Stasiun Gambir, salah satu peninggalan Belanda yang sudah direnovasi (Sumber gambar: PT Kereta Api Indonesia)

Stasiun Kereta Peninggalan Belanda yang Masih Berdiri Megah di Jakarta

28 November 2022   |   23:20 WIB

Kereta kini menjadi salah satu transportasi utama di Jakarta. Selain tepat waktu, orang mengandalkan transportasi berbasis  karena cepat sampai tujuan tanpa mengalami macet seperti halnya moda transportasi jalan raya. Transportasi rel makin berkembang dengan dibangunnya MRT dan LRT di Ibu Kota.

Perkembangan kereta api di Jakarta dan Indonesia tidak lepas dari peran Pemerintah Hindia Belanda. Masih banyak jejak peninggalan Belanda, antara lain jalur rel dan bangunan stasiun. Beberapa bangunan stasiun sudah direnovasi, tetapi tetap disisikan tetap terlihat sisa-sisa peninggalan masa lalu. Beberpa bangunan stasiun ini juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Seperti dikutip dari heritage.kai.id, berikut beberapa stasiun kereta di Jakarta peninggalan Belanda.

Baca juga: Rijsttafel, Perjamuan Makan khas Belanda yang Membumi di Indonesia


1. Stasiun Gambir

Berlokasi di Kawasan Medan Merdeka dan Lapangan Monumen Nasional, Stasiun Gambir dibangun pada masa Hindia Belanda. Saat ini stasiun Gambir melayani khusus kereta eksekutif dengan tujuan kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarya dan Jawa Timur. Beberapa kereka eksekutif yang berangkat dari Stasiun Gambir seperti Argo Lawu (Jakarta-Solo), Argo Anggrek (Jakarta-Surabaya), Taksaka (Jakarta-Yogyakarta), dan Argo Parahyangan (Jakarta-Bandung).

Gagasan pembangunan stasiun kereta api di Jakarta bermula pada 1846. Sebelumnya, stasiun ini diberi nama Stasiun Weltevreden, dibuka pada Oktober 1884 dan pada 1937 berganti nama menjadi Batavia Konigsplein. Pada 1950-an, nama stasiun ini diganti menjasi Stasiun Gambir.

Stasiun Gambir memiliki tiga lantai, lantai pertama untuk loket penjualan tiket, lantai kedua sebagai ruang tunggu penumpang yang dilengkapi toilet, pertokaan serta restoran dan beberapa kantor pegawai, sedang lantai tiga merupakan peron bagi para penumpang.


2. Stasiun Kota

 

Pintu masuk Stasiun Kota (Sumber gambar: Hypeabis/Indyah Sutriningrum)

Pintu masuk Stasiun Kota (Sumber gambar: Hypeabis/Indyah Sutriningrum)


Stasiun Jakarta Kota juga dikenal dengan nama Stasiun Beos merupakan stasiun kereta api terbesar yang ada di Indonesia. BEOS merupakan kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur).

Seiring dengan beberapa perubahan rute yang dilakukan oleh KAI Commuter, Stasiun Jakarta Kota kini melayani penumpang  commuter line Jakarta Kota-Bogor dan Jakarta Kota-Priok. Stasiun Jakarta Kota juga merupakan stasiun tipe Terminus, yang artinya merupakan stasiun akhir dan tidak mempunyai kelanjutan jalur rel kereta api. Bangunan  Stasiun Jakarta Kota bergaya art deco yang kental, merupakan karya arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Frans Johan Louwrens Ghijsels.


3. Stasiun Jatinegara

Daerah Jatinegara dulu dikenal dengan daerah Meester Conelis. Meester cornelis adalah seorang pemuka agama Kristen, meninggal pada 1661. Perusahaan swasta Belanda membangun stasiun di Meester Cornelis pada 1887 dengan jaringan jurusan Mester Cornelis-Bekasi, tetapi pada 1889 dijual ke perusahaan kereta api milik pemerintah Staatssporwegen (SS).

Pada 1909, SS membangun sebuah stasiun baru yang letaknya sekitar 600 meter arah ke timur Stasiun Meester Cornelis eks BOSM. Stasiun Meester Cornelis baru dibuka sementara khusus untuk penumpang, koper, dan pengiriman barang pada 15 Oktober 1909. Sementara itu, stasiun lama tetap digunakan untuk lalu lintas barang.

Bangunan baru Stasiun Meester Cornelis diduga karya Insinyur Snuyff, seorang kepala sementara di biro arsitek Burgelijk Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum). Mulanya, stasiun ini dikenal dengan Rawa Bangke yang diambil dari nama rawa yang berada tidak jauh dari stasiun. Ketika pendudukan Jepang, penamaan wilayah Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara.


4. Stasiun Palmerah

 

Stasiun Palmerah (Sumber gambar: Hypeabis/Indyah Sutriningrum)

Stasiun Palmerah (Sumber gambar: Hypeabis/Indyah Sutriningrum)


Stasiun Palmerah terletak di jalur Tanah Abang-Rangkas Bitung. Jalur kereta api Paal Merah mulai beroperasi pada periode 1899 – 1900. Pembukaan jalur kereta api itu adalah pengembangan jalur kereta api atau trem uap dari Batavia menuju Tangerang dengan cabang dari Djembatan Doewa menuju Paal Merah. Jalur trem uap menuju Paal Merah melewati beberapa halte, yaitu halte Gang Chaulan, halte Djati Lama, halte Pekembangan, dan halte akhir Paal Merah.

Dengan dibukanya jalur trem uap Paal Merah, arus transportasi dari tengah kota Batavia mulai terhubung menuju pinggiran kota di Kebayoran. Sejak akhir abad ke-19  lalu lintas dari pusat kota Batavia menuju Paal Merah kian ramai.

Oleh karena itu untuk melayani kebutuhan transportasi di jalur Batavia – Kebayoran, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Besluit No. 4 tanggal 24 Januari 1891 yang memberikan konsesi untuk pembangunan dan pengoperasian trem uap di Residensi Batavia dengan ketentuan antara lain trem digunakan untuk pengangkutan orang dan barang.

 
1
2


SEBELUMNYA

Chuu Akan Pindah Agensi ke BY4M Studio Pasca dikeluarkan dari LOONA

BERIKUTNYA

Intip Kecanggihan Permainan Hologate VR Pertama di Indonesia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: