serta 10 persen di atas usia 3 tahun. Berdasarkan ini, WHO merekomendasikan inisiasi menyusu dini (di bawah 1 jam setelah lahir) agar dapat mencapai ASI eksklusif selama 6 bulan, dan pemberian MPASI paling lambat dimulai pada usia 6 bulan sambil meneruskan pemberian ASI.
Sayangnya hingga 2010, dia menuturkan masih menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif 6 bulan di Indonesia baru berkisar 15 persen. Padahal, ASI memiliki komponen bioaktif yang tidak dimiliki susu formula manapun.
Adapun pemberian MPASI harus dilakukan harus tepat waktu, kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang, baik makro maupun mikro, aman, serta diberikan secara responsif.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, hanya sekitar 38 persen MPASI di Indonesia yang mengandung protein hewani.
Dia menambahkan strategi percepatan penurunan stunting sendiri dirumuskan melalui 3 tahapan. Pertama, dari pencegahan primer pada bayi normal di Posyandu dengan menyosialisasikan ASI, MPASI dan makanan keluarga berbasis protein hewani, serta penimbangan berat badan setiap bulan untuk mendeteksi dini weight faltering.
Kedua, anak dirujuk ke Puskesmas dan menjalani pencegahan sekunder saat bayi sudah mengalami weight faltering, berat badan kurang, gizi kurang, dan gizi buruk. Di Puskesmas, anak harus mendapatkan penanganan dokter layanan primer yang mendeteksi dini serta menatalaksana segera penyakit penyerta misalnya tuberkulosis, infeksi saluran kemih, ISPA dan lain-lain, serta memberikan terapi pangan olahan untuk keperluan diet khusus (PDK)
Jika sudah terjadi stunting, anak perlu dirujuk ke RSUD untuk mendapatkan pencegahan tersier oleh dokter spesialis anak, lalu ditatalaksana sesuai indikasi.
"Jika perlu terapi khusus bisa diberikan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) yang sesuai peruntukannya. Ini dilakukan agar menyelesaikan masalah stunting dan mencegah penurunan kognitif terlalu besar," katanya.
Dia menambahkan anak perlu mendapatkan perawatan pendekatan lintas sektoral jika ditemukan faktor lain di luar medis yang menyebabkan stunting. Sebagai contoh, kasus-kasus terkait kemiskinan, penelantaran, higienitas, dan ketidaktahuan.
Dia menuturkan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan stunting dengan pemenuhan nutrisi berkualitas pada anak. "Jika anak telanjur mengalami stunting, bukan berarti tidak ada harapan," katanua.
Penelitian Graham McGregor di Jamaika memperlihatkan bahwa pangan lokal ditambah terapi nutrisi susu 1 kilogram setiap minggu dilengkapi terapi stimulasi bermain selama 18 bulan pada anak yang mengalami stunting masih dapat mengejar hingga 90 persen potensi kecerdasan yang seharusnya.
Baca juga: Sejarah & Tokoh Pencetus Hari Gizi Nasional, yang Diperingati Setiap 25 Januari
Sementara untuk anak berusia 2 tahun, penurunan IQ bisa tidak terlalu banyak, bahkan bisa mengejar hingga minus 5 dari potensi seharusnya jika tidak pernah mengalami stunting jika terus didukung dan diperbaiki nutrisi anak hingga usia lima tahun.
"Bahkan langkah perbaikan dari segi nutrisi masih bisa diberikan hingga anak mencapai usia 9 tahun," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Damayanti Rusli Sjarif, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa hasil penelitian membuktikan zat makanan terpenting untuk mencegah stunting protein. Kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial lengkap dan cukup yang bersumber dari protein hewani.
Baca juga: Viral Bayi Diberi Minum Kopi Kemasan, Ahli Gizi Peringatkan Bahayanya
"Penelitian lebih jauh mengungkap bahwa pangan sumber protein hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan bisa didapatkan dari susu, telur, ikan, ayam dan lainnya,” katanya dalam rilis yang diterima Hypeabis.id.
Damayanti yang juga Ketua Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini menuturkan bahwa protein hewani menjadi kunci untuk menurunkan risiko stunting lantaran kelengkapan, kecukupan dan bioavailabilitas asam amino esensial pada protein hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein nabati.
Protein nabati memiliki limiting amino acids yang menghasilkan pembentukan protein misalnya hormon pertumbuhan yang kurang efektif. Meskipun demikian, perlu memperhatikan juga perbandingan protein dan energi untuk mencapai kenaikkan berat badan atau tinggi badan yang cukup.
“Perbandingan protein dan energi sebesar 1,6 gr/100 kcal atau 6,4 persen terbukti secara konsisten menghasilkan penambahan panjang memuaskan pada anak normal, tetapi dalam keadaan malnutrisi mulai dari weight faltering sampai stunting diperlukan perbandingan protein dan energi yang lebih besar dari 10 persen," katanya.
Konsumsi asam amino esensial akan mempengaruhi pembentukan protein dan lemak dalam tubuh, termasuk hormon pertumbuhan.
Di antara sumber protein hewani, susu dan telur mempunyai nilai digestible indispensable amino acid score (DIAAS) tertinggi dan penelitian membuktikan berperan paling penting dalam pencegahan stunting.
Dia menambahkan sebanyak 20 persen anak mulai mengalami stunting sejak lahir, 20 persen pada saat mendapatkan ASI (0-6 bulan), 50 persen pada masa MPASI, serta 10 persen di atas usia 3 tahun. Berdasarkan ini, WHO merekomendasikan inisiasi menyusu dini (di bawah 1 jam setelah lahir) agar dapat mencapai ASI eksklusif selama 6 bulan, dan pemberian MPASI paling lambat dimulai pada usia 6 bulan sambil meneruskan pemberian ASI.
Sayangnya hingga 2010, dia menuturkan masih menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif 6 bulan di Indonesia baru berkisar 15 persen. Padahal, ASI memiliki komponen bioaktif yang tidak dimiliki susu formula manapun.
Adapun pemberian MPASI harus dilakukan harus tepat waktu, kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang, baik makro maupun mikro, aman, serta diberikan secara responsif.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, hanya sekitar 38 persen MPASI di Indonesia yang mengandung protein hewani.
Dia menambahkan strategi percepatan penurunan stunting sendiri dirumuskan melalui 3 tahapan. Pertama, dari pencegahan primer pada bayi normal di Posyandu dengan menyosialisasikan ASI, MPASI dan makanan keluarga berbasis protein hewani, serta penimbangan berat badan setiap bulan untuk mendeteksi dini weight faltering.
Kedua, anak dirujuk ke Puskesmas dan menjalani pencegahan sekunder saat bayi sudah mengalami weight faltering, berat badan kurang, gizi kurang, dan gizi buruk. Di Puskesmas, anak harus mendapatkan penanganan dokter layanan primer yang mendeteksi dini serta menatalaksana segera penyakit penyerta misalnya tuberkulosis, infeksi saluran kemih, ISPA dan lain-lain, serta memberikan terapi pangan olahan untuk keperluan diet khusus (PDK)
Jika sudah terjadi stunting, anak perlu dirujuk ke RSUD untuk mendapatkan pencegahan tersier oleh dokter spesialis anak, lalu ditatalaksana sesuai indikasi.
"Jika perlu terapi khusus bisa diberikan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK) yang sesuai peruntukannya. Ini dilakukan agar menyelesaikan masalah stunting dan mencegah penurunan kognitif terlalu besar," katanya.
Dia menambahkan anak perlu mendapatkan perawatan pendekatan lintas sektoral jika ditemukan faktor lain di luar medis yang menyebabkan stunting. Sebagai contoh, kasus-kasus terkait kemiskinan, penelantaran, higienitas, dan ketidaktahuan.
Dia menuturkan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan stunting dengan pemenuhan nutrisi berkualitas pada anak. "Jika anak telanjur mengalami stunting, bukan berarti tidak ada harapan," katanua.
Penelitian Graham McGregor di Jamaika memperlihatkan bahwa pangan lokal ditambah terapi nutrisi susu 1 kilogram setiap minggu dilengkapi terapi stimulasi bermain selama 18 bulan pada anak yang mengalami stunting masih dapat mengejar hingga 90 persen potensi kecerdasan yang seharusnya.
Baca juga: Sejarah & Tokoh Pencetus Hari Gizi Nasional, yang Diperingati Setiap 25 Januari
Sementara untuk anak berusia 2 tahun, penurunan IQ bisa tidak terlalu banyak, bahkan bisa mengejar hingga minus 5 dari potensi seharusnya jika tidak pernah mengalami stunting jika terus didukung dan diperbaiki nutrisi anak hingga usia lima tahun.
"Bahkan langkah perbaikan dari segi nutrisi masih bisa diberikan hingga anak mencapai usia 9 tahun," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.